"Memang baik untuk kesehatan, tapi kalau makannya setiap hari itu tidak baik." Dava mencoba memberi penjelasan pada putranya.
"Benarkah?" tanya Theo yang sebenarnya tak setuju dengan apa yang dipaparkan Dava.
"Iya." Dava mengelus rambut Theo pelan.
Meskipun perkataan Dava sangat meyakinkan, tapi Theo tak percaya begitu saja. Pasalnya, Dava sering kali menjahilinya dan Theo pikir sekarang Dava menjahilinya. Theo beralih menatap Adel. "Apa benar kata daddy, Kakak Cantik?" tanya Theo.
Adel hanya diam. Ia bingung merangkai kata-kata. Di satu sisi ia setuju dengan perkataan Dava, memang benar memakan ayam goreng atau makanan cepat saji lainnya secara berlebihan itu tidak baik.
Di sisi lain, Adel tak tega untuk mengatakannya. Wajah Theo menginkan sebaliknya. Adel menarik napasnya pelan.
"Apa yang daddy Theo katakan itu benar. Memakan ayam goreng terlalu sering itu tidak baik." Adel memilih setuju dengan Dava. Kesehatan itu mahal.
Wajah Theo semakin cemberut. Jari kecilnya mengelus gambar menggoda ayam goreng di buku menu. "Jadi, Theo harus makan apa?" tanyanya lesu.
"Sayur dan buah. Sayur dan buah itu baik untuk kesehatan. Theo harus makan buah dan sayur yang banyak," papar Adel.
Sedangkan Theo memasang wajah tidak berselera. Bocah itu menggelengkan kepala sembari menutup mulutnya. "Sayur rasanya pahit Kakak Cantik. Theo tidak suka. Theo tidak mau pesan itu. Tidak mauuuu!" Gelengan Theo semakin kuat.
Ya, anak-anak dan sayuran diibaratkan kucing dan tikus. Sangat jarang akur. Entah kenapa kebanyakan anak tak menyukai sayuran. Jika Theo tak suka sayuran, maka Adel sewaktu kecil sangat suka. Justru, semakin Adel besar, wanita itu menjadi tak begitu suka dengan sayuran.
"Sayuran itu tidak pahit Theo. Waktu itu kan kita makan salad buah."
"Kalau buah, Theo suka. Kalau sayur ...." Theo menggelengkan kepalanya.
"Memang sayur apa yang rasanya pahit?" tanya Adel penasaran.
Dahi Theo mengerut, tanda bocah tersebut sedang berpikir. Ia menatap Dava dan Adel. "Waktu itu nenek datang bawa makanan banyak Kakak Cantik. Nenek menaruh di piring. Nah, Theo makan salah-satu makanannya. Rasanya pahiiiitt Kakak Cantik."
Kini giliran Adel yang mengernyitkan kening. Ia berpikir, kira-kira sayur apa yang dimaksud. Dava menggelengkan pelan kepalanya. Ia masih ingat ekspresi Theo saat memakannya. Sangat lucu dan membuat gelak tawa dirinya dan Anita.
"Waktu itu ibuku membawa beberapa jenis makanan. Salah-satu olahannya itu pare. Sebenarnya tidak begitu pahit, tapi di lidah Theo mungkin sangat pahit." Dava menjelaskan agar Adel tak berpikir keras untuk hal sepela.
"Ohh." Adel menganguk-anggukan kepalanya.
"Theo ingat, namanya pare. Pahit Kakak Cantik. Theo tidak suka," timpal Theo. "Theo lapar. Theo bingung mau pesan apa selain ayam goreng."
Adel melihat-lihat menu yang ada di buku menu. "Bagaimana kalau sup jamur. Theo suka sup jamur?" tanya Adel dan diangguki Theo
Dava memanggil pelayan. "Pesan tiga sup jamur dan ...." Dava melirik ke arah Theo. "Mau minum apa Jagoan?"
"Es teh."
"Aku juga es teh." Adel menyamakan minumannya dengan Theo.
Adel sempat melihat harga makanan yang akan mereka pesan dan untunglah makanan dan minuman itu tergolong cukup murah. Setidaknya perasaan Adel menjadi lebih baik.
"Tiga sup jamur dan tiga es teh," ujar Dava pada si pelayan. Pelayan itu pergi setelah mencatat semua pesanan mereka.
