Isyana menurut dengan menurunkan Tristan di depan gerbang Wellington International Hospital Jakarta. Keempat orang yang bekerja bersama Tristan itu tidak ada yang mengetahui apa yang dilakukan Tristan, bahkan Ia meminta mereka segera kembali ke markas dan bertemu lagi setelah jam istirahat. Seperti biasa, Ia tidak banyak bicara soal urusan pribadi.
Sepuluh menit berlalu, Tristan sudah sampai di lantai dua rumah sakit. Langkahnya semakin cepat begitu resepsionis memberitahunya dimana ruangan wanita yang membuatnya panik seperti ini.
Siapa lagi kalau bukan Bella? Yang meneleponnya tadi itu adalah perawat UGD, mengatakan kalau Bella ditemukan pingsan di pelataran apartemennya.
Perlahan, Tristan membuka tirai satu bangsal di pojok ruang UGD itu. Benar saja, Bella terbaring disana, masih tertidur. Wajah pucat itu harus kembali Tristan lihat.
Hendak membangunkan gadis itu, namun Ia urungkan, takut mengganggu. Lagipula perawat di luar tadi sudah memberitahunya informasi detail soal apa yang terjadi pada Bella. Luka di kepalanya itu belum sembuh total, dan sepertinya Bella kembali merasakan sakit hebat hingga jatuh pingsan.
Namun lain lagi bagi Tristan, Ia menebak bahwa trauma Bella kembali muncul, diiringi ingatan ingatan buruk masa lalunya. Belum lagi katanya Ia sudah kembali bekerja di kampus, bertemu banyak orang, menambah beban ingatan, membuat kerja otaknya carut marut. Setidaknya itu asumsi Tristan.
Tristan lantas mendudukan diri di kursi samping ranjang, menaikkan selimut sampai pinggang gadis itu, dan seperti biasa memegangi tangannya.
"Kamu kenapa sekarang, hm?" tanya Tristan pelan.
"Saya sampai lari-larian dari depan kesini, dari tugas Saya, takut Kamu kenapa kenapa," lanjutnya.
Beberapa menit berlalu, Tristan hanya seperti itu, memegangi tangan Bella dan menunggu gadis itu sadar. Namun sayang, Tristan bahkan harus meninggalkan Bella tatkala arlojinya menunjukkan pukul 12.35. Ia harus segera kembali ke markas, banyak agenda penting menantinya.
"Suster, apa pasien ini akan dipindah ke ruang opname hari ini?" tanya Tristan pada seorang perawat yang kebetulan lewat.
Perawat itu melihat ke dalam sekilas, "Ah, pasien pingsan tadi siang ya? Sepertinya tidak, Pak. Pasien hanya syok dan sakit kepala berat, kami akan menunggunya sampai siuman, dan Ia sudah diperbolehkan pulang," ujarnya.
Tristan tampak berpikir, khawatir meninggalkan Bella sendiri, "Kalau begitu bisa tolong hubungi Saya jika Ia sudah bangun? Langsung? Kebetulan Saya harus kembali bekerja," tanyanya.
"Tentu. Kami akan hubungi Bapak. Apakah Bapak ini walinya?"
Tristan mengangguk tanpa ragu, "Iya. Tolong jangan biarkan Ia pulang sendiri. Saya akan jemput nanti."
****
Tristan mengetuk pintu sebuah ruangan yang tidak pernah Ia datangi sebelumnya. Itu ruangan divisi humas intelijen, atas nama Rajendra Wijanarko, orang yang disebut Jevan sebagai penulis laporan penyelidikan TKP Apartemen Valencia Hills 27CA tiga tahun lalu.
"Masuk ..." sahut seseorang dari dalam ruangan.
Tristan lantas masuk, didapatinya seorang pria yang lebih tua darinya beberapa tahun itu tengah sibuk dengan beberapa dokumen.
"Selamat siang, Pak. Saya Tristan, sudah janji temu tadi pagi," ujarnya sopan.
Rajendra berdiri, mempersilakan Tristan untuk duduk di kursi sofa ruangannya yang lebih santai.
"Jadi bagaimana, Kapten Tristan? Apa ada yang bisa Saya bantu?" tanyanya.
Tristan menegakkan duduknya, "Saya ingin bertanya soal laporan investigasi TKP korban pertama pembunuhan The Retro yang Anda tulis tiga tahun lalu, Pak," jawab Tristan, mengeluarkan satu bundel laporan ke atas meja.
