Aletha menganga tak percaya.
Jadi lelaki ini sudah tahu bahwa ia sedang membual?
Dan sengaja menahan dirinya di sini untuk dijadikan bahan gurauan semata?
Pantas saja sedari tadi mimik wajah cerahnya tak absen menghiasi rautnya.
Mengapa semua orang sangat suka sekali untuk menjadikan dirinya sebagai lelucon?
Tidak hanya atasannya sendiri saja, bahkan lelaki yang baru saja bertatap muka dengan dirinya pun ikut menjadikan dirinya bahan candaan.
Mengapa tiba-tiba ia menjadi teringat dengan dispenser berjalan itu?
Tujuannya datang kemari adalah untuk melepas penat, yang sayangnya gagal total.
Ternyata keluar dari zona nyaman tidaklah semudah itu.
Aletha baru tersadar dari lamunannya ketika pria tersebut menjentikkan jarinya tepat di depan wajah Aletha yang sedang menatap dengan pandangan kosong.
"Kamu melamun di tengah situasi yang seperti ini cantik?" Ucap pria itu memaku pandangannya pada sosok wanita cantik di depannya.
"Aku sedang tidak melamun, tenggorokanku sakit karena harus berbicara dengan nada yang cukup keras seperti ini." Sangkal Aletha.
"Seperti itu ya? Kukira kamu sedang membuat alibi lain karena perkataanku yang tepat sasaran?" Ucapnya dengan nada yang cukup menjengkelkan di telinga Aletha.
"Tidak!" Ucap Aletha singkat.
"Tidak?" Ucap pria tersebut membeo.
"Tapi aku harus mendapatkan pembuktian bahwa perkataanmu benar." Ucap lelaki itu kemudian.
Mengapa lelaki ini semakin menjengkelkan saja?
Aletha baru akan membuka mulutnya saat segerombolan wanita yang tak tahu dari mana datangnya tiba-tiba saja berada dihadapannya, atau lebih tepatnya di depan lelaki yang sedari tadi mengganggu Aletha, beserta beberapa kado yang berada dalam dekapan tubuh mereka masing-masing.
Kerut di dahi Aletha kian dalam melihat itu.
Tidakkah mereka memilih tempat yang salah jika ingin melakukan fan meeting?
"Axelsen!" Ucap seorang wanita pada pria tersebut.
"Oh, jadi ia bernama Axelsen, nama yang cukup bagus." Ucap Aletha dengan nada yang lirih.
"Halo cantik!" Sahut pria tersebut, ia kontan memalingkan pandangannya pada segerombolan wanita yang telah mengintrupsi pembicaraannya dengan Aletha.
Dari respon singkatnya tersebut Aletha dapat menilai jika Axelsen adalah pemain yang terlahir sebagai seorang penakluk.
Dari nada bicaranya yang lembut, disertai senyum tipis yang terlihat begitu menawan. Atensinya begitu sulit untuk diabaikan.
"Maaf telah menginterupsi pembicaraan dirimu dengan dia, tapi aku ingin memberikan kado ulang tahun ini padamu." Ujar wanita itu seraya mengulurkan sebuah bungkusan yang lumayan besar ke arah Axelsen.
Dari sudut pandang Aletha sebagai seorang pengamat, nampaknya wanita itulah yang berperan sebagai ketua kelompoknya, karena sedari dari empat orang yang berada di sekitarnya tak mengucapkan sepatah katapun, mereka hanya tersenyum singkat dan terus saja menganggukkan kepalanya-yang maaf saja, terlihat bodoh dalam penglihatan Aletha.
Aletha benci type orang yang seperti itu.
Ia menganggap dirinya sebagai seseorang yang memiliki privilege lebih dan semua orang dituntut untuk patuh pada dirinya.
"Terimakasih banyak baby, kamu adalah orang pertama yang selalu ingat dengan hari istimewaku." Ucap Axelsen dengan nada yang begitu memuakkan di pendengaran Aletha. Perkataan yang terlontar dari bibirnya memanglah terdengar manis namun Aletha sanksi tentang kebenaran dari ucapannya, wanita itu tidak mungkin menjadi orang pertama yang ingat dengan hari ulangtahun Axelsen. Terbiasa selibat dengan seorang Don Juan telah menjadikan Aletha paham dengan rayuan palau kelapa mereka.
Tapi.
Sebentar!
Sepertinya ada yang salah di sini.
Jika tak salah dengar, pria itu ialah Axelsen, sekaligus seseorang yang menjadi tuan dari acara yang kini dihadiri oleh Aletha.
