Chereads / Ratu Sejati / Chapter 26 - Suasana Hangat

Chapter 26 - Suasana Hangat

Langit sudah berubah gelap, lampu-lampu menyala, menyajikan suasana malam kian hangat dengan pencahayaan lampu kuning dimana-mana. Adhi dan Regina sudah menyelesaikan acara makan mereka. Kini keduanya tengah duduk santai dengan ditemani kaleng-kaleng soda, dan obrolan dengan orang-orang yang baru mereka kenal.

Adhi kebetulan mengobrol dengan teman Eza –Danu namanya, seorang arsitek yang sudah menangani berbagai proyek. Keduanya mengobrol begitu seru dan nyambung soal hal-hal berbau bangunan. Bahkan, jika sepulang dari sana keduanya bekerja sama dalam suatu proyek, Regina tidak akan heran.

Dan Regina juga menemukan teman mengobrol yang seru –Syila namanya. Seorang pengacara yang tergila-gila dengan kaktus.

"Kamu perlu mencobanya, Gina. Menanam kaktus itu menyenangkan. Mereka lucu, mungil, dan tidak rewel." Regina tersenyum mendengar pesan Syila sebelum wanita itu pamit karena sebuah panggilan telepon. Danu juga pergi tidak lama setelahnya saat melihat lampu di panggung mulai menyala.

Yang tersisa tinggal Reginadan Adhi, lagi-lagi. Regina menyesap air soda dari kemasan kaleng di tangannya. Dia meringis merasakan bagaimana buih-buih itu terasa menggelitik kerongkongannya. Ditatapnya kaleng itu dengan seksama guna membaca nama produk itu.

"Tunggu, ini alcohol? Aku kira hanya soda biasa!" decak Regina kesal bukan main.

"Ambil punyaku saja," balas Adhi saat melihat Regina mau beranjak. "Tempat minumannya jauh. Tukar dengan milikku saja. Ini soda non alcohol, kok." Adhi mengulurkan kaleng minuman yang sudah terbuka tutupnya itu.

"Kamu tidak bisa minum alcohol, bukan? Minum punyaku saja." Regina akhirnya setuju untuk menukan minuman miliknya dengan milik Adhi. Sejujurnya dia memang malas untuk berjalan. Dengan perut super kenyang, dia hanya ingin malas-malasan sembari menikmati pemandangan indah dari lampu-malpu berwarna kuning itu.

Di depan sana, terdengar suara Eza di atas panggung. Rupanya acara sore itu bukan hanya makan-makan tapi juga ada penampilan music juga.

Regina ingat, Eza dulunya memang seorang anak band yang cukup terkenal di sekolah mereka. Dulu, suara pria itu masih sedikit melengking, sedangkan suaranya yang sekarang lebih berat dan teduh. Pubertas memang berperan banyak pada kehidupan pria itu. Meskipun itu sangat tidak nyambung dengan pekerjaannya yang seorang dokter bedah, tapi dia benar-benar bersyukur karena diber suara yang kian indah.

Rupanya Danu naik ke atas panggung untuk bermain music juga. Dia memegang drum, bersama Eza menjadi sebuah grup music dengan dua personil lainnya yang tidak Regina kenal.

Lagu-lagu yang dibawakan cenderung lagu cinta yang melankolis. Pencahayaan yang temaram, lagu yang romantic, sekaleng soda, dengan seorang pria di sebelahnya. Regina sangat menyayangkan kenapa Adhi yang berada di sebelahnya menatapnya dengan tatapan datar seperti biasa.

"Kenapa melihatku begitu?"

tanya Adhi keheranan. Regina menggeleng pelan sembari menipiskan bibirnya.

"Tidak apa-apa."

Kembali menatap ke depan, Regina berusaha menfokuskan diri pada penampilan music para bujangan itu.

"Kamu bisa main alat music?" tanya Adhi tiba-tiba membuat Regina yang berusaha larut dalam lagu itu jadi menoleh lagi menatap pria yang kini masih membuang pandangannya ke depan.

"Aku main piano saja."

"Piano juga sudah lumayan. Sulit kan itu?"

Regina mengangkat bahunya. "Lumayan, sih." Lagu berganti, intro music yang Regina cukup familiar terdengar.

"Tell me something, Girl."

"Shit!" Regina mengumpat pelan.

"Kenapa?" Adhi terlihat begitu penasaran mendengar Regina tiba-tiba mengumpat.

