Sesuai janjinya dengan Tristan, Damar Adhiyaksa, rekan Tristan yang merupakan JPU itu mendatangi Markas Kepolisian sekitar jam sebelas. Setelah mengantongi izin dari penjaga di depan dan juga resepsionis, Damar akhirnya sampai juga di depan ruangan Tristan. Dilihat dari kaca jendela yang tirainya agak terbuka, tampak Tristan masih berbicara dengan keempat rekannya yang lain, membuat Damar melihat jam tangannya.
"Katanya jam sepuluh," ujarnya pelan, mengingat Ia saja sudah datang terlambat satu jam dan khawatir akan dimarahi oleh rekannya itu. Ternyata Tristan masih sibuk.
Damar akhirnya memilih untuk duduk di kursi samping ruangan Tristan sembari memeriksa dokumen yang dibawanya, cetak dan digital. Bukan tanpa alasan, rekannya itu tidak terlalu suka dengan dokumen digital, Ia akan senang jika mencorat coret dokumen fisik.
Tak lama kemudian, terdengar suara pintu ruangan dibuka, seseorang yang tadi bicara dengan Tristan itu keluar.
"Oh, Pak Damar?" sapa Isyana, sudah mengenal Damar.
Damar tersenyum, lanjut menyalami empat orang disana, "Apa Tristan di dalam?" tanyanya berbasa basi yang kemudian diangguki empat orang itu.
Damar lantas berpamitan, masuk segera ke dalam, "Pagi menjelang siang, Kapten Tristan," sapanya.
"Eh, sudah datang, Pak Damar, silakan duduk," ujarnya formal, mempersilakan Damar duduk di sofa ruangan. Padahal baru semenit Ia kembali ke meja kerjanya.
Tristan membawakan secangkir teh hangat untuk tamunya dari pengadilan itu, "Silakan diminum, Pak."
"Ya, terimakasih."
"Kalau begitu langsung saja, apa yang ingin Anda bicarakan dengan Saya, Pak Damar?" Tristan to the point saja, padahal Damar belum selesai menyesap teh hangatnya itu.
Damar kemudian memberikan satu bundel kertas A4 pada Tristan, "Ini, seperti yang Saya katakan di telfon waktu itu. Saya memiliki beberapa informasi yang tidak sempat di report ke kepolisian dan kejaksaan saat Saya menangani korban ke delapan The Retro pada tahun 2019 lalu," ujarnya.
Tristan membulatkan matanya, tampak antusias dengan tujuan Damar itu, "Apa itu, Pak Damar?"
Damar mencondongkan tubuhnya ke depan, berbicara lebih serius, "Pertama, soal insiden salah tangkap yang dilakukan Kami JPU waktu itu. Ada hal mencurigakan di tempat tinggal orang yang Kami duga sebagai The Retro."
"Kami menemukan banyak sekali senjata tajam, dan juga ... bahan kimia disana. Itu ditemukan di penyidikan TKP sesaat sebelum persidangan, namun sayangnya itu tidak masuk di daftar temuan barang bukti."
"Kenapa begitu?"
"Karena dinilai tidak cukup kuat sebagai barang bukti oleh tim penyidik, Kuasa Hukum, dan juga satu JPU yang bekerja dengan Saya waktu itu," jawab Damar, membuat Tristan berpikir keras di tempatnya.
"Apa jenis bahan kimia yang ditemukan disana? Dan dalam bentuk apa?" tanya Tristan kemudian.
Damar menunjuk satu bundel kertas A4 yang diberikannya tadi, "Disini Anda dapat membacanya Kapten, ditemukan Hidrogen Peroksida sebanyak lima liter, ditaruh dalam derigen putih bertutup merah. Kami mencurigai ini adalah barang bukti yang sebenarnya menguatkan bakal vonis JPU bahwa tersangka memang bersalah," jelasnya kemudian.
Tristan belum menjawab, Ia masih membaca dengan teliti bagian dari laporan yang dimaksud Damar, perihal temuan barang bukti di TKP. Dikatakan disana bahwa barang bukti dinilai tidak kuat karena tidak ada kaitannya antara TKP penemuan korban dan hidrogen peroksida. Tristan menggelengkan kepalanya, Ia merasa bahwa ini sebuah kesalahan.
"Perlu diketahui, Pak Damar, bahwa dalam agenda reinvestigasi yang Kami lakukan beberapa waktu terakhir ini, Kami turut menemukan hidrogen peroksida di dua TKP, dan salah satunya dalam jumlah banyak," ujar Tristan.
Damar tampaknya agak terkejut, "Lalu apa tim Anda sudah mengetahui perihal peruntukan bahan kimia itu?" tanyanya.
Tristan menggeleng, "Belum, Pak. Kami baru saja selesai mereinvestigasi, mendatangi TKP pertama hingga TKP ke-12," jawabnya. Setelahnya Tristan menjelaskan secara rinci apa saja kejanggalan-kejanggalan dan barang bukti baru yang mereka temukan di TKP selama reinvestigasi.
