Bertudung dan berjubah hitam, Ia berjalan di antara kerumunan perkotaan yang bising dan sesak. Ditambah suhu matahari yang amat menyengat.
Langkah kakinya terhenti pada sebuah toko berpapan nama, 'Wailer's Blacksmith'. Mengingat tidak memiliki senjata apapun, dia pun beranjak memasuki bangunan tersebut.
Bel toko berbunyi ketika pintu dibuka. Terdengar juga sambutan hangat dari pelayan di meja kasir. Seorang pria berumur sekitar dua puluh tahun. Bertelanjang dada, perperawakan kekar dan berambut hijau kebiruan, yang menyuguhkan senyuman. Kendati sang pembeli terlihat begitu mencurigakan tetapi ia tampak tidak ada keraguan sedikit pun untuk menerima kedatangannya. Selama barang dagangan laku, mungkin baginya tidak masalah meski orang itu pembunuh sekali pun.
"Ada yang bisa kubantu?" Tanya si Pelayan saat sang pembeli tiba di depan meja kasir.
Si Pembeli melihat - lihat beragam pedang yang disejajarkan secara vertikal dalam sebuah etalase kaca--di samping kanan meja kasir. Mengamati seksama satu per satu. Kemudian pandanganya terfokus pada pedang satu tangan bersarung hitam yang berada di barisan pojok kiri.
Dengan peka, si Pelayan toko secara sigap mengambil pedang yang tengah dipandang lalu meletakkan di atas etalase. Si Pembeli pun mengambil dan membuka pedang itu dari sarungnya. Mengamati bilahnya yang berwarna hitam legam bermotif gerhana bulan di gagang. Sangat mengkilap dan tajam. Seusainya, dia pun melempar tangkap, mencoba menilai bobotnya.
"Itu adalah sebuah pedang yang kutempa khusus. Hanya ada satu," jelas pelayan toko itu. "Mahakaryaku!"
Memasukkan kembali pedang ke sarung dan meletakkan di atas etalase, si Pembeli lalu menyeluk saku celana yang berada balik jubah.
"Bahannya sangat spesial yaitu obsidian. Batu yang amat kuat dan tajam." Si Pelayan menambahkan. Keceriaan senantiasa terpatri di wajahnya.
"Ini!"
Tanpa mengetahui harga dari senjata yang hendak dibeli, Pembeli itu lantas menaruh sekantung uang di permukaan etalase. Dilihat dari penuh kantung tersebut jelas sekali nominalnya sangat banyak. Namun saat sang pelayan akan mengembalikan uang yang kelebihan itu, si Pembeli pun berkata, "Simpan saja kembaliannya. Anggap itu sebagai nilai plus untuk mahakaryamu!"
Kemudian, dia mengambil pedang di atas etalase itu lalu berjalan ke pintu keluar. Supaya tidak dicurigai, ia pun menyembunyikan di balik jubahnya. Setidaknya cukup untuk mengecoh pandangan orang - orang. Kamuflase yang sempurna.
***
Di sebuah kafetaria, banyak sekali pelanggan yang datang. Para pelanggan yang didominasi pemuda - pemudi yang tengah asyik mengobrol dan tertawa ria. Ada pula di sisi lain, beberapa om - om berotot yang berkumpul sambil bermain judi dalam satu meja ditemani empat cangkir kopi hitam.
Mereka sungguh merusak citra tempat itu. Bahkan kegaduhan yang mereka sajikan membuat seluruh muda - mudi yang tengah menikmati obrolannya pun beranjak pergi, meninggalkan kegeraman di wajah salah satu pelayan wanita yang sedang mengelap meja.
Seolah tidak takut akan apapun, pelayan wanita itu lantas menghampiri tempat om - om dan menghentakan kedua tangan cukup keras di permukaan meja. Membuat beberapa dari mereka terkejut, bahkan hampir ada yang terjatuh dari kursi karena saking kagetnya.
"Pak tua, tempat ini bukanlah bar!!! Jika kalian ingin membuat kegaduhan sebaiknya pergi dari sini!!!" Tegas pelayan wanita itu seraya berkacak pinggang. Rambutnya dikuncir ekor kuda terhiasi bando putih berumbai - rumbai. Mata biru yang bagai air lautan serta wajah ayu bak bidadari begitu menawan dan memanjakan pandangan. Belum lagi kilauan kalung merah di lehernya pun menambah pesona akan dirinya.
Sayang, perintah yang dilontarkan sama sekali tidak digubris. Mereka malah tertawa lepas lalu perlahan menyeruput secangkir kopi yang masih hangat. Nikmat sekali.
"Apakah kata - kataku tadi kurang jelas?!" Intonasi suara si Pelayan meninggi. Warna merah pun mulai terlihat di kedua sisi pipi. Walau tetap saja perkataannya tidak didengar untuk kedua kali. Seolah masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.
Dengan decakan kesal dan gejolak amarah yang tidak dapat lagi terbendung, si Pelayan lantas menggebrak meja sekali lagi hingga menumpahkan cangkir kopi. Membuat cairan hitam yang panas langsung memerciki baju para om - om. Ada pula salah seorang yang memekik kesakitan saat kopi itu mengenai celana tepat pada bagian 'masa depannya'.