Tangan Dava meraba jas dan saku celana. "Di mana ponselku? Apa ketinggalan di dalam mobil, ya?" tanya Dava dalam hati.
"Eum, Theo, daddy mau ke mobil sebentar. Jangan nakal dan bermain ke sana-ke sini, oke?"
Theo mengangguk. "Oke, komandan."
"Aku akan segera kembali." Dava menatap Adel.
Pria itu pergi menuju parkiran mobil. Ia membuka pintu mobil dan langsung mencari keberadaan ponselnya. Setelah ketemu, Dava langsung memasukkannya dalam saku jas.
Tatkala Dava menutup pintu dan berbalik, ia melihat Anita bersama teman-temannya. Dava terkejut bukan main. Kedua matanya membesar.
"Gawat! Kenapa mommy malah datang ke sini? Mana dengan teman temannya lagi. Bagaimana ini?" Ia bersembunyi di balik mobil sembari memperhatikan Anita.
Otaknya harus cepat berpikir. Kalau tidak, maka Anita akan melihat Theo dan Adel. Dava melihat kembali, Anita dan teman-temannya sibuk mengobrol.
Kesempatan ini dimanfaatkan Dava untuk mengirimkan pesan pada Anita. Beberapa saat kemudian, Anita merasa ponsel di tasnya bergetar. Wanita itu membuka pesan dan melotot membaca pesan dari Dava.
Dava tak bisa mendengar jelas apa yang dikatakan Anita, tapi yang jelas Dava berhasil membuat Anita pergi dengan wajah khawatir.
"Sorry, Mom," gumam Dava. Dava menghela napasnya lega setelah mobil Anita menjauh dari parkiran. Bukan hanya mobil Anita, mobil teman ibunya itu juga ikut pergi. "Apa mereka mau pergi bersama-sama?" gumam Dava.
"Bagaimana ... bodo amat lah. Itu urusan nanti."
Dava kembali masuk ke restoran. Makanan yang mereka pesan telah tersaji di meja.
"Daddy kenapa lama? Theo sudah laapr menunggu Daddy."
"Maaf, ya Jagoan," ujar Dava. "Sekarang, makan aja." Tanpa berkata-kata lagi, Theo memakan makanannya. "Kau juga makan, Del."
"Iy-iya." Adel pun mulai makan. Mereka bertiga fokus pada makanannya masing-masing. Theo yang biasanya mengoceh seperti burung beo, kali ini diam.
*****
Untung lah, hari ini Dava tidak banyak pekerjaan. Sehingga setelah makan siang ia bisa pulang, tentunya setelah mengantar Adel pulang. Saat mobil Dava tiba di halaman rumah, ia melihat mobil Anita. Dava langsung teringat pesan yang ia kirim pada Anita dan sekarang pria itu harus menghadapi konsekuensinya.
"Theo," panggilnya.
"Kenapa Daddy? Ayo kita turun."
"Tunggu. Jangan turun dulu," cegah Dava. "Nanti Theo langsung masuk kamar ya."
"Kenapa?"
"Nih anak kenapa banyak tanya," batin Dava.
"Nenek Theo lagi mode macan galak." Macam galak adalah sebutan yang disematkan Dava pada Anita saat memarahinya.
Waktu Anita mengomelinya di depan Theo, bocah itu bertanya---setelah kepergian Anita--kenapa Anita marah-marah dan Dava bilang kalau Anita kerasukan macan galak.
Theo mengangguk sembari mengangkat jempolnya ke udara. "Siap Daddy."
"Satu lagi."
"Apa lagi Daddy?" Theo memasang muka serius.
"Jangan sebut nama kakak cantik di depan nenek, ya. Jangan pernah." Dava memperingati Theo.
Ia tahu kalau Theo jenis anak yang suka menceritakan kegiatannya dan bercerita tentang hal baru. Dava khawatir kalau Theo akan keceplosan. Bisa-bisa Anita akan jadi kepo setengah mati.
"Kenapa Theo nggak boleh bilang?"
"Yaelah, nih anak nanya mulu. Heran. Untung anak sendiri," tutur Dava dalam hati.
"Kalau Theo cerita tentang kakak cantik, nenek akan lebih mengamuk. Theo mau nenek mengamuk dan membawa semua mainan Theo?"
Theo menggeleng kuat. "Theo akan diem Daddy. Langsung masuk kamar."
"Godd boy." Dava tersenyum sembari mengacak pelan rambut Theo.