"Kau ... Nevtor, bukan?" Pelayan wanita itu berucap spontan dan lantang. Untunglah tidak ada orang selain mereka berdua. Kalau ada mungkin identitas Nevtor yang seorang buronan bakal ketahuan sebab suara dari wanita itu amat keras.
Nevtor memakai kembali tudung. Namun kali ini wajahnya dapat terlihat. Tatapan dingin dan mata biru sapphire serta merah ruby-nya yang menyala.
"Sekarang kita sudah tahu identitas masing - masing. Jadi tidak akan ada kecurigaan apapun di antara kita," kata Nevtor memulai kembali percakapan saat tadi lengang sejenak.
Awalnya, Ernaa memang menaruh curiga. Tetapi saat ini dia bisa bernafas lega. Walau masih ada sedikit rasa khawatir akan status pemuda itu yang seorang buronan. Ia sempat berpikir ingin melaporkan tentang hal ini kepada para penjaga kota. Namun melihat tatapan menakutkan si pemuda berjubah tersebut, cukup membuat tindakan itu tampak percuma. Sekarang dia hanya bisa duduk manis menunggu sesuatu yang akan disampaikan.
"Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku ingin bertanya tentang sebuah informasi," sambung Nevtor, "mengenai lokasi 'The Twin'." Dia menatap serius dengan kedua tangan saling digenggam di atas meja.
Ernaa tersenyum lalu membalas, "Lalu, apa yang kudapatkan setelah memberikan informasi tersebut?"
Tentu saja sebagai seorang informer, Ernaa tidak hanya membagi sebuah informasi secara cuma - cuma. Diperlukan timbal balik agar saling menguntungkan dan menghilangkan rasa tak adil atau benci sepihak. Akan tetapi, jika opsi demikian tidak tercapai, maka informer tersohor seperti dirinya bisa saja melakukan hal lebih yakni mengulik informasi korbannya sampai ke akar - akar, bahkan yang lebih mengerikan lagi menyebarluaskan.
"Apa yang kau inginkan?"
"Seperti yang kau tahu kalau aku ini seorang wanita. Biasanya apa yang diinginkan wanita?"
"Uang?" Dengan cepatnya, Nevtor melontarkan tebakan singkat tersebut. Itu memang hal pertama yang terbesit dibenaknya.
Ernaa menggeleng seraya tersenyum. Nevtor pun kembali berpikir. Biasanya apa yang disukai wanita? Dalam pengalamannya selama ini memang beragam hal ia temui, tapi sedikit persoalan tentang wanita. Butuh beberapa menit hingga akhirnya ada sesuatu yang terlintas lagi di kepalanya.
"Aksesoris?"
Tetap saja, pelayan wanita itu menolak. Nevtor merasa sia - sia memikirkan jawaban itu, dan mungkin saja otaknya akan mengeluarkan asap jika saja dia berpikir keras kembali. Intinya, saat ini dia sudah menyerah.
Melihat pemuda di depannya bungkam seribu bahasa, Ernaa kembali tersenyum kemudian berkata, "Jadi hanya itu tebakanmu?"
"Tidak ada yang bisa kupikirkan lagi."
"Baiklah ...," wanita itu bangkit dari kursi dan berjalan mengitari si pemuda sembari membelai manja kedua bahunya. Kemudian kembali duduk manis lalu menopang dagu dengan kedua tangan di permukaan meja, "... yang kuinginkan adalah kau. Ceritakan tentang dirimu!" Godanya. Tersenyum semanis gula.
Sayang, godaan itu tak berarti bagi Nevtor. Dia malah memberikan tatapan sinis. Membuat Ernaa terdiam dan tersenyum kaku. Informer tersohor sepertinya bahkan kesulitan melayani seseorang yang sedingin Nevtor.
"Aku hanya bercanda. Cukup kau bayar tehnya!"
"Hanya itu?"