Sambil melipat tangan, si Pelayan memasang raut geram, menatap para pria yang sekarang berdiri diam. Dia benar - benar tidak gentar sedikit pun. Meski yang dihadapannya saat ini empat pria bertubuh kekar layaknya preman pasar.
Sebaliknya, meski momen ngopi mereka telah dikacaukan, para pria besar tersebut tidaklah menunjukan raut kesal sama sekali. Malahan mereka tersenyum dan memasang mimik mesum. Dan salah satu dari mereka pun mendekati pelayan wanita itu seraya kelima jemarinya menjulur perlahan, mendekati pipi.
"Ouch ...." Pria berambut perak itu merintih sambil mengelus tangannya yang mendapat tamparan kencang. Kendati demikian ia masih tetap tersenyum. "Ada apa? Apa kau marah karena kami tidak bisa bermain bersamamu?"
Mereka berempat serentak cekikikan, lalu salah seorang mencoba mendekati si Pelayan kembali. Dengan decakan lidah dan dengusan nafsu. Mencoba meraih dua gundukan kembar.
Lantas, secara cepat si Pelayan mencengkeram tangan nakal itu, kemudian memelintir dan membanting tubuh si Pria cabul tersebut ke belakang sampai air liur menyembur dari mulut.
Mata ketiga pria yang menyaksikan kejadian barusan terbeliak tak percaya. Bobot badan yang kekar nan besar itu mampu dihempaskan oleh seorang gadis kecil. Bahkan tidak ada sama sekali ketakutan terlukis di wajahnya. Seolah momen ini sudah menjadi makanan sehari - hari.
Satu tinju dilesatkan, bersiap menghantam wajah sang pelayan yang lengah. Namun berkat instingnya yang kuat, wanita itu bergerak menghindar, merendahkan tubuhnya. Setelahnya dia lantas melepaskan pukulan uppercut dan menghantam dagu pria tersebut. Tubuhnya pun melayang lalu jatuh terlentang di antara kayu - kayu meja yang hancur berserakan. Meringis kesakitan sambil memegangi dagu.
"Kurang ajar!!!"
Satu pria yang naik pitam, langsung maju dan melesatkan pukulan. Tetapi seolah mengambil permen dari bayi, si Pelayan begitu mudah menangkapnya, kemudian menendang perut sang pria hingga terpental keluar kafetaria. Membuat pria lain yang sebelumnya terkena tumpahan kopi di celana langsung kocar - kacir.
Selesai. Si Pelayan membersihkan telapak tangan lalu berlalu pergi meninggalkan dua pria yang terkulai lemas dan meringis di lantai. Sementara di sisi lain, ada pelayan wanita lain yang menghampiri satu meja yang dihuni oleh seseorang berjubah hitam sambil membawa nampan berisikan secangkir teh yang masih mengepul.
"Silahkan teh!" Kata pelayan itu seraya menata cangkir di dekat pelanggannya. Rambut serta iris matanya sama seperti pelayan yang barusan. Ia kemudian berdiri dengan kedua tangan menempelkan nampan di atas perut. "Maaf atas kekacauan yang terjadi!"
"Tidak apa - apa!" Balas orang itu. Wajahnya tertutup tudung jadi sukar untuk mengetahui ekspresinya. "Ngomong - ngomong apa kau, Ernaa?" Tanyanya spontan. Membuat si pelayan bernama Ernaa itu terperanjat.
Kecurigaan jelas sekali terpatri di air muka si Pelayan berambut biru itu. "Bagaimana bisa dia tahu identitas diriku?" Pikirnya begitu.
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Tentang sebuah informasi," sambung Orang berjubah itu. Ia mengambil cangkir yang masih panas di atas meja lalu meniupnya.
"Informasi?"
Perlahan, Orang itu menyeruput teh yang sudah agak adem kemudian mengganguk dan meminta, "Silahkan duduk!"
Mendengar itu, Ernaa segera mengambil posisi duduk di kursi seberang, saling berhadapan lalu menaruh nampan di atas meja. Meski masih terbesit rasa kecurigaan dia nampak santai sekali. Wajar saja, sebab pekerjaan lain yang digeluti mendorong dirinya harus menjadi pribadi yang tenang.
"Sebelumnya ...," Orang itu perlahan melepas tudung hitam yang menutupi kepala. Memperlihatkan rambut hitamnya--dengan satu helai kemerahan di bawah alis dan satu antena rambut berwarna sama. Bola mata kiri berwarna biru sapphire sedangkan kanan berwarna merah ruby, heterochromia. Selain itu, tidak ada ekspresi. Begitu datar dan dingin.
Mata Ernaa membulat ketika mengetahui wajah pemuda di depannya. Terkejut bahwa ciri pemuda berjubah itu sesuai dengan informasi buronan yang ia dengar tempo lalu.
"Kau ... Nevtor, 'bukan?!"