Chapter 4 - Pertemuan

"Huff Huff.. Masih jauh?" ucap Faria.

"Loh kok bertanya padaku?" ucapku sambil cemberut ke arahnya.

"Ah itu dia !" Energi Faria tiba-tiba kembali dan dirinya berlari kecil ke dekat gerbang utama.

"Ah benar di sini! Ayo sini Rai!" ajaknya.

Sesampainya kami di gerbang utama desa Faria tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berkata kepadaku "Sebelum kita masuk, kau harus mengetahui ini."

Mendengar hal tersebut aku juga ikut berhenti dan fokus mendengarkan ucapan Faria. "Jangan pernah menyebut hal-hal tentang Singular karena itu bisa membahayakan nyawamu. Jika ditanya kau siapa dan sedang apa.."

Faria berhenti berbicara sesaat seakan memberikan efek dramatis.

"Bilang saja kau adalah budak dari Faria." ucap Faria dengan muka datar.

Bangs*t kakek ini malah bercanda.

"Hei pak tua, apa maksudmu aku budak?" jawabku.

"HAHAHA iya-iya maaf jangan serius seperti itu dong" balas Faria sambil cengar-cengir.

"Kau bisa bilang bahwa dirimu adalah kerabat-ku. Dengan begitu warga tidak akan curiga." ujar Faria.

Faria pun kembali melanjutkan langkahnya melewati gerbang utama. Di palang gerbang utama ada tulisan "Ein". Aku pun menyimpulkan bahwa desa ini bernama Ein.

Saat masuk dan sampai di tempat yang terlihat seperti pusat desa. Faria mengeluarkan benda yang agak asing dan memberikannya padaku.

"Ini adalah mata uang dunia ini, Akan lebih baik jika kau berkeliling desa dan membeli jajanan. Anggap saja refreshing. Aku tau tiba-tiba pindah dunia seperti ini membawa shock pada dirimu." Lanjutnya.

"Tidak. Terima kasih. Aku sedang tidak ingin refreshing." Jawabku.

"Hmmm baiklah kalau begitu tunggu saja di sekitar sini. Aku akan ke pergi ke pasar sebentar." saran Faria.

"Oke" Jawabku.

Sesaat setelah Faria pergi, aku merasa sedikit lelah dan memutuskan untuk berjalan mencari tempat berteduh di dekat situ.

"Ughh OW OW! Panas"

Tiba-tiba aku merasakan mata kakiku terpancar hawa panas.

Aku memutuskan untuk duduk dan melihat apa yang sebenarnya terjadi.

"Apa ini!?" ucapku.

Di mata kaki-ku entah darimana muncul simbol atau mungkin tato aneh.

Tulisannya terbaca seperti angka romawi.

"XIX.. berarti 19?" Meski sudah aku ucapkan, tidak ada yang membuat ku merasa lebih mengerti.

BNGGGG!!

Kepalaku terasa berdering.

Aku merasa sangat pusing..

Kemudian, aku melihat pohon dengan ukuran besar. Tanpa banyak membuang waktu aku berjalan ke sana dan menyandarkan badanku di pohon tersebut.

"Ghhh"

Kepala ku…

"Aaaa!!!"

Teriakku sebelum akhirnya badanku terasa lemas dan terjatuh.

"Aneh…"

"Kenapa tiba-tiba sakitnya hilang ya?" pikirku.

Cuaca hari itu sejuk, banyak angin sepoi sepoi yang melewati pohon ini.

Aku merasa sangat nyaman dan lama-kelamaan pun. Diriku tertidur di bawah rindangnya pohon.

"Umm permisi...". terdengar suara seseorang yang berbisik kepada diriku.

Mendengar suara tersebut aku perlahan membuka mataku. Perlahan-lahan pandanganku yang semula buram kembali normal.

Aku tidak yakin berapa lama aku sudah tertidur namun aku yakin bahwa apa yang aku lihat ini bukan mimpi. Suara tadi berasal dari seorang gadis berambut coklat kemerahan dengan panjang sebahu lebih. Matanya berwarna hijau peridot, dan tingginya sekitar 160 cm.

"Sedang apa kamu disini?" Tanyanya sambil tersenyum.

"Aku sedang-- Ralat. Aku habis tertidur di sini." jawabku.

Mendengar jawabanku gadis itu tampak sedikit terkejut. Raut mukanya mengatakan bahwa ia kebingungan atas apa yang aku lakukan.

"Maaf, tapi tempat ini adalah makam mendiang ayahku--"

Sesaat setelah mendengar kata 'makam dan ayah'. Aku tanpa basa basi langsung berdiri dan membungkukkan badan, seraya berkata "Maaf atas ketidaksopanan diriku, apa yang harus aku lakukan agar engkau memaafkan kesalahanku?" Tanyaku sambil mengangkat kembali badan yang aku bungkukkan.

"Oh aku tidak keberatan, memang salah juga untuk menempatkan makam tanpa batu nisan yang jel-" Gadis itu tiba-tiba berhenti berbicara.

Matanya mengamati pakaian yang aku kenakan dan tampak kebingungan. Gawat, sepertinya aku akan ditanya-tanya oleh gadis ini. Entah kenapa aku merasa sebaiknya diriku menunggu Faria saja di pusat desa.

