Chereads / From Nanny to Honey (Please, Be Mine) / Chapter 15 - Sepatutnya Tak Disalahkan

Chapter 15 - Sepatutnya Tak Disalahkan

Devano akhirnya membuka suara. Ia menceritakan bagaimana rasa sakit hatinya saat menyaksikan pertengkaran keduanya di depan mata.

Kursi roda dan rerumputan di taman menjadi saksi pilu kisahnya. Serta Melati yang setia mendampingi Devano.

"Sakit, enggak tahu lagi harus gimana. Duniaku rasanya bubar, mati rasa dan tak berarti. Pada kenyataannya, kasih sayang mereka hanyalah rekaan semata." Devano berkata sambil menarik napas.

Dengan mata yang masih buta, kaki lumpuh. Semuanya tak lagi terasa. Ia sudah kebal akan fisik, lalu bagaimana dengan hati?

Hatinya hancur, remuk dan binasa bersamaan dengan waktu. Tak bisa dimaafkan lagi, meski keduanya memohon untuk dimaafkan.

Terasa berat, bila harus bersikap sok kuat, padahal hancur. Ini pertama kalinya setelah Celine yang menyakiti. Ia juga tak menyangka bahwa orang terdekat bahkan orang yang sudah merawat dan membimbingnya dengan tega meremukkan kepercayaan yang diberikan.

"Haruskah aku menangis, atau mengakhiri hidupku?" Sontak ia bertanya. Tampak raut wajah yang lelah dan letih.

Ia juga bergelut dengan waktu yang perlahan memakan kekuatan. Serta, tidak tahu lagi harus ke mana dan pada siapa.

Pria itu menceritakan semua isi hatinya. Bahkan air mata juga mewarnai senja itu. Kodrat seorang laki-laki memang jarang menangis, namun bila terlalu dalam luka yang ditancapkan air mata akan luruh bersamaan dengan semangat yang hilang.

Kedua orang tuanya hadir di malam hari. Mereka diminta untuk berkumpul di ruang keluarga. Melati juga ikut mendampingi Tuannya.

Ayah Devano menatap sinis Melati yang gugup. Bak singa yang ingin menerkam mangsa, seperti itulah. Sampai-sampai Melati terbata-bata dan gemetaran mengambilkan air minum Devano.

"Bagaimana bisa kamu jatuh sakit?" tanya Ayahnya sambil memotong beef steak dan menyantap dengan lahap.

Devano diam, tidak mendengarkannya. "Aku bertanya padamu, Devano. Apa kamu tidak mendengarkannya?" Nada bicara sang Ayah sudah mulai naik.

PRANG!

Ia bahkan melemparkan piring ke lantai hingga menjadi banyak. Makanan bertumpahan dan mengotori lantai yang putih bersih itu.

Melati berniat ingin membereskan, tetapi tangannya ditahan oleh Devano. "Biarkan saja!"

"Baik, Tuan." Ia kembali melayani Devano sepenuhnya.

"Hey kamu! Kamu saya gaji untuk merawat anak saya. Tetapi kamu tidak becus menjaganya." Laki-laki yang memakai kacamata itu menyerang Melati dengan tudingan yang keras.

Gadis itu diam seperti patung, ia tak berani membalas perkataan orang yang memperkerjakannya itu. Seperti seekor kucing yang diberi lidi. Seperti itulah Melati.

Ia menundukkan kepalanya, tak bisa menatap mata liar yang terus menyalahkannya.

Devano yang sudah tak tahan dengan tingkah si Ayah yang seakan peduli padanya menggebrak meja makan. "Jangan pernah menyalahkan orang yang selalu ada untukku," tegasnya.

"Oh, kamu sudah berani melawan Ayah sekarang!" Ia meneguk air di gelas dengan gugup dan tidak percaya.

"Ayah? Apa kau pantas disebut Ayah?" Melati memegangi bahunya, menandakan untuk tidak terus mempermasalahkannya. Sebab, ia hanya wanita rendahan dan sudah pantas untuk dimaki.

Tapi tidak dengan Devano, ia sadar. Nanny yang terus ada bersamanya, tidak mempedulikan dirinya sendiri dan mementingkan Devano.

Ia bahkan menggenggam tangan Melati. Si Ibu yang melihatnya, tersenyum. Ia tak marah atau melarangnya. Bahkan ia mendukung hubungan mereka, bila itu nyata.

"CK! Ini akibat dari kamu yang terus memanjakannya. Lihat, dia sama sekali tidak memiliki attitude." Ia menyalahkan istrinya.

