Devano kembali jatuh sakit. Dia harus diinfus, bahkan menghentikan terapi yang sedang dijalaninya.
Pengawasan yang diberikan Melati 24 jam penuh tanpa henti. Bahkan gadis itu takut untuk memejamkan mata, takut jika di saat Devano terbangun ia tak ada. Dan pria itu merasa sendirian.
Ia tak ingin bila Devano terguncang karena kejadian keji itu. Dengan sepotong roti dan segelas air putih, Melati mengganjal perutnya.
Tidak ingin terlewatkan meski sedetik pun.
"Cepat sembuh ya Tuan. Diammu adalah gelisah bagiku." Ia lalu membersihkan badan Devano dengan air hangat.
Dia merawat Devano seperti adiknya sendiri. Memastikan bahwa tak ada seekor nyamuk yang berani datang dan mengganggunya.
Demam yang sedang melanda Devano tak kunjung reda. Melati panik, bingung harus mengadu kepada siapa.
Kedua orang tua Devano tidak ada di rumah. Pergi entah ke mana. Seperti tiada beban. Sangat kasihan dan memprihatinkan.
Namun, gadis yang memakai baju merah muda itu tetap semangat dalam menjaga Devano.
Ia memastikan bahwa Devano tidur dengan nyaman meski dalam keadaan demam. Ia percaya, bahwa demam itu akan segera hilang.
Karenanya, Melati membacakan buku dongeng untuk Tuannya. Berharap Devano akan mendengar dan bisa tersenyum.
Sambil mengompres, Melati memandangi wajahnya. Bahkan ia sangat menawan jika tertidur seperti ini dan auranya terpancar. Puji Melati.
"Hmp, kalau dia bangun. Terus tau aku mandangi dia, pasti dia akan bilang gini. Ngapain liat-liat dengan suaranya yang serak serta besar itu, hehe." Lalu terdiam, cemberut.
"Jangan lama-lama ya tidurnya. Soalnya kalau kamu enggak ada, aku juga bosan di rumah yang besar ini." Ia menatap keluar jendela.
Melihat lalu lalangnya jalanan. Macet hingga puluhan kilometer. Membuat muak dan begitu bosan.
Jam di dinding berbunyi pada pukul 02.47. Bersamaan dengan Devano yang mengigau memanggil-manggil Ibunya.
Keringat dingin mendarat sangat cepat di dahi pria itu. Tangannya meronta, mencengkeram kuat seprei.
Melati merasa sangat kasihan. Ia mencoba untuk menenangkan pria itu. Namun nihil. Pria itu masih belum terbangun dalam mimpi buruk yang dialaminya.
Dia turun ke lantai bawah dan meminta pertolongan pada kepala ART. "Bu, tolong panggilkan Nyonya besar. Den Devano terus saja memanggil-manggil namanya," pinta Melati.
"Duh, apaan sih lo ganggu aja tengah malam. Gue capek seharian bersihin rumah. Enggak Lo liat otot-otot gue pegal nih!" Lalu menutup pintu kamar.
Dia kembali menggedor-gedor kamar itu hingga membuat kepala ART mengamuk dan melemparkan sebuah tamparan peringatan kepada Melati.
"Brengsek juga nih cewek! Lo budek atau gimana, hah! Gue capek, mau tidur. Devano si anak yang nyusahin itu mau gimana pun dia, kagak peduli gue. Itu urusan lo. Sekali lagi lo ganggu gue, habis lo!" ancamnya.
Tidak ada pilihan, selain menghubungi si Nyonya menggunakan ponsel Devano. Meski lancang, tapi ini kepentingan dia, bukan pribadi.
Tut ... Tut ... Tut ....
Bunyi panggilan berdering. Dag Dig dug
Sama halnya dengan yang dirasakan oleh Melati. Gadis itu bahkan sampai berkeringat. Tangannya gemetaran dan suaranya tertahan di kerongkongan ketika mendengar suara di sisi lain.
"Halo, Nak. Kamu sudah makan Sayang?" Suara isak itu terdengar dengan jelas.
Melati tambah tak enak hati. Dia merasa serba salah saat itu. Dilema. Namun, dia harus memberitahu hal penting itu.
Di sampingnya, Devano masih memanggil sang Ibu dengan derai air mata. "Ha--halo, Nyonya. Ini Melati. Tu--tuan membutuhkan Anda, Nyonya," ujarnya dengan gugup.