Ernaa mengangguk pelan, tanda persetujuan. Lalu mulai berbicara, "The Twin, huh? Aku tidak tahu pastinya. Namun aku mendapat informasi dari seseorang bahwa mereka ada di sebuah reruntuhan kuno yang bernama Geliuz. Tepatnya berdekatan dengan Teluk Fuliuz, Sektor Timur."
"Reruntuhan kuno?"
"Iya. Tetapi tak sembarang orang bisa masuk ke sana, sebab tempat itu terlarang. Bahkan kalau kau tetap nekat, bisa saja kau langsung terbunuh."
"Kenapa begitu?"
"Ada rumor mengatakan, kalau tempat itu memiliki semacam segel atau apalah yang bisa mendeteksi kehadiran orang lain selain warga teluk itu sendiri. Jika sudah ketahuan maka sesuatu hal yang mengerikan akan terjadi."
Nevtor terdiam. Mencoba menangkap perkataan si pelayan. Seperti yang dikatakan Ernaa tampaknya tidaklah bohong. Dan bagaimana cara menyusup ke kota tersebut tanpa ketahuan? Dia sempat berpikir semoga saja dirinya memiliki kemampuan semacam 'menghilangkan diri'. Tetapi tetap saja, khayalan konyol tersebut tidak akan terjadi. Lagi - lagi otaknya harus bekerja keras.
Melihat Nevtor yang berlarut dalam pemikiran, Ernaa pun mulai angkat bicara lagi, "Tetapi kau bisa meminta bantuan seseorang untuk masuk ke teluk itu," usulnya.
Si pemuda yang baru saja mulai memikirkan sebuah ide, buyar begitu saja karena usulan barusan. Dia pun kembali menatap si pelayan wanita. "Siapa?"
"Seorang ilmuan yang dijuluki 'Sang Manipulasi' bernama Serena. Dia berada di kota Known, Kota Sejuta Pengetahuan."
Untuk sesaat, Nevtor menimbang - nimbang. Seusainya, dia bangun dan merogoh saku celana. Mengambil dua kantung berwarna coklat yang berisikan banyak koin lalu meletakkannya di atas meja, kemudian berjalan meninggalkan kafetaria.
Ernaa pun memanggil pemuda itu yang telah jauh, "Hey, uangmu sangatlah lebih. Tehnya hanya satu koin tembaga!" Jelasnya.
"Ambil saja! Anggap itu tips untukmu membeli aksesoris, dan juga uang tutup mulut." Nevtor membalas tanpa menoleh. Ia terus menjauh hingga wujudnya hilang dibelokkan.
Di sisi lain, ada sepasang netra lain yang memantau dirinya dari kejauhan.
-----
Nevtor berjalan di gang sempit yang terkadang dilalui oleh preman ataupun pemabuk. Bahkan geladangan yang sekedar berselonjor santai sambil tidur - tiduran. Dia memilih jalan ini sebab tenang dan damai, juga jauh dari mata publik.
Lagi santai - santai jalan, sontak ada suara seseorang dari belakang dan membungkam langkahnya. Suara wanita yang serasa tidak asing.
Pandangan si Pemuda menoleh. Melihat kedua kaki si wanita yang berbalut stocking putih. Dan terus ke atas, ia mengenakan pakaian hitam berpadu warna putih disertai rok rumbai - rumbai yang menyatu dengan baju. Juga terdapat dua gundukan kembar yang besar. Yang rupanya, dia pelayan wanita yang menghajar tiga om - om waktu itu. Dirinya berkacak pinggang dan menyuguhkan raut seram.
"Apa yang kau bicarakan dengan Kakakku tadi?" Tanyanya dengan nada ketus.
Ternyata dia adik dari Ernaa, mengejutkan.
Nevtor yang tak peduli akan pertanyaan itu memalingkan pandang dan kembali melangkah. Namun kakinya terhenti saat sebuah logam tajam tepat berada di samping lehernya, pisau dapur.
