Chereads / The Title: Assassination Arc / Chapter 9 - Bab 9 Kecurigaan ( Revisi )

Chapter 9 - Bab 9 Kecurigaan ( Revisi )

Suasana benar - benar tegang di antara kedua pemuda yang saling tukar pandang. Tubuh mereka tak bergerak, bahkan netra keduanya tak berkejap sama sekali seakan lupa caranya.

Di samping itu, Veronica terkejut saat Fenrir mengatakan bahwa pemuda berjubah di dekatnya seorang buronan. Meski dia tidak yakin itu benar atau salah. Secara dirinya tidak tahu menahu tentang ciri buronan tersebut. Tapi yang pasti, Nevtor, nama yang tersebar luas di masyarakat kalau itulah buronan yang tengah dicari para petinggi, Title Champion.

"Miris sekali ya. Kau malah dengan bodohnya masuk kandang singa," Fenrir mengucapkan itu dengan pembawaan santai. "Jadi sekarang, aku tidak akan membiarkanmu lolos begitu saja." Sembari senyum menyeringai, pemuda itu mempersiapkan diri memasang dua knuckle--yang ia simpan pada tas kecil di pinggang--pada kedua tangan.

Fenrir merupakan seorang Title Epic. Ia bahkan telah diakui kehebatannya dalam bela diri jarak dekat oleh seluruh Title Epic lain di tempat pelatihannya. Berbekal knuckle sebagai senjata andalan, dia mampu bergerak secara bebas dalam menyerang. Hebatnya lagi, dulu dia sempat diangkat menjadi salah satu Title Champion. Tetapi dirinya menolak entah karena alasan apa.

"Bersiaplah. Aku mengalahmu di sini dan mengirim langsung pada para petinggi," lanjutnya masih menyeringai. Kemudian mulai memasang pose bak petarung sejati, kedua kepalan tangan diangkat setinggi muka.

Situasi sekarang benar - benar gawat. Jika pertarungan ini berlangsung mungkin perpustakaan akan hancur lebur. Tentunya si Nona kecil tidak menginginkan hal itu terjadi. Dia lantas berjalan lalu berhenti tepat di sisi tengah kedua pemuda. Sorot matanya sangat serius, bergantian melihat Nevtor dan Fenrir.

"No-Nona apa yang anda lakukan? Cepat menjauhlah dari orang itu!" Pinta Fenrir sedikit gagap.

"Jangan menilai sesuatu dari sampulnya. Hanya karena dia seorang buronan bukan berarti dia memiliki niat jahat, 'bukan?" Tukas Serena. Seutas senyum terlukis di bibir mungilnya.

Terpampang jelas wajah kebingungan si pemuda klimis. Dia pun segera bertanya untuk mengerti, "Apa maksudmu Nona?"

"Maksudku, jangan langsung menyimpulkan. Kita belum tahu tujuannya datang ke sini. Kali saja dia mempunyai tujuan baik."

Mendengar itu justru membuat mimik si pemuda tampak geram. "Tujuan baik? Bagaimana mungkin seorang buronan sepertinya punya hal baik di dalam dirinya," bantahnya.

Senyuman berkembang, wajah Serena kemudian berpaling pada wanita berambut jingga di samping kanan. "Jika dirinya tidak punya hal baik, mengapa dia harus repot - repot menyelamatkan Veronica dan datang ke sini secara sopan, 'bukan?" Kali ini pandangannya beralih pada Nevtor.

Fenrir menggertakan gigi. Nampak sangat kesal. Kesal karena harus menerima pernyataan yang dikatakan memang adanya benar. Kendati di sisi lain, dirinya masih bersikeras tidak mempercayai. Susah, sangat susah.

Sementara Veronica, dia bisa bernafas lega sekarang ini. Yang dikatakan Serena benar sekali. Bagaimana mungkin seorang penjahat menyelamatkan dirinya dari situasi menakutkan saat itu, begitu menurutnya.

Serena bertanya pada Nevtor, "Jadi ada keperluan apa kau ...."

"Apa yang dikatakan Nona memang benar. Akan tetapi, aku belum percaya sepenuhnya pada orang itu." Fenrir menyela cepat. Sorot matanya kali ini lebih menyeramkan dari sebelumnya.

Serena membalikkan tubuh lalu tiba - tiba dirinya melayang. Rupanya dia seorang penyihir. Dengan tinggi yang sudah setara lantas dia mendekat dan menyentuh dahi si pemuda dengan jari telunjuk. "Tenang saja, intuisiku mengatakan kalau orang itu sama sekali tidak punya niatan buruk," lirihnya mencoba meyakinkan kembali.

"Tetapi Nona ...."

