Chapter 16 - Terusir

Di saat kau membutuhkan dukungan dari orang terdekatmu, kau malah mendapatkan luka. Yang membuat luka itu bertumpuk dan menjadi satu.

Bukan hanya Devano atau Ibunya, tetapi kita semua pernah mengalaminya, bukan? Rasa tidak percaya diri melanda dan kekuatan itu sudah lemah bahkan mati. Seiring dengan situasi.

Devano kembali kehilangan kepercayaan dirinya. Orang yang satu-satunya yang akan terus ada baginya adalah Melati. Karenanya ia meminta Melati untuk menemaninya. Namun, bujukan serta kecerewetan Melati membuat Devano muak dan bertambah marah.

Laki-laki itu membentak Melati yang terus saja memaksa dirinya untuk sarapan. Sekali pun ia tak memiliki selera makan.

"Lo bisa diem gak?! Gue pusing dengar suara lo yang cempreng itu." Maki Devano.

"Ya tapi Tuan."

"Lo gue pecat! Lebih baik Lo balik lagi ke kampung halaman lo sana!"

Gadis itu hanya terdiam, menunduk. Tak berani lagi untuk bersuara. Dia bimbang. Tidak ingin meninggalkan Devano dalam keadaan terpuruk saat ini.

"Sana, ngapain lo masih di sini ha? Orang gak berguna kayak gue gak sepantasnya lo jaga. Gue cuma bisa nyusahin lo!" Cecar Devano.

Melati lalu berlari menuju kamarnya. Gadis itu menangis di sana. Melampiaskan sakit hati yang dia alami. Ia tak pernah menangis seperti ini sebelumnya, apakah begitu dalam rasa sakit yang dicoret oleh Devano?

Lantas kenapa dirinya tak bisa menyalahkan Devano. Bahkan di saat pria itu merendahkan seorang gadis sepertinya.

"Kenapa lo masih di sini ha? Kurang uang yang gue kasih." Devano pergi ke brankasnya. Lalu mengeluarkan beberapa ikat uang ratusan dan melemparkannya ke lantai.

Bukan uang yang diinginkan oleh Melati, tetapi memang sudah kewajiban dirinya untuk menemani sang majikan. Sesuai dengan janjinya sebelum bekerja.

"Apa aku salah berbicara, sehingga kau amat marah?" Melati meratapi dirinya. Menatap kaca besar di depan.

Wajah yang jelek dan wajar bila tidak disukai oleh Devano.

******

Sebelum kejadian itu. Melati sempat berpapasan dengan Celine serta sang Tuan rumah. Yang mana mereka tengah berbelanja kebutuhan sehari-hari.

Melati melihatnya dari kejauhan, tak berani untuk menyaksikan lebih jauh. Ia memilih menyingkir tanpa tahu apa yang terjadi di antara mereka. Tanpa di duga, Celine melihat Melati yang beranjak diikuti si Tuan Rumah besar. Celine terlihat begitu senang.

"Melati, kita bertemu lagi," sapanya dengan baik.

Gadis itu tersenyum membalas sapaan si cewek cantik dengan sopan pula. Setelah itu berpisah di kasir. Melati masih harus melanjutkan untuk membeli barang yang dibutuhkan Devano, sementara Celine pergi dengan si Tuan.

Tak tahu ke mana. Melati mulai curiga, apakah Celine adalah orang ketiga dan penyebab retaknya keluarga Carlston?

Apa pun itu, ia memilih untuk bungkam. Karena suara kecil darinya tak berpengaruh di dalam keluarga besar itu.

Bagaikan buih dalam lautan. Seribu bahkan jutaan orang. Ia adalah manusia yang menyedihkan saat ini.

Banyak pihak yang menyudutkan Melati. Gadis malang yang tidak tahu apa-apa. Ia harus menerima hujatan serta cemoohan ART.

Di waktu inilah bagi mereka yang tidak menyukai Melati dengan leluasa akan mencaci gadis itu. Kalsum, sosok wanita tua yang dihargai dan dipercaya berbeda dengan ART lainnya ternyata sama saja. Bahkan ia cukup pandai dalam memainkan perannya.

Bak manusia bertopeng. Ia begitu lihai dalam mengganti topengnya. Di depan terlihat begitu baik, di belakang jauh lebih menakutkan dari iblis. Hal itu baru diketahui oleh Melati di saat ia tak sengaja mendengar pembicaraan para ART di belakang.

