Sekolah bagaikan penjara bagi gadis kecil berperawakan gemuk itu. Setiap hari ia selalu mendapatkan perlakuan buruk dari teman-temannya. Apa yang salah jika dia dilahirkan dari keluarga yang tidak mampu. Bukankah kita tidak pernah bisa memilih dari rahim siapa kita dilahirkan? Apa yang salah jika dia berperawakan gemuk dan tidak bisa berkulit cerah seperti yang lainnya?
Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu. Sebagian murid SMA BINA BHAKTI sudah berhambur keluar menyisakan beberapa siswa yang masih berbincang-bincang ringan dengan sahabatnya. Beberapa siswa laki-laki masih berdiri tebar pesona di koridor sekolah. Bahkan suka iseng mengganggu beberapa murid wanita.
Salah satunya gank Ardian, seorang siswa kelas 12 yang memang terkenal iseng dan selalu membully murid-murid yang dianggap rendah.
Sekolah sudah mulai sepi. Avissa berjalan menelusuri koridor sekolah. Berharap bisa segera keluar dari sekolah yang ia anggap sebagai sarang drakula. Dia berjalan sambil menunduk takut-takut melewati gank Ardian yang sudah terkenal sebagai gank yang suka membully siswa lain. Entah kenapa, banyak siswa di sekolah Avissa yang memperlakukannya dengan semena-mena. Hanya beberapa saja yang merasakan iba padanya.
Jantung Avissa berdetak dengan begitu kencang. Hal itu terjadi karena dua hal. Pertama karena dia takut. Kedua, karena sebenarnya dia menaruh perasaan pada anak laki-laki tukang bully itu. Entah mengapa, dia suka memandang anak sombong itu. Diam-diam, dia suka mencuri pandang dari kejauhan. Namun, ketika dekat, jangankan memandang, mendongakkan kepalanya saja dia tidak berani.
"Stt ... Sasaran empuk nih," ucap Ardian sambil menyikut tangan Riko yang saat itu sedang menyandarkan tubuhnya ke dinding.
Riko langsung berdiri tegak, lalu memandang Avissa yang berjalan takut-takut menuju ke arah mereka.
"Oe gendut, mau ke mana?"
Avissa tidak menjawab. Dia menunduk sambil mendekap tas ranselnya. Keringat dingin mengucur ke pelipisnya. Dilangkahkannya kaki gempal yang tengah gemetar itu. Suasana sekolah sudah sepi, dia takut dibully dan dirundung seperti sebelumnya.
Ardian yang saat itu sedekap dan menyender di dinding, langsung menegakkan tubuhnya dan menghampiri Avissa.
Avissa langsung mati kutu. Dia terdiam membeku. Dia semakin mengeratkan pelukan pada tas ranselnya. Dia memejamkan mata dan menggigil.
"Kok ada yang makhluk seperti kamu di bumi ini. Gendut, item, pake kacamata tebel. Kayak elien. Nggak ada sisi bagusnya. Enek lihatnya" Ardian mendorong jidat avisa dengan jari telunjuknya.
Saking kerasnya Ardian mendorong, Avissa terjengkang. Mereka bertiga menyambutnya dengan tawa yang kencang seolah sedang menonton adegan komedi.
Avissa menunduk dengan posisi duduk diatas lantai marmer warna coklat mengkilat itu. Matanya mulai berkaca-kaca. Dia merutuki dirinya, bagaimana bisa dia suka dengan laki-laki yang tak punya perasaan seperti itu?
"Tubuh gede, di dorong dengan Telujuk saja terjengkang. Isinya angin? Eh gais, ada yang bawa gunting nggak?" Aray, salah satu dari gank Ardian ikut nimbrung. Dia menatap Avissa yang ketakutan.
"Buat apa?" Riko mengangkat dagunya.
Aray membisikkan sesuatu di telinga Rico dan Ardian, Setelah itu mereka berdua mengangguk-angguk lalu tertawa keras.
Perasaan Avissa tidak enak. Dia berusaha untuk mengusap air matanya yang mulai menetes, lalu berusaha untuk berdiri dan ingin berlari dari tempat itu secepatnya. Namun, baru saja avisha ingin melangkahkan kaki, Ardian mencengkeram lengannya.
"Hey, mau ke mana elien? Tunggu dong. Kita main-main dulu," ucap Ardian sambil menaikkan alisnya, lalu dia berkelakar.
