Bandung diam saja. Anak laki-laki itu mengambil cangkir tehnya dan menyesap tehnya secara perlahan-lahan.
"Kau tahu Bandung, Sachertorte adalah salah satu jenis kue cokelat, atau torte yang diciptakan oleh Franz Sacher dari Austria pada tahun 1832 untuk Pangeran Wenzel von Metternich di Wina, Austria. Kue ini merupakan salah satu masakan khas Wina yang paling terkenal. Pada tnggal 5 Desember dinyatakan sebagai Hari Sachertorte Nasional." Tiba-tiba saja Wina memberi penjelasan mengenai kudapan manis yang tengah mereka makan saat ini.
"Kenapa kau tiba-tiba memberi penjelasan seperti ini? Kau, random sekali," tanggap Bandung yang merasa aneh atas penjelasan Wina.
Wina tersenyum. "Tidak apa, sedikit memberi pengetahuan mengenai latar belakang, makanan yang kita makan saat ini juga tidak ada salahnya," balas Wina. Wina menatap sebentar ke arah potongan Sachertorte miliknya kemudian kembali beralih ke arah wajah lawan bicaranya. "Tiba-tiba saja aku teringat dengan mendiang ibuku. Beliau, sangat menyukai Sachertorte. Karena itu setiap menyatap kudapan ini membuatku sedikit teringat kembali dengan wajah Ibuku," katanya sedih.
Mendengar perkataan Wina, membuat Bandung kembali merasa terkejut, hanya saja untuk kali ini ia merasa sedikit tidak enak padanya.
"Maaf …." ucap Bandung dengan suara pelan. Tampaknya hari ini, Bandung banyak menerima kejutan dari temannya yang berasal dari Austria tersebut. Bandung sedikit menebak-nebak apakah setelah ini, Wina akan memberitahukan nomor pakaian dalamnya karena tampaknya ada banyak hal yang telah diungkapkan secara tiba-tiba oleh remaja laki-laki tersebut.
Mengerikan … aku tidak tahu, apa isi kepalanya saat ini, pikir Bandung.
"Tidak apa. Seharunya aku yang meminta maaf padamu karena sudah membuatmu merasa tidak nyaman." Wina menatap lurus ke arah Bandung.
Dan memang benar, bahwa seharusnya kau yang meminta maaf padaku karena telah menceritakan banyak hal yang nyaris membuat jantungku hampir lepas dari tempatnya, ucap Bandung dalam hatinya.
"Ya terserahmu saja," balas Bandung sekenanya. Dia merasa tidak nyaman bila harus melanjutkan percakapan canggung seperti ini.
"Tampaknya kita harus mengakhiri pembicaraan kita sampai di sini," kata Wina sebelum bangkit berdiri dari tempat duduknya. Namun sebelum dia benar-benar pergi, Wina melirik ke arah beberapa sisa potongan kue yang masih ada di atas meja. "Sebaiknya kau bawa saja sisa kue itu. Kalau kau kembali menyimpannya, aku yakin akan ada jamur yang tumbuh subur di sana." Setelah mengatakan hal tersebut, Wina benar-benar pergi dari tempatnya.
"Hari ini kau benar-benar terasa aneh sekali. Bagus, sekarang kau meninggalkan meja yang berantakan serta cucian piring untukku," gumam Bandung kesal.
***
Wina yang berjalan menuju kamarnya mulai tanpa sengaja mendengar suara seperti benda-benda yang dibanting dari dalam sebuah kamar.
BRUAK
Terdengar suara yang amat begitu berisik dari kamar bernomor 20. Dan, Wina yang mengetahui asal suara tersebut, berjalan mendekat ke arah pintu dengan nomor 20 tersebut.
"Hiks … hiks … hiks …." Terdengar juga suara tangisan di sana.
Mendengar suara tangisan tersebut, Wina tersenyum lebar. Dia terlihat seakan-akan puas. Entah hal apa yang membuatnya menjadi terlihat segembira itu. Tapi entah mengapa ada suatu hal buruk yang memang tengah dipikirkan oleh remaja dengan penampilan androgini tersebut.
"Terima karmamu sialan," ucap Wina yang berbicara pada dirinya sendiri. Setelah itu dirinya pergi menjauh meninggalkan kamar tersebut.