"Rasain itu si cewek kampung. Baru juga datang, udah sok jadi ratu."

"Iya, apalagi dia pemalas. Apa-apa pasti aku yang mengerjakannya. Dia tidak mau membantu. Menjengkelkan," rutuk Kalsum.

Deg, jantung Melati serasa ingin meloncat keluar dan segera menemui para ART yang bergosip. Tetapi, langkahnya tertahan.

Ia ingat dengan ucapan Devano yang sudah memecat dirinya. Bahkan ia tak punya hak untuk berkelayapan saat ini.

Melati mengurungkan niatnya untuk mengambil makanan. Padahal, seharian ia dibuat menahan lapar oleh Devano.

"Ayah, Ibu, Adik. Tidak menyenangkan menjadi orang rendahan. Mereka terlalu sibuk mengurusi hidupku. Tetapi lupa akan aib mereka masing-masing. Harus apa aku sekarang, Yah, Bu!" Melati berbicara pada foto keluarganya.

Mengingat kembali nasehat mereka. "Kalau lagi sedih itu, banyakin sholawat. Insya Allah, semua masalah yang ada perlahan hilang."

Melati mulai bersholawat, lalu melakukan sholat malam. Ia kembali bercerita pada Tuhannya tentang masalah yang terus berdatangan.

"Ya Allah, jika memang bukan jodoh dalam pekerjaan ini. Maka, biarkan hamba mendapatkan pekerjaan yang lainnya. Jangan biarkan hamba menjadi beban dalam keluarga mereka. Hamba mohon, semoga keluarga Carlston kembali utuh dan bersatu. Aamiin." Ia mengusap wajahnya.

Melati harus beristirahat, sebab besok dia akan mengalami perjalanan yang jauh lagi. Kembali ke kampung halaman. Terasa berat dan tak sanggup meninggalkan Devano.

Lalu siapa yang akan mengurus si Tuan jika ia tiada di sini. Memberikan keperluan Devano, mengambilkan makanan, memberi obat dan membujuknya agar mau ikut terapi?

Semuanya berkumpul di benak Melati. Dia tak bisa tidur dengan nyenyak. Bayangan Devano selalu terlintas.

Jika ingin menetap, alasan apa yang bisa membuat dirinya tetap berada di rumah ini? Sedangkan Devano sendiri tak ingin bertemu atau mendengar suaranya.

Dia dilema akan bertahan atau pergi. Seperti sedang jatuh cinta. Hati ini terasa sangat berat bila meninggalkan dirinya. Tetapi, jika terus berdiri di sini. Hak yang kupunya sudah sirna di makan oleh kepercayaan.

Tiada yang lebih berharga dari suatu kepercayaan saat ini. Dah saat ini, aku merasa tidak percaya pada semuanya.

Hal yang berubah seketika dan langit seakan mendung tengah mewabah. Mereka berjalan dengan tidak hormat dan mencaci siapa saja di muka bumi. Bulan pun ikut berseteru dan menyanyikan lagu kesenduan. Para harimau mengaung di tengah-tengah hutan, ombak menghantam karang, burung berterbangan dengan tidak patuh, hujan turun tanpa diminta dan gunung meledak tak sesuai prediksi.

Menjadi orang baik memang takkan menjamin kebahagiaan, tetapi ia menjamin akan ada hari di mana kebaikan itu terjamah oleh manusia hebat dan bertanggungjawab.

Bila sekarang kau tak mendapatkan hal itu mungkin ia sedang berlabuh di lautan dalam, berpacu dengan waktu dan bersaing dengan kondisi. Yang harus kau tahu, adalah semua akan indah pada waktunya.

Semua harus mengalami yang namanya terjatuh dalam keputus asaan. Agar Tuhan dapat menilai seberapa kuat dan tabah kau dalam menyelami dunia yang terombang-ambing.

Berat, tapi nikmatnya tentu akan sangat ringan, bukan. Mari membuka diri, membiasakan untuk mendengarkan hal baik, berbicara sesuai dengan fakta dan menikmati hasil yang tak terduga. Hidup aman bila semuanya bisa saling menghargai tanpa mengenal adanya perbedaan kasta dan pangkat.