Chereads / Ratu Sejati / Chapter 8 - Perang Urat

Chapter 8 - Perang Urat

Sebuah mobil hitam yang dari sekali lihat saja sudah terlihat mewah bergerak merapat pada parkiran suatu proyek pembangunan. Pria itu —Adhinatha, turun dari kursi penumpang, menampakkan wajah rupawannya yang dingin dan berkharisma serta tubuh semampai yang proporsional.

Tidak ada senyum atau apapun. Hanya raut dingin dan keruh yang nampak di sana. Tidak biasanya.

Pria itu biasanya akan tampil sebagai laki-laki baik, leader yang baik, dan pria dengan senyum ramah. Tapi kali ini, dia bahkan terlihat siap meledak.

Langkahnya yang memasuki gerbang area proyek itu langsung disambut oleh dua pria yang bertugas menjaga lalu lalang orang masuk. Satunya pria bertubuh gempal dengan rambut ikal satunya pria bertubuh ceking dengan rambut lurus.

Keduanya menatap dari atas ke bawah memindai penampilan Adhinatha yang rapi dan bersetelan mahal. "Ada yang bisa kami bantu, Pak?" tanya si kurus membuat Adhi mengangguk.

"Regina ... di sini?"

"Regina?" Alis pria ceking itu terangkat. "Regina siapa?" ulang pria itu kebingungan membuat Adhi memutar mata malas.

"Memang ada berapa Regina di proyek ini, huh?"

Si gemuk melebarkan mata setelah diam beberapa saat. "Maksudnya Bu Regina?"

Adhi tidak menggeleng dan itu sudah berarti segalanya. "A-ada, Pak. Beliau baru saja sampai dan tengah meninjau progres proyek, Pak. Mau saya panggilkan?"

Mengibaskan tangannya, Adhi menolak. "Tunjukkan saja kemana jalan yang bisa saya dilewati."

Si kurus itu mengangguk patuh. "Sebelumnya pakai helm dulu, Pak. Sebentar. Jon ambil helm, Jon." Si Gemuk yang dipanggil Jon itu bergegas menuruti instruksi temannya itu.

Sebuah helm proyek warna orange disodorkan ke hadapan Adhinatha. Pria itu menatap dengan penuh keengganan. Rambutnya dia tata dengan rapi hari ini. Lengkap dengan gell rambut karena nanti akan ada rapat penting jam dua. Sayang kalau harus diberantaki. Tapi jika tidak pakai helm proyek itu, bagaimana kalau sesuatu tak terduga menimpa kepalanya?

Adhi dilema. Memilih mementingkan penampilan atau justru keselamatan.

Pada akhirnya logikanya lah yang menang. Adhi meraih helm itu, memakainya di atas kepalanya dan mengunci tali bagian bawah dagu agar tidak mudah lepas. "Sudah. Ayo."

Si Gendut mengangguk. "Mari, Pak, saya tunjukkan jalannya." Dengan lengannya, Si Gendut itu memandu Adhi yang notabene tamu di sana.

Proyek itu baru berjalan tujuh puluh persen. Masih begitu jauh hingga ke tahap finishing, sehingga resiko kejatuhan sesuatu jelas sangat tinggi di sini. "Itu, Pak Bu Regina."

Adhi menoleh, menemukan Regina tengah berdiri dengan kedua tangan tengah memegang sebuah kertas sketsa dengan seorang pria di sebelahnya tengah menjelaskan sesuatu. Kekesalan pria itu kembali begitu melihat Regina begitu fokus bekerja sampai-sampai melupakan janji makan siang mereka hari ini.

Berjalan cepat menghampiri Regina, Adhi bahkan sampai lupa berterima kasih pada pria yang mengantarnya ke sana. Begitu berdiri di depan Regina dengan napas memburu, respon wanita itu bahkan di luar dugaan Adhi. Tatapannya datar, alisnya bahkan tidak terangkat, terlihat tidak heran juga tidak berminat sama sekali akan kehadiran Adhi di sana.

Bahkan Regina tidak menyapanya. Wanita itu justru menyuruh kepala mandor menjelaskan apa yang tadi terjeda.

"Aku pikir kita sudah ada janji, Nona Regina," ucap pria itu penuh penekanan. Ditunggunya respon Regina yang terlalu acuh itu dengan amarah tertahan. Tapi yang ditunggu justru tak kunjung dia dapat. Wanita itu bahkan masih menatap pada lembaran kertas itu.

