Chereads / The Retro: Art and Death / Chapter 19 - Sesuatu di Gagang Pintu

Chapter 19 - Sesuatu di Gagang Pintu

"Ada apa?" Isyana, Luki, dan Yudha datang. Mendengar keributan di area dapur dan gudang itu mengalihkan perhatian mereka dari pekerjaan sebelumnya.

"Barang bukti baru. Hidrogen peroksida yang bocor. Sepertinya ini sudah lama, lihat saja tempatnya itu sampai meleleh, tidak kuat menahan sifat korosifnya," jelas Tristan setengah menggebu. Masih dengan pertanyaan tadi, kenapa bisa temuan sepenting ini tidak dituliskan di laporan TKP tiga tahun lalu?

"Apa mungkin investigator tiga tahun lalu mengira derigen ini berisi air? Tapi tetap salah karena mereka tidak memeriksa ini."

Isyana hendak masuk ke ruangan itu, namun Luki buru-buru menarik kerah jaketnya, "Jangan masuk, bahaya," ujarnya.

"Apa fungsi hidrogen peroksida?" tanya Jevan.

"Pelarut senyawa organik," jawab Yudha.

Tristan mengerutkan dahinya, "Pelarut senyawa organik ... apa ini untuk menghilangkan bukti medis? Sidik jari hingga darah bisa hilang karena pelarut ini," ujarnya.

Yudha mengangguk setuju, "Ya, sepertinya memang untuk tujuan itu. Laporan tiga tahun lalu bahkan tidak menemukan sidik jari pelaku, begitu juga di penemuan korban lainnya kecuali yang ada di TKP ke delapan," ujarnya.

Tristan mengangguk, "Tapi rasanya tidak mungkin senyawa pelarut sebanyak ini hanya digunakan untuk menghilangkan jejak medis milik si pelaku. Ada kemungkinan pelarut ini juga digunakan untuk menghilangan jejak medis korban," ujarnya.

"Seperti apa contohnya?" tanya Luki.

"Korban ditemukan dalam kondisi sangat rapi, jauh dari tanda penyiksaan dan pembunuhan brutal. Sekujur tubuhnya tak tergores, tak berdarah. Bukankah mungkin jika Ia dibersihkan terlebih dahulu?" tanyanya.

Asumsi itu terdengar out of the box di telinga Isyana, Luki, Jevan, dan Yudha hingga mereka belum bisa berkomentar sekarang. Tristan dan intuisinya.

"Kita harus melaporkan ini ke divisi forensik. Luki, dokumentasikan dan bawa sampel barang bukti ini," titah Tristan kemudian.

Luki mengangguk, kembali dengan tugasnya.

Sementara itu, Tristan dan yang lain meninggalkan area gudang, mencegah kerumunan karena akan menipiskan aliran oksigen ke ruangan dengan bau menyengat itu.

"Sejauh ini ada tiga bukti yang tidak terlaporkan oleh investigator tiga tahun lalu. Saya curiga, masih banyak hal lain yang tidak ditemukan," ujar Tristan.

"Atau itu hanya tidak dilaporkan?" tanya Isyana, membuat Tristan, Jevan, dan Yudha melirik cepat padanya.

"Apa itu mungkin?"

"Entahlah, hanya pikiran jelek Saya saja sepertinya," ujar Isyana akhirnya.

Tristan menyugar rambutnya kebelakang, "Apa semua ruangan sudah kita periksa?" tanyanya.

"Ya, sudah Kapt. Saya bahkan sudah dua kali memeriksa seisi dapur sebelum dengan Kapten tadi," ujarnya.

"Kalau begitu kita cukupkan sampai sini. Tinggal menunggu Luki mengkoleksi barang bukti. Tapi bagaimana dengan sidik jari atau identitas yang mengarah langsung pada si pelaku?"

Yudha dan Jevan kompak menggeleng, "Tidak ditemukan, Kami sudah memeriksa titik titik paling potensial, nihil."

"Baiklah, sepertinya memang si pelaku ini cerdas dan terlatih sekali, bahkan di pembunuhan pertamanya," ujar Isyana yang disetujui Tristan.

"Ah tunggu, sedari tadi kita memeriksa apartemen ini, tapi Saya belum tau, milik siapa sebenarnya unit apartemen ini?" tanya Yudha.

"Pemiliknya tidak diketahui," jawab Tristan cepat.

"Tapi penemuan belasan derigen hidrogen peroksida itu mencurigakan. Apa jangan-jangan apartemen ini milik si pelaku alih alih si korban?"

"Apa investigator sebelumnya mengatakan ini adalah apartemen milik korban?"