Rajendra mengambil laporan itu, membacanya sekilas, "Ah ya, ini memang Saya yang menulisnya. Saya dengar Anda juga yang diminta pimpinan untuk memback-up tugas Kapten Kian yang masih belum bisa dihubungi sampai sekarang?"
Tristan mengangguk, "Ya, betul Pak. Saya sedang bertugas disana. Belakangan Saya menyusun agenda untuk melakukan penyelidikan ulang ke dua belas TKP, guna menemukan kalau ada temuan baru, sekaligus melihat lebih aktual kondisi TKP," ujarnya panjang lebar sebagai pembukaan.
Rajendra mengangguk, "Lalu?"
"Kami menemukan beberapa temuan baru yang tidak dituliskan dalam laporan," jawab Tristan, membuat Rajendra sedikit mengerutkan dahinya.
"Contohnya?"
Tristan mengeluarkan ponselnya, menunjukan dokumentasi tiga temuan di apartemen siang ini, "Ini, Pak. Bisa dilihat, ada belasan derigen hidrogen peroksida, sesuatu yang mengering di lantai dan gagang pintu berwarna merah namun basah dan lengket disentuh, juga guratan akibat benda tajam dan tumpul di lantai vinyl kamar utama," terang Tristan.
Rajendra belum berkomentar, Ia masih memperhatikan detail foto yang ada di ponsel Tristan.
"Satu dari tiga temuan baru ini, kami temukan juga saat itu. Belasan derigen ini ..."
"Saat itu kosong. Benar benar kami periksa, dan itu kosong, Kapten Tristan, makanya kami tidak melaporkannya sebagai temuan," ujar Rajendra, membuat Tristan kembali harus berpikir keras.
"Benar begitu, Pak? Apa Anda dan tim saat itu menggeledah TKP di hari H penemuan jenazah?"
Rajendra mengangguk, "Ya, Kami bekerja hari itu juga," ujarnya.
"Bagaimana bisa begini? Anda lihat sendiri, derigen ini terisi, bahkan cairan didalamnta, hidrogen peroksida ini tumpah."
Hening kemudian, keduanya sibuk dengan pikiran masing masing.
"Itu berarti ada yang masuk ke unit apartemen setelah kejadian dan investigasi selesai dilakukan," ujar Rajendra memecah keheningan.
"Benar. Sepertinya begitu."
"Benda berwarna merah ini, apa sudah diidentifikasi?"
"Belum, masih diproses di bagian forensik. Ah ya, bagaimana dengan benda ini? Apakah Anda dan tim saat itu menemukannya?"
Rajendra kembali menggeleng, "Tidak. Kami sudah menyisir seluruh sisi apartemen dan tidak menemukan benda merah ini, juga si goresan. Kami yakin sudah bekerja dengan sangat teliti," ujarnya. Bukan membela diri, tapi sepertinya memang seperti itu.
Tristan lantas mengangguk seraya berdiri, "Baiklah, terimakasih atas informasinya, Pak Rajendra. Kami akan mempertimbangkan ini untuk tindakan selanjutnya."
****
"Bagaimana, Rin? Apa sudah selesai analisisnya?" tanya Luki pada Arin, teknisi forensik yang dimintanya untuk menganalisis temuan benda berwarna merah di lantai, gagang pintu, sekaligus yang Ia bersihkan dari tangan Tristan.
Arin mengangguk, lantas mengajak Luki duduk di ruang instrumen, "Sudah. Hasilnya juga sudah keluar."
Teknisi itu lantas mengeluarkan dua lembar yang sepertinya baru saja di print beberapa menit lalu, "Ini hasilnya," ujarnya, memberikan itu pada Luki.
Luki membacanya perlahan, Ia sudah terbiasa memang membaca dokumen output analisis seperti ini, tapi fokus penuh tetap diperlukan.
"Zat besi ..."
"Dietil eter ..."
Luki mengerutkan dahinya, mendekatkan kertas itu beberapa sentimeter lebih dekat mata, "Heme?"
"Heme?!" serunya agak tinggi.
Arin mengangguk, "Ya, ditemukan heme. Hemoglobin darah, sepertinya terawetkan dalam gumpalan cairan yang mengering itu, hingga masih bisa teranalisis," jelasnya.
Luki tampak berpikir, "Apakah bisa diidentifikasi soal identitas asal usul hemoglobin ini?"
Arin menggeleng, "Sayangnya tidak bisa, sel darah merah ini tidak punya material genetik."