"Lepasin kak!" ucap Avissa lirih. Ketakutan menguasai dirinya saat itu.
"Ayo gais beraksi!" teriak Aray.
Mereka segera beraksi, Riko mengambil gunting dari tas Ardian. Dengan cekatan, Riko meraih 2 tangan Avissa dengan kasar dan disatukan di belakang persis orang yang sedang diborgol.
"Kak, kakak mau apa? Lepasin kak. Lepasin!" Avissa mulai berani teriak dengan bibir bergetar.
"Ayo Ar, beraksi!" ucap Riko dengan tawa. Mereka tampak bahagia seperti seorang anak TK yang baru saja mendapatkan mainan baru.
Riko dan Aray memegangi tangan dan tubuh avissa yang mencoba untuk berontak. Sedangkan Ardian menggunting asal rambut Avissa hingga sangat pendek di bawah telinga.
"Lepasin kak! Apa salahku sama kakak! Kenapa kakak selalu berbuat jahat padaku! Tolong lepasin kak."
"Salahnya kamu jelek dan gendut. Tidak enak dipandang. Sasaran empuk lagi. Coba kalau Kamu cantik dan bening, nggak bakalan kita berbuat seperti ini." Para begundal itu terus memotong rambut Avissa. Ketika dirasa sudah cukup, mereka segera memasukkan guntingan dalam tas.
"Nah, udah cakep!" ucap Ardian sambil memandang Avissa dari depan.
"Ayo kabur teman-teman! Sebelum ketahuan!" Teriak Aray pada teman-temannya, lalu mereka segera pergi sambil tertawa keras. Didengar dari tawa mereka, terlihat sekali mereka sangat puas. Mereka pergi meninggalkan Avissa yang sedang menangis tersedu.
Seketika, lutut Avissa terasa lemas. Kakinya seakan tidak bisa menopang dirinya. Gadis malang itu terduduk, dipeluknya kedua lutut gempalnya. Rasanya dia ingin teriak, tapi tak mampu. Hanya tetesan air mata yang mampu mewakilkan perasaannya.
Avissa tersedu. Dia benar-benar tidak bisa menahan air matanya. Rambutnya, sesuatu yang dianggap paling berharga dan paling menarik dari dirinya, kini telah rusak. Apalagi yang melakukannya adalah orang yang disukai olehnya. Rasanya berlipat-lipat lebih menyakitkan.
"Diinjak-injak kok diam saja. Dasar bodoh!" Terdengar suara lantang seorang laki-laki. Entah siapa, Avissa tidak mengenali suara itu. Dia tetap pada posisi semula, tersedu sambil memeluk lutut.
"Kamu itu manusia. Sama seperti mereka. Mereka makan nasi seperti kamu juga! Lalu apa yang kamu takutkan? Jangan Jadi pecundang. Bangkit! Kalau kamu lemah seperti ini, selamanya kamu akan diinjak-injak. Rubah dirimu! Kamu bisa melakukan semuanya jika kamu mau! Kamu bisa cantik seperti teman-temanmu kalau kau bertekad. Kau bisa menampar balik orang yang menamparmu!"
Suara itu terus berceloteh, menghentikan tangis Avissa sejenak. Avissa tertegun. Suara siapa itu?
"Aku tahu kamu insecure kan. Kamu sehat, tidak kurang suatu apapun. Kamu bisa melakukan apa pun yang kamu mau. Jangan mau di injak-injak lagi. Ingat! Kamu bukan sampah!"
Kata-kata itu seperti cambuk bagi Avissa, kata-kata yang terus terngiang-ngiang di telinganya. 'kamu bukan sampah'
Perlahan, Avissa mendengar suara langkah kaki menjauh. Dia segera menoleh dan mendongakkan kepala. Mencari sang pemilik suara, tetapi tak ada siapapun disana. Pemilik suara itu sudah pergi.
"Siapapun kamu, kamu tidak tahu, kamu tidak pernah menjadi orang miskin sepertiku. Makanya dengan mudah mengatakan itu padaku," ucap Avissa lirih. Dia kembali menunduk. Lalu, dia memandang rambutnya yang berserakan di lantai. Dia pungut bagian tubuh yang sangat disayang itu, di genggamnya erat sambil terisak.
'kamu akan menjadi saksi dari kebrutalan sikap mereka,' ucap Avissa dalam hati sambil memandang rambut dalam genggamannya.