Tristan mengangguk, "Ya. Karena ada paspor korban di dalam kamar. Hanya itu. Kalian lihat saja, kamar itu kosong, tidak ada pakaian atau apapun itu barang yang bersifat personal," ujarnya.

Hening, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak lama kemudian, Luki sudah kembali dengan box berisikan tiga temuan hari ini.

"Semua udah dikoleksi. Apa ada lagi?" tanyanya.

"Tidak ada, kita akan keluar sekarang," jawab Isyana.

Kelima orang itu lantas berjalan menuju pintu keluar. Tristan meminta keempat rekannya untuk keluar terlebih dahulu, membiarkan dirinya keluar terakhir. Setelah Isyana didepannya itu keluar ruangan, Tristan hendak keluar setelah mematikan saklar lampu.

"Aish!" serunya, begitu tangannya menyentuh sesuatu yang lengket di gagang pintu. Tristan memeriksa tangannya yang sudah tak bersarung tangan itu. Seketika matanya membulat, mendapati telapak tangannya itu sudah berwarna merah.

"Ada apa?" tanya Isyana yang sempat mendengar umpatan kecil Tristan. Ia mendekat, lantas melihat apa yang terjadi dengan tangan kaptennya itu.

"Astaga. Merah lagi?"

Tristan mengangguk, "Periksa diluar," titahnya, kemudian menyembunyikan tangan kotor itu dibalik saku jaket jeansnya.

Pintu tertutup, Tristan dan Isyana segera masuk ke lift setelah menunggu beberapa detik.

"Apa itu tadi? Apa berbau?" tanya Isyana pelan, memperhatikan Tristan yang dengan ekspresi jijik mengepalkan tangan dibalik saku jaket.

"Entah, yang jelas ini lengket, sepertinya sama dengan apa yang ditemukan Yudha," ujarnya.

Isyana mengangguk, tidak lagi bertanya, khawatir akan terekam oleh CCTV lift apartemen itu. Beberapa menit kemudian, mereka sudah sampai di basement tempat mobil diparkir. Ketiga orang lainnya sudah berada di dalam.

"Luki, beri Saya alkohol," titah Tristan begitu Ia masuk mobil.

"Hah? Ada apa?" tanya Luki, sembari mengeluarkan apa yang diminta Tristan.

Tristan menunjukan telapak tangannya yang berwarna merah pekat itu, "Di gagang pintu, sepertinya benda yang sama dengan yang di lantai tadi," ujarnya.

Semua orang tampak terkejut, kecuali Isyana yang sudah tahu.

Luki lantas membersihkan noda di tangan Tristan itu, tanpa lupa mengkoleksinya di tempat khusus. Ia kembali harus bekerja meskipun di dalam mobil seperti ini.

"Isyana, gantikan Saya mengemudi," titah Tristan begitu tangannya selesai dibersihkan Luki. Khawatir noda itu adalah sesuatu yang penting, dan menempel di kendaraan pribadinya.

Kelima orang itu lantas pergi meninggalkan apartemen, dengan Isyana yang melajukan mobil dengan kecepatan sedang.

"Luki, segera hubungi tim forensik setelah ini untuk memeriksa temuan baru di TKP," ujar Tristan.

"Baik, Kapten."

"Siapa yang menulis laporan investigasi tiga tahun lalu?" tanya Tristan lagi.

"Masih bertugas di Polda Metro Jaya, namanya Rajendra. Dia juga adalah detektif muda yang menginvestigasi tiga tahun lalu. Kalau pimpinannya, sudah tidak bertugas di tempat kita. Ia dimutasi ke Polda Jatim," jelas Jevan.

Tristan mengangguk, "Kita perlu bicara dengannya, menyamakan perspektif."

Semuanya mengangguk setuju, hening kemudian. Hanya terdengar suara mesin mobil yang melaju di tol dalam kota. Hingga akhirnya, suara dering ponsel Tristan memecah keheningan. Buru-buru pria itu memeriksanya.

Unknown number is calling ...

Tristan mengerutkan dahinya, sedikit was-was kalau-kalau itu adalah si pengirim pesan misterius tadi malam.

"Halo?" sapanya.

"..."

"Iya betul, ada apa?"

"..."

Tristan terkesiap, Ia bahkan menegakkan duduknya, "Di rumah sakit mana?" tanyanya panik.

"..."

"Baik. Terimakasih, Saya segera kesana."

Panggilan kemudian diputus Tristan, menyisakan rasa penasaran di benak keempat rekannya yang lain.

"Ada apa?"

Tristan mengerjap beberpa kali sembari melirik arlojinya, "Ah ... maaf bisa turunkan Saya di RS Wellington? Saya ada perlu kesana selama jam istirahat satu jam ini."