"Kamu bukan berasal dari desa ini ya?" tanya gadis itu padaku.

Aku kemudian menjawab "Bukan, aku adalah kerabat Faria yang berasal dari luar-".

"Kerabat? berarti kau sedarah dengannya?" potong gadis itu.

"Umm..." balasku setengah-setengah sambil berfikir.

"Apakah kau anak dari Kakek Faria?" tanya gadis itu lagi-lagi.

Sial, ini semakin rumit, apa yang seharusnya aku lakukan? Mungkin akan selesai bila aku bilang aku adalah anaknya, tapi artinya aku sudah menjadi seorang paman dong? Tidak logis bila aku anak Faria tapi semuda ini. Oh! Aku tau.

"Aku anak angkatnya" jawabku.

"Aku melarikan diri dari rumah dan orang tuaku. Saat dalam pelarian aku tersesat dalam hutan mubble. Faria menemukan ku dan mengajakku untuk tinggal bersamanya." jelasku sambil menatap ke bawah.

Aku mengarang cerita itu. Namun, tampaknya Roselia tersentuh hatinya.

"Sekali lagi Maaf ya aku--" Saat aku menceritakan hal tersebut, gadis tadi berlinang air mata.

"Eh? Ada apa kenapa kau menangis??" Tanyaku dengan panik.

"Tidak... Tidak apa-apa." Balas gadis itu dengan senyum meneteskan air mata.

"Aku hanya terharu mendengar cerita mu." lanjutnya.

Sesuai dugaanku.

Entah mengapa melihat wajah dan perilaku Roselia, aku merasa dejavu. Seakan aku pernah mengenal gadis ini. Tapi entah darimana dan ataukah itu benar.

"Menyedihkan memang tapi memang itu kenyataan dan jalan yang aku pilih." balasku.

~(Jalan yang kau pilih ya?)

~~(Bukannya jalan yang terpaksa 'aku' pilih?)

"Siapa itu?"

Terdengar suara asing di kepalaku.

BNGG!!!!

"Ow!"

Lagi lagi kepalaku terasa berdering.

"Kau benar, itu jalan yang aku terpaksa pilih. Aku tidak yakin ada jalan lain selain itu." Aku tiba-tiba bergumam sendiri sampai-sampai gadis yang berada di sampingku tadi bingung akan apa yang ku lakukan.

"Hey. Kau dengar? Heyyyy!" ucap gadis itu sambil melambai-lambaikan tangan ke arah mata ku yang menatap kehampaan.

"Iya. Maaf. Ada apa ?" jawabku dengan terkejut.

"Kita belum berkenalan, Namaku Roselia salam kenal ya..." ucap gadis tadi.

"Oh oke...." balas ku.

Suasana sunyi setelah aku membalas ucapan Roselia.

"Ummm.. Halo kita sedang berkenalan bukan? Bagaimana jika kau memberi tahu namamu?" kata Roselia.

Mukanya tampak sedikit kesal akan respon ku yang setengah-setengah. "Namaku Rai... Salam kenal juga."

"Nah seperti itu seharusnya kita berkenalan!" sahut Roselia.

"Kalau begitu aku permisi, aku akan pergi dari sini" Ucapku sambil berjalan melewati Roselia. "Sampai ketemu ya." lanjut ku.

"Tunggu!" Roselia secara spontan menarik baju ku, membuatnya menghentikan langkahnya. "Ada apa?" tanya ku.

"Tidak hanya saja ... muka mu yang semula santai mendadak terlihat sangat datar" ucapnya.

"Kau sedang kesal akan sesuatu?" Tanya Roselia sambil menatap muka hampa milikku.

"Kalaupun Iya, itu bukan ranah urusanmu bukan?" ucapku, sambil melepas tangan Roselia yang menggenggam bajunya. Aku pun meninggalkan Roselia di pohon tadi, pohon makam ayahnya. Berada di sana membuatku terasa mengganggu waktu ziarah Roselia.

Setelah meninggalkan pohon tadi aku kembali menunggu Faria di tempat kami berpisah. Tak lama setelahnya, Faria datang dengan membawa tas tenteng. "Heyy jangan hanya dilihat, Bantulah Aku Anak Muda!" Pinta Faria.

"Oh maaf..." balas ku. Faria memberikan tas tenteng yang berisi belanjaannya.

"Baik, Mari kita pergi?" Tanya Faria.

"AH dompet ku tertinggal! Tunggu sebentar Rai aku akan kembali!" lanjut Faria sambil berlari kencang menuju pasar Desa Ein.

"Dasar Kakek-kakek" ucapku.

Aku pun memutuskan untuk menunggu Faria kembali. Namun, tanpa disangka aku dihampiri oleh 2 pria berbadan besar. "Hei, Nak! Apa kabarmu?" Tanya salah seorang dari 2 pria tadi sambil menepuk bahu ku dengan senyum.

Meski begitu senyuman itu tidak akan membohongi diriku.

Apa yang kira-kira akan terjadi sekarang?

"Kira kira kau bisa beri kami uang?" Tanya salah satu pria itu dengan senyum lebar.