"Perkenalkan namaku Alejandro panggil saja Ale." Remaja itu mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
"Aletha." Jawabnya singkat.
"Kalau boleh tahu Bibi punya hubungan apa dengan Ryshaka?"
Aletha menghembuskan napasnya kasar.
"Yang pertama, tolong jangan memanggilku Bibi, panggilan seperti itu membuatku merasa tua dan yang kedua aku tidak memiliki hubungan istimewa seperti yang kau kira."
Sebelah alis Ale terangkat membuat gestur bertanya, pandangannya seolah berkata ia sedang berdusta.
"Kau pikir aku percaya?"
Ale berjalan ke arah belakang tubuh Aletha sembari menumpukan jemari pada pundaknya, ia mendorongnya ke arah cermin besar yang berada di sudut ruangan.
"Bahkan bocah paling dungu pun tahu anda sedang membual." Ale bicara perlahan di telinga Aletha, memastikan kata-katanya terserap dalam benaknya.
Bayangan di dalam cermin itu memantulkan sosok wanita yang penampilannya telah porak-poranda.
Aletha menutup mulutnya tak percaya.
Bibirnya terlihat membengkak dan merah akibat ciuman panas yang sebelumnya telah ia lakukan, dan ia sama sekali tak menyangka Ryshaka meninggalkan begitu banyak bercak merah yang berada di leher ataupun payudara atasnya. Semua itu terlihat jelas karena 3 kancing kemejanya telah terbuka dan Aletha bergegas untuk mengancingkan kembali, tidak ingin membuat spekulasi yang ada dalam benak remaja itu semakin liar.
Ale menyunggingkan senyumnya melihat itu.
"Ryshaka adalah seorang pria dewasa, ia mempunyai libido tinggi yang menuntut untuk dipuaskan."
Aletha mengatupkan bibirnya, ia sudah tahu tentang fakta itu.
"Ia tidak akan puas hanya dengan satu wanita."
Sebuah informasi tambahan yang sangat tidak berguna bagi Aletha.
Pandangan Ale mengarah pada jemari Aletha yang menggenggam erat sebuah figura.
"See? ada hati lain yang sedang ia jaga, jangan membuang waktumu untuk pria brengsek seperti itu!"
Aletha menarik kembali ucapnya yang berkata bahwa Ale terlihat begitu akrab dengan Ryshaka, karena fakta yang ada berbanding terbalik.
Aletha tidak mengetahui apa alasan yang membuat Ale begitu menaruh dendam pada Ryshaka.
"Kalau begitu selamat tinggal Bibi!" Sepertinya Bocah tengil itu memang sengaja untuk membuatnya jengkel.
"Kau tidak jadi menunggu Pak Ryshaka?"
"Tidak, karena aku sudah menemukan apa yang kucari."
Ale pergi meninggalkan ruangan setelah mengucapkan hal tersebut, bertepatan dengan Ryshaka yang hendak memasuki ruangan kerjanya.
Sesaat suasana terasa begitu hening, tanpa satu katapun terucap dari bibir mereka. Pandangan keduanya beradu membuat gestur menantang seolah berlomba siapa yang mempunyai eksistensi lebih.
Akhirnya Ale yang terlebih dahulu mengalah. Ia pergi dari ruangan itu tanpa kata.
Langkah kaki Ryshaka berderap menuju Aletha, manik matanya terpaku penuh pada sosok wanita di hadapannya.
"Apa yang bocah tengik itu ucapkan padamu?!" Ryshaka menggertakkan giginya kuat, tangannya mengepal erat dalam upayanya meredam emosi.
"Dia tidak berkata apapun. Mungkin ia sudah lelah karena menunggu mu terlalu lama hingga memutuskan pergi."
Ryshaka mencoba membaca raut wajah Aletha. Mimiknya terlalu sarat akan emosi yang terlalu sukar bagi Ryshaka maknai apa maksud sebenarnya, tapi satu hal yang ia tahu, wanita yang kini berhadapan dengannya telah berdusta.
"Dengarkan aku baik-baik. Jangan sungkan untuk berkata padaku jika ada hal yang membuatmu gundah." Ryshaka menumpukan kedua jemarinya pada bahu Aletha, pandangan matanya lurus menatap wajah cantik itu.
Sedangkan Aletha ingin menyemburkan tawanya mendengar nada kekhawatiran yang muncul dari perkataan Ryshaka.
Mereka berdua tidak mempunyai hubungan sejauh itu sampai harus masuk ke tahap pembicaraan dari hati ke hati.
"Saya sama sekali tidak memikirkan perkataan bocah tengil itu, Pak Ryshaka tenang saja."
