Chereads / From Nanny to Honey (Please, Be Mine) / Chapter 17 - Hidup Susah

Chapter 17 - Hidup Susah

Melati yang terusir pun memilih untuk pulang. Dia bahkan dinyinyiri oleh para ART yang mengatakan bahwa Melati terlalu ikut campur dalam masalah keluarga Carlston.

"Makanya jadi orang itu jangan sok kepintaran. Jadi kena batunya kan, haha."

"Betul itu. Baru udah mau jadi ratu di sini. Olala." tambah ART lainnya.

Bahkan mereka dengan sengaja menumpahkan air sebelum Melati beranjak dari kamarnya. Mau tak mau gadis itu harus membersihkan lantai itu dulu.

Bak film penganiayaan, Melati dilempari dengan beberapa macam sayuran. Terus dikotori dengan kopi serta teh sisa.

Ia mencoba untuk tak melawan dan sabar. Sebab, jika ia melawan, bukankah Melati sama saja dengan mereka?

Devano yang didorong oleh Kalsum mendengarkan sendiri Melati yang dibully. Tetapi pria itu memilih untuk tidak mau tahu.

Melati tak menduga, Devano akan seegois ini terhadap dirinya. Dia dengan tega membiarkan dirinya diperlakukan buruk oleh asisiten rumah tangga. Padahal Devano tahu bahwa semua ART itu sudah bergosip buruk tentang keluarganya.

Merasa sakit hati, Melati pergi tanpa berpamitan kepada orang rumah itu. Ia menarik tas besar itu keluar rumah.

Melati berdiri di depan rumah istana itu. Mengangkat satu sudut bibirnya, menggenggam kuat tangannya dan dengan hati yang sakit.

Usai satu bulan bekerja, Melati yang sudah memiliki uang pegangan memilih untuk meninggalkan kontrakan temannya, Risa.

Risa adalah teman satu yayasan penyalur tenaga kerjanya. "Sa, terima kasih sudah mau menerima aku selama sebulan ini ya," kata Melati sambil memegang tangan sahabatnya itu.

Risa tersenyum, "Sama-sama. Jadi kamu mau ke mana setelah ini Melati?" Risa bertanya karena melihat raut wajah Melati yang bingung.

"Mau cari kontrakan yang pas sama kantong, hehe," papar Melati.

"Duh, gak usah deh. Kamu di sini aja sama aku. Oke. Jangan nolak." Risa menarik kembali tas besar dan membawanya ke kamar lagi. Mengunci pintu rapat-rapat.

Di sisi lain. Devano sedang berada di kamar Melati. Aroma wewangian perempuan itu masih melekat meski sudah sebulan lebih tak ditempati.

Devano memang sengaja tidak memperbolehkan orang atau bahkan saudaranya untuk menempati kamar Melati. Tak bisa dipungkiri, pria itu sedang merindu. Merindu akan cerewetnya Melati, bujukan serta rayuan yang diberikan oleh gadis itu dengan paksa, tetapi dengan nada yang halus.

"Kamu di mana? Maafkan aku yang sudah bodoh mengusirnya tanpa alasan." sesal laki-laki itu.

Sedangkan Melati sama sekali tidak membawa pemberian apapun dari keluarganya. Bahkan ia juga meninggalkan barang mewah, ponsel ataupun pakaian mewah.

Dia tak menyangka, gadis itu pergi tanpa meminta izin kepada dirinya. Atau mungkin dia terlalu kejam sehingga Melati tak lagi memperdulikan Devano?

Bak dilanda cinta. Mereka seperti sepasang kekasih yang tengah dilema oleh cinta. Padahal hubungan di antara keduanya hanyalah majikan dan pekerja. Tak lebih dan tak kurang.

"Ati, kenapa kamu tidak berpamitan dulu dengan Tuanmu itu?"

Gadis itu menata barangnya kembali ke dalam lemari kayu yang mulai usang. Serta catnya sudah pudar. Membalikkan badan, menatap Risa. "Entahlah, Sa. Saat itu rasanya gak ada lagi yang perlu aku jelaskan atau aku temui. Mereka semua tidak peduli dengan diriku, Sa," kata Melati yang mengambil tasnya lalu menaruh pada gantungan tas.