***
10 Tahun Yang Lalu
BUAK
Seorang anak laki-laki bertubuh kurus mendapat tendangan di perutnya. Anak laki-laki itu langsung jatuh terhuyung-huyung. Tubuhnya yang sudah dipenuhi luka memar sekaligus lebam terlihat sangat begitu menyakitkan.
"Berhentilah untuk terus mendekat dengan Ibumu itu! Kau tahu sebentar lagi, wanita gila itu akan dikirim ke rumah sakit jiwa. Jadi menjauhlah darinya!" ujar seorang pria paruh baya pada anak laki-lakinya tersebut.
"Ayah, kumohon jangan usir Ibu dari rumah ini. Ibu tidak gila, Ibu … Ibu … hanya butuh seseorang yang menyanyanginya," ucap anak laki-laki itu dengan suara bergetar.
"WINA!" bentak pria tersebut murka.
Wina menyeret tubuhnya secara paksa untuk mendekat ke arah Ayahnya tersebut. Setelah berhasil mendekat, Wina dengan cepat berlutut di depan Ayahnya itu.
"Ayah aku mohon, tolong dengarkan permintaanku ini untuk terakhir kalinya. Jika, Ayah tetap pergi membawa Ibu ke rumah sakit jiwa, aku akan tetap ikut bersama dengan Ibu. Hiks … hiks … tolong … tolong … jangan … usir … Ibu … dari … rumah … ini," mohon Wina sembari berlutut di depan ayahnya.
Alih-alih mendengarkan permintaan anak kandungnya tersebut, Mr Salzburg justru kembali menendang tubuh anak laki-lakinya tersebut. Mr Salzburg menjambak rambut anaknya tersebut dan menatap tajam mata ke arah matanya.
"Beginilah jadinya anak yang dilahirkan dari seorang wanita gila. Kau dan Ibumu itu sama saja. Kau harusnya merasa bersyukur karena aku tidak pernah berpikir untuk membuangmu dari hidupku. Tapi kalau kau terus melawan seperti ini, aku tidak akan pernah ragu untuk membuangmu jauh dari hidupku!" ancam Mr Salzburg tidak main-main dengan perkataannya. Setelah berkata seperti itu, Mr Salzburg kemudian menghempaskan kepala anaknya tersebut begitu saja dan membuat bocah malang itu kembali terjatuh.
"Ucapkan permintaan maaf pada Ayah dan Ayah akan melupakan semua masalah ini," ucap Mr Salzaburg sembari melayangkan tatapan tajam miliknya.
Wina menggigit bibirnya sendiri dengan keras. Berkali-kali ia dilecehkan seperti ini, dan mengapa dirinya pula jugalah yang harus meminta maaf ? Padahal jelas yang melakukan kesalahan di sini adalah pria brengsek yang berdiri di hadapannya bukan dirinya.
"Ayah selalu melecehkanku seperti ini, tapi kenapa harus aku yang meminta maaf ? Kau benar-benar sudah sangat rusak Ayah …." ucap Wina lemah.
"DASAR ANAK KURANG AJAR!" maki Mr Salzburg.
KRAK
Mr Salzburg menginjak tangan anak laki-lakinya tersebut dengan sangat keras. Tidak tanggung-tanggung pria itu bahkan melakukannya secara berkali-kali.
"UWARGGH ...." jerit Wina kesakitan begitu tangannya diinjak dengan sangat keras oleh Mr Salzburg, Bocah laki-laki itu bisa merasakan tulang-tulang di tangannya retak akibat injakan keras yang diberikan oleh Mr Salzburg.
"Inilah hukuman kalau kau berani melawan diriku. Bersyukur aku tidak berniat untuk membunuhmu hari ini," kata Mr Salzburg begitu selesai menginjak tangan dari darah dagingnya sendiri. Pria itu benar-benar tidak memiliki rasa belas kasihan sedikit pun pada anaknya sendiri.
"Daripada Ayah terus menyiksaku, mengapa Ayah tidak membunuhku saja?" tanya Wina dengan suaranya amat begitu kecil. Bocah laki-laki benar-benar kuat, ia masih bisa berbicara padahal seluruh tubuhnya sudah habis babak belur.