Gadis kecil itu mentelengkan kepala dan menyuguhkan senyum merekah. Fenrir hanya bisa bungkam dan mau tidak mau percaya padanya. Lagipula intuisi Serena memang selalu benar dan terpercaya. Sampai - sampai dirinya dijuluki sebagai peramal hebat, setidaknya bagi dirinya dan Veronica.

Fenrir menghela nafas panjang. "Baiklah kalau memang itu yang Nona katakan." Kemudian Ia melepaskan knuckle di kedua tangan lalu menyimpannya kembali pada tas kecil di pinggang.

Kedua kaki mungil yang terpasang pantofel hitam kembali menampak pada lantai kayu. Kemudian Nona kecil itu beralih pada Nevtor dan melanjutkan ucapan yang tadi sempat tersendat, "Jadi ada keperluan apa kau datang kemari?" Tanyanya.

"Ada yang ingin kubicarakan denganmu."

Denganmu? Serena langsung paham jikalau pemuda itu ingin berbicara empat mata. Dia pun lekas membawa Nevtor ke ruang pribadinya yang berada dekat meja pustakawan. Dari sudut pandang lain, tatapan Fenrir masih terus memantau hingga mereka berdua masuk. Terdengar decakan kesal. Veronica yang melihat itu pun lantas menghampiri. Dia merasa aneh, tidak biasanya pemuda tersebut bersikap begitu.

"Ada apa?" Tanyanya penasaran.

Tanpa menoleh Fenrir menjawab, "Aku memang percaya pada Nona Serena. Namun, kumasih tidak mempercayai si Nevtor itu!"

"Aku percaya padanya!"

Mendengar ungkapan polos itu, sontak Fenrir beralih pandang dan menatap lekat sang wanita berambut jingga di samping kanannya.

"Lagi pun mana mungkin ada penjahat yang mau menyelamatkan orang lain, 'kan?" Veronica melanjutkan sambil tersenyum simpul.

Hembusan nafas kasar keluar dari mulut. Fenrir kemudian tersenyum tipis dan berjalan menuju pintu keluar. Tapi sebelum membuka pintu, dia menoleh pada Veronica yang masih bergeming.

"Nampaknya kau jatuh cinta padanya ya," ujarnya dengan nada sedikit meledek.

Warna merah padam langsung tersaji di muka Veronica. Dia langsung menutupi wajahnya dan melongos ke arah lain. "M-mana mungkin!!" Pekiknya.

Melihat tingkahnya, Fenrir hanya bisa terkekeh. Kemudian tangan kanan membuka pintu kayu besar di hadapannya yang memiliki ukiran buku dan bunga tulip. Namun sebelum keluar, dirinya menyempatkan untuk melontarkan peringatan, "Jangan terdaya! Mungkin saja itu hanya kedok dirinya agar membuat kita percaya," tukasnya kemudian beranjak pergi. Meninggalkan kesunyian di tempat itu.

Veronica perlahan membuka wajahnya. Air muka merah telah hilang berganti kecemasan. Kedua netra amber-nya lalu memandangi intens pintu dekat meja pustakawan.

***

Ruangan yang kecil dan memukau. Terdapat meja persegi bertaplak biru dengan corak tulip, beserta empat kursi kayu coklat yang mengelilingi. Ada pun di sisi kiri, tempat tidur lengkap dengan selimut yang tampak rapi. Juga di sampingnya, ada almari dan tiga vas yang ditumbuhi bunga tulip, ditempatkan depan jendela. Dan sebagai penerangan, di langit - langit terpasang chandelier kecil yang jika dilihat lebih dekat modelnya sama dengan yang ada di perpustakaan. Selain itu, tampak pula di kejauhan ada ruangan lain, sebuah dapur.

"Silahkan duduk!" Pinta Serena kepada pemuda yang masih diam di ambang pintu.

Nevtor pun beranjak dari tempatnya dan duduk di kursi yang tersedia. Sementara Serena bergegas mengambil nampan berisikan teko dan dua cangkir putih dari dapur. Karena meja cukup tinggi dari badannya terpaksa ia harus melayang. Gadis kecil itu menaruh satu cangkir di atas meja, depan pemuda berjubah lalu menuangkan cairan hitam mengepul yang masih terdapat ampasnya. Kemudian beranjak duduk di kursi kosong, saling berhadapan.

"Itu merupakan teh hitam kualitas terbaik di kota ini," jelasnya. "Silahkan diminum!"

Meski berkata demikian, pemuda itu malah diam. Serena berpikir mungkin dia takuti diracuni. Lekas dirinya pun berinisiatif menuangkan teh pada cangkir di hadapannya kemudian mengangkat dan menjelaskan, "Tenang saja, ini tidak ada racun kok!" Secara perlahan, dia menyeruput teh di cangkir.

