Suasana makan malam yang direncanakan oleh Joey, berjalan cukup lancar dan hikmat. Mereka makan bersama sembari berbincang menceritakan pengalaman masing-masing tentang keluarga masing-masing terutama tentang Alexa yang masih baru nimbrung di keluarga itu. Semua sudah selesai makan hingga piring bekas mereka makan sudah diambil oleh maid dan berganti dengan menikmati dessert buatan Elena.
"Selama ini kamu tinggal di mana, Alexa?" tanya Jordy setelah selesai makan dan mengusap mulutnya dengan tisu.
"Awalnya saya tinggal di kontrakan, tapi mulai hari ini saya tinggal di apartemen teman saya," jawab Alexa dengan tersenyum canggung, bahkan cara duduknya saja terlihat sangat tidak santai. Dia duduk agak membungkuk dengan kedua tangan di pangkuannya.
"Kenapa kamu pindah?" tanya Jordy lagi.
"Pastinya dia kesepian karena sendirian di kontrakan. Dan lebih baik tinggal bersama teman di apartemen ... sepertinya lebih nyaman," sahut Elena yang memahami karakter seorang gadis karena dia pernah menjadi gadis. Dia melirik Alexa dan bertanya, "bukankah begitu, Alexa?"
"Eh ...i iya .. Ma," jawab Alexa gugup. Bagaimana tidak gugup? orang yang baru pertama kali ditemuinya itu malah harus dipanggilnya dengan sebutan "Mama", Karena dia sudah dianggap seperti calon menantu.
"Jika apartemen temanmu tidak nyaman kamu boleh tinggal di apartemen ku," timpal Melvin sambil melirik Alexa.
"Eh itu tidak perlu ... Tinggal dengan teman akan terasa lebih nyaman," sahut Alexa tersenyum meyakinkan pada Melvin padahal dia sangat ingin mencekiknya karena telah membawanya ke dalam lingkungan keluarganya secepat ini.
Joey tersenyum simpul melirik Alexa yang malu-malu. "Alexa, seharusnya kamu bersyukur karena Melvin melabuhkan hatinya kepada kamu. Bahkan dia terllihat sangat menyayangimu."
"Jika kalian sudah saling sayang maka Mama mengharapkan suatu keseriusan diantara kalian. Karena itu lebih baik daripada terus bersama tanpa yang legal," seru Elena yang memulai pembicaraan menuju suatu jenjang seriusnya sebuah hubungan.
"Em ... Saya belum siap, ma," sahut Alexa tidak nyaman.
"Kenapa?" tanya Joey yang kini mengambilkan dessert untuk Dante yang sejak tadi hanya diam menyimak pembicaraan santai itu.
"Aku sedang fokus untuk membantu ekonomi keluargaku," jawab Alexa dengan tersenyum hangat kemudian menekuk wajahnya, mengerutkan keningnya saat merasakan kakinya tersentuh oleh kaki Melvin. Dia melirik pria itu dan menggeser kakinya untuk menjauh namun Malah seperti dikejar dan kembali bersentuhan. 'Ugh, kenapa dia main-main kaki?' batinnya heran.
"Keluarga besarmu tinggal di mana?" Kali ini yang bertanya adalah Dante yang setelag sekian abad hanya diam sambil makan.
"Em ... keluarga besar ku tinggal di Jogja," jawab Alexa dengan tersenyum hangat.
"Oh, kebetulan aku punya teman di sana, em ... Tepatnya rekan kerja," ucap Dante kemudian lanjut makan dessert rasa Coco pandan yang tersedia dalam wadah berbentuk persegi berukuran kecil.
"Itu berarti ... lain kali kamu harus mengajakku ke sana dan kita bisa bermain ke sekitar rumah Alexa ketika Alexa juga sedang pulang kampung," ucap Joey melirik ganti dengan tersenyum.
"Aku akan mengantarkan Alexa ketika akan pulang kampung," sahut Marvin seolah tidak ingin kalah perhatian.
"Lalu, bagaimana dengan kita, Pa?" tanya Elena sambil melirik Jordy sambil tersenyum.
"Kita berdiam diri saja di rumah. Karena kita sudah cukup puas menikmati masa muda dengan keliling negara," jawab Jordy dengan tersenyum santai kemudian kembali fokus pada Alexa. "Jadi, sudah berapa lama kamu tinggal di Jakarta?" tanyanya.
"Sekitar satu tahun lebih, Om," jawab Alexa.
"Kamu bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga mu?" Jordy memastikan, bahkan dia seperti sedang menilai sisi baik dan buruknya Alexa.