Damar mengangguk-ngangguk, "Itu aneh, Kapten. Jika sesuatu bermunculan di TKP lama kemungkinan seseorang mengubahnya, dan dari kebanyakan kasus, itu diubah oleh si pelaku yang belum tertangkap," ujarnya.
"Itu yang juga Saya pikirkan, Pak Damar."
"Saya menawarkan pada Anda untuk kembali membuka investigasi kepada dua tersangka yang dinyatakan tak bersalah di pengadilan tahun lalu, Kapten Tristan. Jika menurut Anda itu diperlukan."
"Apa bisa? Kami memang membutuhkan semua bukti-bukti dikumpulkan dan diinvestigasi ulang, Pak Damar. Karena ketua penyidik beserta asistennya yang menangani kasus ini tiba-tiba menghilang tanpa jejak sehingga Kami kehilangan salah satu sumber informasi penting untuk mengusut kasus ini hingga selesai."
"Ah, benarkah? Siapa memangnya kepala penyidik yang hilang itu dan sejak kapan?" tanya Damar beruntun.
"Namanya Kapten Kian, dinyatakan hilang setelah lebih dari dua minggu tak melapor ke markas. Beliau hilang saat bertugas, meskipun sebenarnya belum dapat dipastikan apakah beliau hanya sedang bersembunyi," ujarnya.
"Ini misterius. Tapi kita harus cepat bergerak juga, Kapten, sebelum The Retro mengulang polanya dan menambah jumlah korban."
"Betul, Pak Damar. Saya rasa Anda bisa membantu Kami dengan mendatangkan dua orang tersangka yang tidak bersalah itu, biar kita investigasi kembali. Saya akan mengagendakan sistematikan penyidikan kembali."
"Baik, Kapten. Kalau begitu Saya pamit dulu."
****
Bella di ruangannya, sibuk dengan laptop dan beberapa jurnal di mejanya. Kedua tangannya sibuk mengetik, dengan matanya yang melirik tulisan-tulisan rumit jurnal dibalik kacamatanya. Dosen kriminilogi itu sedang tidak ada jadwal mengajar, maka Ia melaksanakan rencana penelitiannya yang akan segera dimulai.
Pagi-pagi sekali Hendery sudah mengirimkan puluhan folber berisi database yang dimintanya dari Humas Mabes Polri hari Jumat lalu. Bersamaan dengan itu juga Hendery mengirimkan surat kontrak yang sudah Ia tandatangani diatas materai. Katanya untuk efisiensi birokrasi dan agar penelitian yang dikoordinir oleh Bella itu dapat cepat dilakukan. Terimakasih pada pimpinan Divisi Humas itu.
Ditengah fokusnya itu, seseorang mengetuk pintu. Bella tahu siapa itu, pasti seseorang perwakilan mahasiswa S1 yang akan menyerahkan proposal penelitian versi cetak padanya. Ya, mereka sudah membuat janji sebelumnya.
"Silakan masuk," ujar Bella mempersilakan.
Pintu terbuka, menampilkan Nafis, si komandan tingkat sekaligus mahasiswa bimbingan Bella.
"Selamat pagi, Bu," sapa Nafis sopan, seraya membungkuk dan tersenyum.
Bella balas tersenyum, "Pagi, Nafis. Silakan duduk."
Nafis kemudian duduk di kursi depan meja kerja Bella. Sejenak dosennya itu menepikan jurnal-jurnal yang berantakan di meja, "Jadi bagaimana? Apa kalian bertiga sudah selesai bikin proposalnya?"
"Iya Bu, sudah. Kami sudah selesaikan sesuai arahan Ibu di bimbingan terakhir, ini dokumennya." Tiga proposal milik tiga nama berbeda; Nafis, Ola, Hanan diberikan oleh Nafis.
Bella membuka proposal itu satu per satu. Akibat terbiasa, Ia sudah hafal mana saja yang perlu diperiksa untuk proposal penelitian secara sekilas dalam rangka memberikan feed back tahap awal. Sesuai ekspektasinya pada tiga mahasiswa bimbingan yang merupakan top student Departemen Kriminologi, proposal itu sudah bagus setelah diperiksa lebih dari setengah jam oleh Bella tanpa suara. Ya, sedari tadi Nafis menunggu saja tanpa ada ajakan bicara dari dosennya.
"Semua Saya rasa sudah lengkap ya. Point-point yang Saya minta tekankan dalam proposal juga sudah ..."
Bella membalik sedikit lembaran tiga bundel kertas A4 itu, "Siang ini atau besok, Saya akan kirimkan data acuan, meliputi daerah, daftar nama tahanan, dan sebaran tahanan itu sendiri. Apa ada pertanyaan sampai sini?"