"Kutanya sekali lagi. Apa yang kau bicarakan dengan Kakakku? Atau logam ini akan menebas lehermu!"
Dia mengacam cukup sadis. Sebenarnya Nevtor bisa saja menghindari situasi sekarang tanpa harus menjawab pertanyaan itu. Namun karena merepotkan dan mungkin terjadi hal tidak terduga seperti ketahuan oleh orang sekitar, jadi lebih baik tidak dilakukan.
"Hanya sebuah pekerjaan," jawab Nevtor.
"Apa itu benar?"
"Apakah jawabanku cukup meragukan bagimu?"
"Sangat!"
Nevtor menghela nafas. Kemudian menjelaskan, "Aku hanya bertanya pada kakakmu soal lowongan pekerjaan di kafetaria itu," bohongnya. Tampaknya itu jawaban yang sangat tidak masuk akal. Namun melihat reaksi pelayan wanita di belakang, dia sepertinya cukup menyetujui.
"Baiklah, kalau memang begitu." Wanita itu menjauhkan pisau dapur dari leher Nevtor. "Akan tetapi, kalau kau berani macam - macam pada Kakakku, bersiaplah akan konsekuensinya!!!" Ancamnya kembali dengan raut nanar dan nada sarkas. Dia kemudian berjalan menjauh hingga hilang dari pantauan Nevtor.
***
Kota Nolem hari ini amat cerah. Kecerahan itu juga senantiasa terpancar di wajah orang - orang yang lalu - lalang serta para pedagang. Pedagang yang mayoritas menjual bermacam buah, namun yang lebih dominan adalah buah melon. Buah bulat dan berkulit hijau kekuningan dengan daging berwarna hijau terang. Bijinya pun amat banyak. Dari yang didengar kalau rasanya manis. Oleh karena itu, Nevtor berpacu ingin mencicipi.
Hm ... memang sangat manis dan segar. Cukup untuk mengganjal perut Nevtor yang sudah berbunyi.
Setelah menyisir jalan setapak kota, pemuda berjubah hitam itu akhirnya tiba di gerbang keluar. Dia tidak lantas pergi ke sana namun memastikan dulu apakah ada penjaga.
"Baguslah tidak ada penjaga sama sekali," gumamnya.
Beberapa detik sebuah kereta kuda pun datang dan mengarah ke gerbang. Dengan cepat, Nevtor langsung melompat masuk ke bagian gerobak penumpang yang atapnya tertutupi terpal coklat dan dua jendela di sisi kiri dan kanan.
Sang kusir yang merasakan ada yang tak beres di belakang lalu memberhentikan laju kereta dan menengok. Dia mendapati ada seseorang yang tengah berselonjor santai sambil melipat tangan.
"Tuan, kalau Anda ingin menumpang sebaiknya bayar. Saya tidak ...."
"Ya, nanti saya akan bayar kalau sudah sampai," potong Nevtor. Tak bergerak sedikit pun dari posisinya.
"Jadi ke mana Anda mau pergi?"
"Kota Known!"
"Oh, kalau begitu kebetulan, saya juga memang hendak ke sana."
"Oh, kalau begitu baguslah. Sekarang jalan!"
Sang Kusir mengernyit. Kosa kata yang dilontarkan pemuda berjubah tersebut terdengar menjengkelkan. Tapi mau bagaimana lagi, penumpang adalah raja. Selama membayar tidak masalah baginya meski penumpang se-mengesalkan Nevtor.
Tali dipecutkan pelan. Kuda meringkik dan mulai berjalan.
Pada saat keluar gerbang hamparan rumput hijau langsung tampak, juga desiran angin yang sepoi - sepoi. Netra pemuda yang berada di gerobak itu pun sangat dimanjakan oleh suasana tersebut hingga akhirnya tak kuasa menahan kantuk.