"Aku ingin meminta pertolonganmu untuk membantuku masuk ke teluk Fuliuz," kata Nevtor tiba - tiba.

"Fuahh!!" Sontak saja cairan hitam menyebur dari mulut Serena, memerciki permukaan meja dan jubah hitam sang pemuda. Dia terlonjak bukan karena mendengar ucapan barusan, melainkan ...

"Panas, panas!!" Sembari menjulurkan lidah, dia terus mengkipasi indra perasanya yang terbakar. Lupa bahwa dirinya telah hal tak senonoh.

Sadar akan perbuataannya, dia langsung mengangguk berulang kali seraya mengucapkan maaf meski pemuda di depan sama sekali tidak merespon, hanya memberikan tampang datar. Lalu gadis itu pun beranjak dari kursi dan mengambil cangkir Nevtor untuk menggantinya. Namun saat hendak ke dapur, pemuda itu justru membungkam pergerakannya.

"Tidak perlu! Lagipula aku tidak terlalu haus."

Mendengar itu, si Gadis kecil lekas kembali ke tempat duduk, saling bertatapan lagi. Ruangan seketika hening. Kesan dingin dan sinis yang senantiasa terukir di mimik Nevtor, membuat Serena hanya bisa mematung. Kedua kaki pun diayun - ayunkan supaya tidak tegang.

"Aku ke sini hanya meminta hal barusan. Kudengar dari seseorang kalau kau bisa membantuku masuk ke tempat tersebut." Nevtor memulai pembicaraan kembali.

Dahi gadis kecil sedikit mengkerut, ada kecurigaan. "Dari siapa kau mendengar hal itu?"

"Seorang informer wanita bernama Ernaa."

Kali ini tampak Serena tersenyum tipis lalu pandangan berpaling ke samping kiri. "Dasar! Padahal baru kenal beberapa hari, tapi dia beraninya membeberkan prihal tentang diriku," gerutunya lirih tanpa terdengar oleh si pemuda.

Tempat asal Serena sebenarnya dari desa yang berdekatan dengan teluk itu. Jadi dia tahu betul seluk beluk cara masuk ke tempat terlarang tersebut cukup mudah. Berkat melakukan eksperimen selama berbulan - bulan. Bahkan risiko yang harus dibayar, jatuhnya korban. Oleh sebab itulah dirinya pun dicap sebagai ilmuan gila dan mendapat perlakuan tidak baik sampai akhirnya pergi dari desa lalu menetap di kota ini hingga sekarang.

"Jadi apakah kau bisa membantuku?"

Setelah berlarut dalam kilas balik hidupnya, Serena beralih menatap pemuda berjubah itu. "Bisa saja. Namun tentu tidak gratis," jawabnya.

"Tidak ada barang yang bisa kuberikan padamu. Namun ...."

"Kau tidak perlu membayarnya dengan barang," gadis kecil itu menyela, "cukup kau membantuku saja mengambil sesuatu yang berada di sebuah desa. Detailnya akan kukatakan esok jam enam pagi di aula depan."

"Dan satu lagi. Nampaknya kita butuh seseorang lagi untuk ikut," imbuhnya.

Satu orang lagi? Hanya ada seseorang yang terlintas di benak Nevtor. Dia mungkin bisa. Walau tidak yakin mau atau tidak.

"Baiklah akan kucarikan satu orang itu." Pemuda itu bangkit dari kursi dan beranjak menuju pintu keluar. Namun baru beberapa langkah ia berhenti kembali. "Ngomong - ngomong, kenapa kau tadi sangat bersikukuh, berdalih beranggapan diriku baik pada pemuda itu," ujarnya tanpa menoleh.

Mata gadis itu berkejap dua kali lalu tersenyum. "Sudah cukup dengan si Maniak penculik, Wash itu. Aku tidak ingin kota Known dicap buruk lagi karena ketahuan ada seorang buronan di sini," tuturnya. "Apalagi Fenrir adalah pemuda berwatak keras. Bisa - bisa dia melaporkan tentang keberadaanmu di sini. Itu sangat merepotkan untukku."

Mendapat penjelasan itu, Nevtor pun kembali berjalan. Membuka lalu menutup pintu perlahan. Dirinya sempat mendengar suara seperti seseorang yang berlari ketika pintu hendak dibuka. Namun karena malas untuk ngurusin, pemuda itu pun tak peduli dan tetap melanjutkan jalan menuju pintu besar. Dan ketika dirinya telah keluar ternyata benar, di bawah meja pustakawan ada sosok yang sedang mengumpat.