Risa yang sebagai pendengar setia merebahkan badan di atas sambil memegangi dagunya. Terlihat begitu antusias untuk mendengar serta bertanya lebih lanjut lagi.

"Aku kasihan dengan Devano, Sa."

"Oh ya? Kenapa? Bukankah dia anak sultan. Pastinya gak akan kekurangan apapun dong."

Melati menggeleng, tidak membenarkan hal tersebut. Meski bergelimang harta, tak menjami kebahagiaan seseorang.

"Emang sih dari segi finansial dia menang. Akan tetapi dari segi batin dia tersiksa. Kasih sayang, waktu, kebersamaan tak pernah bisa dia dapatkan. Sementara kedua orangtuanya sibuk mencari uang, uang dan uang." Melati ikut emosi.

"Kan mereka kerja juga buat anaknya. Wajar dong kalau waktunya sedikit," balas Risa kekeh.

"Huh, ya gak bisa wajar gitu dong, Sa. Yang namanya orang tua memang sudah menjadi kewajiban mereka buat cari uang kan." Bantah Melati yang tak sependapat dengan sahabatnya itu.

"Kita harus saling ngerti dong, Mel." Mereka bak dua rival yang sedang bertarung. Tatapan tajam, tak berkedip sedikit pun.

"Apaan sih kamu. Kok jadi kita yang berantem sih!" Gelak tawa dari Risa mencairkan suasana yang tegang.

"Hehe, aku masih sering ingat dia, Sa. Dia udah makan belom ya?"

"Sudah itu, jangan dipikirkan sekali. Ayo kita makan dulu."

*****

Para ART sibuk membodohi Devano yang tidak bisa melihat. Terutama Kalsum, dia mengambil satu persatu barang berharga yang dimiliki oleh Devano.

Kamera cctv sengaja mereka singkirkan dengan alasan, "sepertinya Aden tidak memerlukan cctv ini lagi. Kan ada Bibik yang mulai sekarang akan menjaga Aden." Karena Kalsum sudah lama bekerja di rumah Carlston tentu tidak ada kecurigaan sedikit pun.

Sang Ayah sangat setuju jika Devano dijaga oleh Kalsum. Ia lebih telaten dan sudah tentu bagus, pikirnya.

Siapa sangka, orang yang dia percaya ternyata pandai dalam memainkan perannya. "Wah, ini jamnya pasti mahal. Lumayan buat anakku di kampung, haha." Ia tertawa di atas penderitaan orang lain.

"Bi, tolong ambilkan saya minum. Saya haus." Brukkk

Jam tersebut jatuh ke lantai dan menimbulkan bunyi yang dapat didengar olehnya. Dengan cepat ia mengatakan bahwa itu hanya kotak obat yang jatuh dan tak sengaja tersenggol oleh dirinya yang sudah tua.

"Maaf, Den. Bibik ceroboh sekali. Sekali lagi maafkan Tuan."

"Lain kali lebih berhati-hati, Bik." Kata si Tuan yang tidak tahu barangnya sudah lenyap.

Dengan tatapan yang tidak suka, Kalsum keluar dengan membawa jam mahal serta beberapa parfum original Devano.

Sesampainya di kamar ia segera menyimpan dengan sangat rapi barang mewah itu. Tak hanya itu, Kalsum juga berani masuk ke kamar Melati.

Mengambil baju mahal yang diberikan kepada gadis itu, sepatu, jam dan lainnya.

"Satu dayung, dua tiga pulau terlampaui. Haha, kalau gini aku bisa cepat kaya, haha." Soraknya.

Orang-orang di sana tidak memiliki rasa curiga sedikitpun terhadapnya. Semua terlihat enteng, adem ayam.

Devano mogok makan. Rasa seleranya hilang tak tahu kenapa. Rumahnya sepi semenjak kepergian Melati.

Seperti lentera yang lenyap, padam dan tak bisa hidup lagi. Ia pun tak tahu keberadaan gadis itu di mana sekarang. Bahkan wajahnya saja ia tak tahu.

Hidup dalam kepedihan, duka tak tahu harus dibagi kepada siapa. Kembali penyesalan datang. Di saat Melati ada, ia bahkan tak ingin membagi kisah pahit yang ada. Memendam sendiri dalam kesepian.