"Oh ya? Apakah yang kau lakukan berdasarkan attitude yang bagus?" tambah si Ibu memojokkan suaminya.

"Kurang ajar!"

Plak!

Sebuah tamparan mendarat keras di pipi Ibunya. Bukannya sedih yang ia perlihatkan, malah tertawa menang. Melihat bagaimana ekspresi wajah yang tertekan di muka sang suami.

"Beraninya kau menampar Ibuku?" Devano berontak dan terjatuh dari kursinya.

"Akan kubalaskan rasa sakit yang dialami Ibuku suatu saat nanti. Kau harus ingat itu!!" Maki Devano.

"Kau terlalu sibuk bekerja dan tidak memiliki waktu untukku. Di saat aku membutuhkan dirimu, kau ke mana hah? Kau sibuk dengan wanita perusak itu!"

"Kalian tahu kenapa aku lebih memilih dia? Hah, dia bisa memberikan kenyamanan yang tak bisa kalian berikan."

****

"Tuan, tidak seharusnya kau mem-" tangan Devano menghentikan perkataan Melati.

Ia tidak ingin mendengarkan apa pun saat ini tentang keluarganya. Ia hanya ingin tenang dan sejenak melupakan masalah yang ada.

"Aku membawamu ke sini bukan untuk membahas mereka, melainkan alasan lain."

"Baiklah, Tuan. Saya tidak akan bertanya lagi."

"Pintar."

Melihat bintang yang bertebaran di langit membuat Melati tersenyum. Gadis itu menceritakan bintang-bintang itu kepada Devano.

"Sudah lama aku tidak menyaksikan bintang. Pasti sangat indah bukan?" Melati mendekat, dan duduk di samping Devano.

Mengayunkan tangannya membentuk sebuah nama di langit. "Kata orang, tuliskan nama yang ingin kamu lihat. Nanti orang itu akan datang ke dalam mimpimu," kata Melati sambil terus menatap Devano.

"Mustahil. Itu hanya lelucon masa lalu," sergah Devano yang tidak percaya pada hal kuno.

"Coba saja, Tuan. Siapa tahu keberuntungan, Tuan."

Devano yang tergeletak di kasurnya kemudian menuliskan nama seseorang. Seseorang yang perlahan menarik perhatiannya. Bahkan orang itu juga sudah menempati tangga paling atas di hatinya.

Dia berharap, dialah orang pertama yang akan dia lihat setelah sang Ibu. Melati mengintip dari pintu, memerhatikan Devano yang sedang menulis.

"Aamiin. Semoga apa yang kamu harapkan segera terwujudkan." Lalu menutup pintu.

Tak banyak yang tahu tentang sebuah keajaiban. Bahkan sedikit orang yang percaya. Tidak jarang di antara mereka memilih untuk pasrah dan menyerah begitu saja.

Padahal, Tuhan sedang mengujinya. Meski rapuh, tetapi kau pernah kuat. Meski jatuh, kau pernah berdiri dengan gagah dan kokohnya.

Semua orang pernah mengalaminya. Tetapi tidak semuanya bisa bertahan.

Maka beruntunglah bagimu yang tahan dan tabah, sebab keajaiban tak memandang siapapun kamu, apapun jabatanmu dan setinggi apa pendidikan yang kau enyam.

Mereka sangat suka bermain dengan orang yang tangguh, memilih untuk menggoyahkan ketangguhan kita. Kau akan berharga di mata orang yang berharga. Dan akan menjadi penting bagi orang yang penting pula.

Tak semuanya bisa kau miliki dengan segenap jiwa. Semuanya ada bagian dan peran masing-masing. Di atas, di bawah atau tengah. Kita tidak bisa memilih dan tak pula bisa menolak.

Tetap bermain di dalam lingkaran yang ada, dan melangkah keluar bila kau yakin bahwa kau begitu kokoh.

"Devano, apakah kamu menyukaiku?" tanya seorang gadis yang mengenakan mahkota yang dirangkai dengan bunga mawar warna-warni.

Air terjun, lalu dikelilingi oleh bunga mawar dan danau yang jernih. Devano bersama seorang gadis tengah berjalan. Mereka terlihat akrab namun, tak saling mengenal.

Siapakah gadis itu, bagaimana bisa dia datang dan begitu dengan Devano?

Lalu apa yang akan dilakukan Melati saat mendengar cerita yang dikatakan Devano?