Sial!
Ini namanya double kill.
Sudah tertangkap basah sedang berbohong saja sudah memalukan, apalagi jika lawan bicaramu tahu kalau kau telah berdusta namun alih-alih untuk memberitahukannya, ia malah ikut dengan permainan konyol yang Aletha buat.
Bukan Aletha namanya jika tak berbuat sesuatu yang memalukan.
Aletha secara perlahan memundurkan langkahnya ke belakang, membuat gerakan se-pelan mungkin agar Axelsen tak menyadarinya.
Di langkah keempat Aletha melakukan aksinya, tiba-tiba saja tubuhnya menabrak sesuatu atau lebih tepatnya seseorang.
Aletha sontak membalikkan tubuhnya sembari membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
"Maafkan aku, aku tak sengaja melakukannya." Ucap Aletha masih dalam posisi yang sama.
"Terlepas dari tindak tanduknya yang masih dipertanyakan, ternyata dia punya norma yang cukup baik."
Aletha mendengar seorang wanita sedang berbicara dan nampaknya kalimat tersebut ditujukan padanya.
Aletha membenarkan posisi tubuhnya demi melihat siapakah seorang wanita yang telah berbicara tersebut.
Netra kecoklatan Aletha langsung tertuju pada bola mata kelam namun mengintimidasi milik Ryshaka. Raut wajahnya begitu datar tanpa seulas pun senyum yang tersemat. Menjadikan sosoknya begitu dingin dan tak tersentuh.
Seperti biasa, dimana ada Ryshaka maka disana pula ada wanita cantik yang setia menemani.
Kali ini wanita yang bersebelahan dengan Ryshaka ialah Jasmine.
Jika saja perkataan yang wanita itu ucapkan sebelumnya tak mengusik hati Aletha, pasti Aletha akan memuji habis-habisan penampilan Jasmine malam ini.
Wanita itu begitu memukau dengan gaun off shoulder yang membungkus tubuh sintalnya dengan begitu pas.
Riasan yang ia kenakan pun semakin mempercantik sosoknya, tanpa adanya kesan berlebihan di sana.
"Aletha."
Ryshaka tak tahu makna dari ucapan yang dilontarkan oleh Ryshaka.
Aletha anggap itu sebagai kalimat sapaan. Aletha hanya mengangguk singkat sebagai balasan.
Ryshaka pikir hanya ia saja yang bisa bersikap dingin?
Kening Axelsen seketika mengerut melihat posisi Aletha yang menjauh dari dirinya, ia langsung menghampiri wanita tersebut.
Senyum di wajah Axelsen langsung sirna kala melihat sosok Jasmine di sana. Berbanding terbalik dengan senyum secerah mentari milik Jasmine yang langsung timbul melihat lelaki pujaannya berdiri dalam jarak yang dekat dengannya.
"Seingatku, aku hanya mengundang orang-orang tertentu saja."
Kalimat yang diucapkan oleh Axelsen terdengar begitu dingin dan sangat kentara jika ia tidak menghendaki datangnya Jasmine di acaranya.
"Dia pasanganku." Tandas Ryshaka singkat, sorot matanya menatap tajam pada Axelsen, sebelah tangannya secara reflek mendekap tubuh Jasmine ke arahnya.
Aletha memang sudah terbiasa melihat sentuhan kulit yang kerap Ryshaka lakukan dengan para wanitanya, namun hatinya tetap merasa sesak.
Aletha menepuk pelan dadanya, untuk meredakan sebuah rasa asing yang tiba-tiba saja menyelinap ke dalamnya. Bisa dibilang ia cemburu.
Sudut bibir Axelsen terangkat membentuk seringai.
Aletha kesulitan dalam menerjemahkan raut wajah Axelsen.
Sudut bibirnya yang sekilas terlihat bahwa ia sedang mencemooh, namun mengapa sorot matanya memancarkan kilat kesedihan yang begitu dalam.
Dan yang lebih anehnya lagi, mengapa Aletha dengan susah payah membaca situasi ini.
Ini semua bukanlah urusannya.
"Sudah lama tak jumpa denganmu Ryshaka."
Axelsen merubah topik pembicaraan yang sayangnya terdengar begitu memaksakan. Hingga Ryshaka masih tetap berada dalam posisinya yang sama. Mendekap erat Jasmine di tubuhnya.
"Belum cukup lama untuk menghapuskan memori yang kini masih tetap melekat." Ucap Ryshaka pada Axelsen.