"Pak Aden, ayo lanjutkan."

Pria dengan kacamata minus itu menatap Regina, lalu beralih pada pada Adhinatha yang masih menatap dengan raut dingin. "Tapi, Bu ... seperti ibu sedang ditunggu."

Mendengar itu, Regina menghela napas. Ditatapnya Adhinatha yang masih menatapnya lurus seolah Regina adalah anak kecil yang bersalah. Tidak tahan dengan itu, Regina mendecak sebal.

"Sebentar," pamit Regina seraya mengangsurkan kertas sketsa di tangannya. Berjalan melewati Adhi, dia bahkan tidak bicara sedikit pun atau pun berhenti. Yang dilakukannya justru hanya berjalan memimpin sampai Adhi tidak punya pilihan selain mengekor.

Keduanya baru berhenti di dekat tumpukan semen yang sepi. Yang sedikit tertutup, terlindung dari tatapan para karyawan yang sejak tadi terlihat begitu ingin tahu dengan urusan bossnya itu.

"Bukannya aku menolak acara makan siang itu?" tanya Regina tanpa basa-basi. Ditatapnya Adhinatha dengan malas sekaligus jengkel. "Aku yakin kamu bahkan sudah membaca pesanku yang menolak acara makan siang tidak penting itu, 'kan?"

Adhi mengangguk. "Tapi aku bahkan tidak butuh persetujuanmu, Regina."

"Oh, wow. Bagaimana bisa kamu mengajakku makan siang tapi kamu bahkan tidak membutuhkan persetujuanku, huh? Makan siang sama batu sana!"

"Kamu tidak punya pilihan selain setuju, Na. Karena kamu jelas tau apa tujuan makan siang bersama kita, 'kan?" Adhi menatap Gina dengan tatapan lurus.

"Tidak, aku tidak tahu," jawab Regina singkat seraya membuang muka.

Adhi tertawa sarkas. "Jangan bercanda, Nona. Itu sama sekali tidak lucu."

"Dan aku tidak sedang melucu, asal kamu tahu." Menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya, Regina menghela napas. "Sudahlah. Makan siang sendiri, bisa, 'kan? Aku sibuk. Aku akan makan siang sendiri saat nanti aku punya waktu."

Baru Regina akan berbalik tangannya sudah ditahan oleh Adhi. Wanita itu mengerang kesal, ditatapnya Adhi dengan tatapan tajam. Pria juga terlihat mengetatkan rahang. Terlihat marah dan lelah.

"Ngomong sama kamu itu susah ya kalau tidak pakai urat? Apa menjadi penurut itu terlalu susah, hm?" Adhi diam sejenak, masih belum mau melepas tangan Regina yang dia genggam. "Padahal kata Papa Gunawan kamu itu anak yang sangat penurut, lho. Apa Papa yang salah?"

""Aku menurut hanya pada orang yang pantas kupatuhi. Dan ... jangan panggil Papaku dengan sebutan Papa. Kamu bukan anaknya."

"Aku calon menantunya. Papa bahkan yang menyuruhku memanggilnya begitu."

Regina mendecih. "Terserah."

Disentaknya tangannya yang dicekal Adhi. Saat dirinya hendak pergi—lagi, tangannya dicekal lagi. Seolah Adhi benar-benar tak mau membiarkan tangannya terlepas. "Sudah aku bilang, 'kan, kalau kita harus makan siang bersama? Kenapa kamu keras kepala sekali, sih!"

"Kamu yang keras kepala. Sudah aku bilang aku tidak mau, kenapa memaksa?"

"Karena kita harus." Dan adegan selanjutnya benar-benar di luar dugaan Regina. Wanita itu bahkan tidak menyangka Adhi bisa bertindak gila seperti itu.

"Adhi! Turunkan aku! Mau aku patahkan lenganmu, hah?!" Regina memukul-mukul punggung liat pria itu tapi Adhi tak terpengaruh sedikitpun. Boro-boro kesakitan. Terlihat terganggu dengan pukulan Regina saja tidak.

"Salahmu tidak bisa diajak dengan bicara baik-baik."

"Tapi tidak dengan melakukan ini juga. Turunkan aku, sekarang!"

"Lebih baik kamu diam, Nona. Mau jadi pusat perhatian seluruh karyawanmu?"

"Aku menbencimu! Aku sumpahi kamu bisulan menahun!"