Alexa halnya mengangguk. Dia tidak ingin menjelaskan semuanya tentang keadaan keluarganya karena tidak ingin dikira mencari simpati.
"Ternyata kamu gadis yang bertanggungjawab pada keluarga meski kamu masih sangat muda. Saya salut sama kamu." Elena menatap kagum pada Alexa.
"Karena itu adalah kewajiban saya, Ma."
"Itulah sebabnya sekali aku bertemu denganmu, dan tau kamu adalah pacar Melvin, aku tidak meragukan mu. Melvin pasti memilihmu karena sifat baikmu juga, bukan karena kecantikan mu," ucap Joey dengan tersenyum hangat. Dia beralih melirik Melvin yang tersenyum ke arahnya. "Bukankah benar apa kataku?"
"Ya ... kamu benar." Melvin mengangguk, kemudian menghela napas panjang dan segera berdiri sambil memegang tangan Alexa yang langsung ikut berdiri.
"Ma, Pa, aku ingin mengajak Alexa jalan-jalan di sekitar rumah," ucapnya.
"Ya. Silahkan," sahut Jordy kemudian beranjak dari kursi sambil berkata, "Aku juga ingin istirahat di kamar."
"Melvin, Jangan bertindak semena-mena pada gadis. Jangan menanam saham sebelum kamu menjadikannya sah sebagai istrimu," seru Elena mewanti-wanti putranya untuk tidak berbuat tidak senonoh kepada Alexa. Dia cukup paham gaya berpacaran anak muda saat ini dan tidak ingin anaknya terjerumus melakukan sex before marriage.
Melvin memutar bola matanya, mengabaikan perkataan ibunya dan segera mengajak Alexa keluar dari ruang makan itu sebelum makan semakin lama diintrogasi lagi. Dia mengajak gadis itu menyusuri koridor ruang dalam rumah megah bernuansa putih keemasan itu hingga terhenti di sebuah pintu begitu kokoh setinggi lima meter berwarna putih.
"Untuk apa kita ke sini?" tanya Joey sambil menatap Melvin yang membuka pintu itu.
"Menyelamatkan mu," jawab Melvin kemudian menarik Alexa untuk masuk ke dalam ruangan yang sangat megah tepatnya seperti aula yang bisa digunakan untuk pesta dansa, lebih tepatnya ruangan itu mungkin digunakan oleh Joey untuk berlatih ice skating. Dia menutup pintu itu kembali dan berjalan menuju lemari berwarna putih dengan pintu kaca transparan, kemudian membukanya.
Alexa berjalan pelan dengan meraba dinding berwarna putih bersih yang terlihat begitu kokoh, kemudian melirik Melvin yang kini berjalan ke arahnya sambil membawa sepasang sepatu seluncur untuk ice skating. 'Dia bilang akan menyelamatkan aku tapi malah membawa aku ke arena ini dan ...'
"Daripada kamu selalu diinterogasi oleh mama, papa ataupun Joey, lebih baik kita bermain ice skating di sini," ucap Melvin kemudian menunduk.meletakkan sepatu seluncur berwarna putih ke dekat kaki Alexa. "Kurasa ini pas untuk kaki mu."
"Tapi aku tidak bisa," sahut Alexa dengan ragu menatap sepatu itu.
"Aku akan mengajarimu," ucap Melvin kemudian berjongkok, lalu mendongak menatap Alexa. "Lepaskan heels mu, aku akan pakaikan sepatu seluncur ini," serunya.
"Melvin. kurasa ini tidak perlu aku lakukan. Aku tidak akan bisa atau malah akan jatuh," sahut Alexa dengan mengerutkan keningnya.
"Ayolah, ini mudah. Kamu pasti bisa setelah aku mengajarimu," bujuk Melvin mendongak menatap Alexa. "Daripada kita kembali ke ruang tengah atau ruang tamu, lalu dihampiri oleh Joey atau mama, lali mengintrogasi mu lagi atau merencanakan hal-hal yang mungkin tidak kamu sukai dan kamu tidak bisa menolak, itu akan sangat memperburuk keadaan."
Alexa menghembuskan napas kasar, kemudian mengangkat kaki kanannya dari high heels, kemudian Melvin memegang kaki itu dan memakaikan sepatu seluncur. Gadis itu terdiam dengan tangan kiri berpegangan pada tembok sementara tangan kanannya memegang pundak pria itu. Dia menunduk menatap pria yang baru dia temui malah sekarang menjadi pacarnya, dan bahkan tidak ragu untuk memegang kakinya untuk memakaikan sepatu. Ah, jangan-jangan dia mulai terpesona ...