"Hah? Apa yang terjadi pada Devano? Apakah dia baik-baik saja." Suaranya terdengar sangat risau, namun dikarenakan masalah yang dialaminya, ia memilih untuk pergi menjauh sejenak dari rumah.
"Melati, saya bisa mengandalkan kamu. Sebab, saya tidak berada di Indonesia saat ini. Saya butuh waktu agar bisa tenang. Kamu mengerti kan?"
Kecewa. Itu yang didapatkan oleh Melati. Lebih kasihan lagi kepada Devano. Laki-laki itu membutuhkan sentuhan sang Ibu, bukan Melati.
"Bu, jangan pergi. Devano enggak mau Ibu pergi. Tetap di sini, kumohon," racau Devano.
Ia membutuhkan tangan itu agar mendapatkan kehangatan. Tiada yang lebih hangat daripada pelukan seorang Ibu.
Sentuhan Ibu adalah hadiah terbesar sekaligus obat mujarab dari segala penyakit. Percayalah, Ibu adalah malaikat yang dikirimkan Allah untuk kita di bumi. Namun, tak semua Ibu bisa menjelma menjadi malaikat.
Melati menggenggam tangan Devano, berharap bisa menenangkan pria itu. Meski mendapat perlawanan serta penolakan. Tak membuat gadis itu menyerah begitu saja.
Ia terus mengambil tangan yang pucat itu dan menggenggam dengan sangat erat.
Tak sia-sia, akhirnya pria itu terlelap dalam pelukan serta genggaman Melati yang hangat.
Melati tertidur bersamaan dengan tenangnya Devano. Tidur terduduk di atas lantai. Begitu setianya Melati terhadap majikan yang sedang ditimpa masalah.
****
Sehari berlalu, Devano tidak mau makan atau minum. Ia bahkan seperti orang depresi. Menatap kosong pada jendela. Meski tidak tahu apa yang dia lihat.
"Ati, apa yang terjadi pada Aden?" Kalsum yang baru pulang kampung langsung menghampiri dua remaja itu. Dia begitu panik saat melihat wajah Devano yang pucat pasi dan berantakan.
"Sebaiknya kamu ke bawah, di sana ada Non Celine."
Melati tahu apa yang dilakukannya. "Mbak Celine, maaf. Tuan lagi tidak enak badan dan tidak ingin menemui Mbak," jelas Melati.
"Devano sakit? Astaga, aku harus memeriksanya," paksa Celine. Namun, Melati menghalanginya.
"Maaf jika saya lancang. Tuan berpesan agar tidak mengizinkan Mbak untuk menemuinya."
"Kenapa dia tak ingin bertemu denganku? Dia membutuhkanku, Melati," kata Celine yang masih keras kepala.
"Mbak, saya hanya menjalankan apa yang diperintahkan oleh Tuan. Maaf jika harus dengan cara yang keras," tegas Melati dan menyeret Celine keluar.
"Sekali lagi saya minta maaf," ucap Melati menyesal. "Jika waktunya pas, Mbak akan mengerti dengan sendirinya."
Celine mengangkat sudut bibirnya, meski kecewa tetapi ia salut pada Melati yang patuh pada perintah Devano.
"Huh, sedikit kecewa sih. Tapi tak apa-apa. Devano pasti punya alasan sendiri bukan. Oke." Lalu pergi dengan senyuman palsu.
Bukan keadaan yang salah, tetapi kamu yang terlalu lama untuk menyadari kesalahan yang sudah kamu lakukan. Menghancurkan kepercayaan seseorang.
Menganggap hal yang kau lakukan adalah benar, dan kesalahan yang biasa. Padahal bagi orang lain, itu adalah menyakitkan. Bahkan di saat kau datang pada waktu yang salah.
Bukan egois, hanya saja aku mencoba untuk tidak terjerumus lagi pada kesalahan yang sama. Apalagi dengan orang yang sama.
Si pemberi luka sekaligus duka. Lupakan, pergi dan jangan pernah kembali. Sebab, kembalimu adalah bencana tak terencana dalam hidupku.
Jahat? Bukankah kamu jauh lebih jahat dibandingkan diriku?
Devano diam-diam merekam suaranya melalui sebuah pena yang selalu ada di kantung bajunya. Tempat yang setia menampung kisah-kisahnya.