"Ini lagu kesukaanku."

"Lady gaga?" Regina nyengir mendengar tebakan Adhi yang seratus persen tepat itu.

"Kamu tau?"

"Memang siapa yang tidak tau lagu itu? Di radio, di café, di restoran, semua memutar lagu itu saat baru rilis."

"Memang lagunya bagus. Kamu hafal liriknya?"

Adhi mengangguk pelan. "I'm fallin. In all the good times I find my self longin for change" Adhi bersenandung pelan, mengikuti Eza yang menyanyi di depan sana.

Regina mengulum senyum.

"And in the bad times I fear my self," sambung Regina.

Dan keduanya bersama-sama menyanyikan bagian. "I'm off the deep end, watch as I dive in. I'llnever meet the ground. Crash through the surface, where they can't hurt us, we're far from the shallow, now."

"Selera musikmu boleh juga," kekeh Regina dengan raut cerahnya sedangkan Adhi tersenyum kecil.

"Kamu pikir selera musikku seburuk apa, huh?"

"Buruk sekali."

Adhi mendecak yang mana ikut tersenyum juga saat Regina tertawa lagi. Malam ini berjalan dengan begitu hangat dan menyenangkan. Suasana yang mendukung, segelas minuman, duduk bersantai, membuat obrolan mereka yang biasanya penuh urat itu kini menjadi sedikit lebih akrab dan bersahabat.

"Ngomong-ngomong aku sejak tadi tidak melihat Darwin. Kemana sebenarnya anak itu," gerutu Regina seraya berusaha membuka sekaleng soda lagi. Jemarinya berkali-kali gagal membuka tutup kaleng itu membuat Adhi meraihnya dan membukanya untuk Regina.

"Ini." Mengulurkan sekaleng soda yang sduah terbuka, Regina menerimanya dengan senang hati.

"Terima kasih."

Adhi hanya mengangguk. "Adikmu mungkin sedang mengunjungi suatu tempat. Namanya anak muda."

"Dia memang suka sekali bermain-main," timbal Regina setuju dengan asumsi Adhi.

"Tadi saat perjalanan kemari, aku melihat ada semacam café. Mungkin dia ke sana." Adhi mengangguk setuju.

"Ya, tempat itu terlihat ramai anak muda. Cozy juga tempatnya."

"Semoga dia masih ingat kalau dia harus pulang ke sini."

Adhi terkekeh pelan. "Kakak yang protektif sekali."

"Aku harus sedikit lebih cerewet agar dia tidak membuat kesalahan yang bisa membuatnya menyesal seumur hidup.

Pria itu mengangguk setuju. "Benar. Aku setuju denganmu. Jangan sampai dia membuat kesalahan yang nantinya membuat dirinya menyesal seumur hidup. Kita tidak bisa kembali sama sekali untuk memutar waktu, 'kan? Dan yang tersisa nanti hanya penyesalan. Jangan sampai itu terjadi. Hidup dalam penyesalan dan rasa bersalah itu mengerikan."

Entah mengapa Regina merasa ada nada sendu di kalimat pria itu.

'Apa dia tengah menceritakan pengalamannya?' batin Regina bertanya-tanya.

'Memang apa peduliku, kalaupun iya?'

'Berhenti ikut campur urusan orang, Regina. Kamu hanya buang-buang waktu.'

"Astaga, Di. Kamu minum terlalu banyak!" Regina baru menyadari ada tujuh kaleng kosong sisa Adhinatha minum. Pantas saja pria itu sudah mulai melantur omongannya.

"Kamu mabuk, 'kan?"

Adhi menggeleng. Tapi pandangannya yang mulai tidak focus memperkuat dugaan Regina.

"Tidak mabuk, katamu? Cih."

Regina berdiri, menatap ke depan pada Eza yang masih asyik di panggung.

"Kamu masih bisa jalan, 'kan?" tanya wanita itu pada Adhi yang terkekeh pelan.

"Tentu saja aku bisa. Kamu pikir aku ikan? Tidak bisa berjalan?"

"Benar-benar mabuk. Dia benar-benar mabuk." Dan baru sedetik pria itu berdiri, tubuhnya sudah limbung menyandar pada tubuh Regina yang jauh lebih kecil.

"Astaga orang ini benar-benar, deh!" Dan wanita itu seperti tengah mengomel pada orang gila. Karena pria itu hanya bisa terkekeh dan menjawab dengan tidak jelas.