Ryshaka menghembuskan napasnya lega, ia kira wanita yang ada di dihadapannya adalah tipe pemikir, ternyata tidak.
"Baguslah kalau seperti itu."
"Karena bagaimanapun itu bukan urusan saya, mau seberapa banyak pun wanita yang ada di sekeliling anda, saya tidak punya hak sama sekali untuk melarangnya."
Senyum penuh kelegaan yang sebelumnya tersemat dalam bibir Ryshaka mendadak hilang. Hatinya mendadak di dera rasa sakit yang tak kasat mata, kalimat acuh Aletha padanya membuat perasaan Ryshaka tak nyaman.
"Sebenarnya apa yang diucapkan bocah itu?"
"Dia hanya berbicara tentang fakta." Pungkas Aletha, berusaha mengakhiri pembicaraan.
"Saya permisi dulu, ada banyak deadline yang harus saya kerjakan." Aletha menundukkan kepalanya sembari berjalan keluar, terlalu lama berada di tempat ini membuat dadanya sesak. Ia meninggalkan ruangan itu setelah sebelumnya meletakkan figura yang sedari tadi ia pegang erat.
Sementara Ryshaka terlihat tak rela Aletha pergi meninggalkannya, jemarinya berusaha menggapai tubuh Aletha namun hanyalah kehampaan yang ia dapat.
Ryshaka mengalihkan pandangannya pada figura itu, ia tak bisa membuat alasan bahwa ia lupa untuk menyimpannya, karena bagaimanapun ini sudah 2 tahun lebih semenjak kejadian yang membuat seluruh jiwanya terasa hancur. Terlalu banyak kenangan pahit sekaligus manis yang wanita itu torehkan.
"Namanya Aletha, ia seorang assisten yang sudah lebih dari 2 tahun menjadi bawahan ku, kalau kau bertanya bagaikan perasaanku padanya, aku pun tidak begitu yakin, ada rasa marah di saat ia mengenakan pakaian yang terlihat seductive, aku tak ingin penampilan seksinya itu menjadi konsumsi para lelaki bajingan di luar sana namun di saat melihatnya lemah tak berdaya, hati ini terasa pilu." Ucap Ryshaka seolah figura yang kini ia pegang adalah sesosok manusia nyata yang sedang berdiri di hadapannya.
Tok! tok!
"Masuk!" Sahut Ryshaka, ia berusaha menetralkan kembali mimik wajahnya, tidak ada yang boleh mengetahui bahwa ia mempunyai sisi yang rapuh, karena di luar sana banyak sosok bermuka dua yang sedang mengincar posisinya.
"Ibu Karina dari pimpinan perusahaan retail ingin bertemu." Aletha mengucapkan kalimat itu tanpa sedikitpun melihat ke arah Ryshaka.
"Minta Ibu Karina untuk masuk!"
"Baik Pak."
Karina yang mendengar perkataan Ryshaka langsung berjalan dengan gaya gemulainya, meninggalkan aroma parfum semerbak bunga setaman yang begitu menyengat di hidung Alettha yang memang sensitif.
Aletha yang sedari tadi menahan rasa gatal yang menggelitik hidungnya akhirnya bersin-bersin.
"Oh, My Godness! Ryshaka, bagaimana bisa kamu hire karyawan penyakitan ini?!" Karina langsung menyemprotkan disinfektan ke udara di sekitar Aletha.
Aletha hanya bisa menggerutu dalam hati.
Sial! ia merasa seperti hama yang harus dibasmi, tapi apakah wanita itu tidak menyadari bahwa sumber penyakitnya berasal dari aroma parfum wanita itu sendiri.
"Tapi dia punya semua kompetensi yang dibutuhkan untuk menjadi asisten, ia cukup cakap dan bisa diandalkan." Sahut Ryshaka pelan.
Untuk pertama kalinya Ryshaka memuji ketrampilannya dalam bekerja, pipinya memerah mendengar itu.
"Really?" Kirana meneliti sosok Aletha dengan seksama, seolah tak yakin akan ucapan Ryshaka.
"Sure, come on Karina don't waste your time!"
Karina melangkahkan kakinya menuju Ryshaka.
Pria tersebut langsung menjabat tangan mulus Karina serta mencium kedua pipinya.
Aletha sendiri tak kaget melihat adegan yang sedang berlangsung dihadapannya.
Satunya seorang pria jantan yang hobinya tebar benih di mana-mana sedangkan yang wanita punya sex appeal yang tinggi. Sungguh perpaduan yang sangat menarik.
Aletha menutup pintu dihadapannya, berusaha mengenyahkan bayangan nakal yang muncul di otaknya dengan melihat dua orang dewasa yang berada pada ruangan yang sama.