"Daddy." Theo menarik kemeja yang dipakai Dava. Sedari tadi Theo memanggil, tapi hanya diabaikan oleh Dava.
Dava merajuk pada anaknya soal kejadian tadi malam. Untung saja Dava berhasil masuk ke dalam kamar sebelum Anita berhasil menangkapnya. Jika tidak, sudah bisa dipastikan nasib kuping Dava berada di ujunh tanduk.
Dava bukannya merajuk sungguhan, pria itu hanya ingin membalas perbuatan Theo.
"Daddy marah ya sama Theo?" Theo masih berusaha bertanya baik-baik. Padahal di dalam hatinya ia menyesal dan sedih karena diabaikan oleh Dava.
Theo tidak bermaksud mengadu, tapi sogokan Anita terlalu sulit untuk dilewatkan. Bahkan sogokan berupa es krim sekarang ini berada di tangan Theo.
"Daddy, Theo minta maaf, ya." Bocah itu menyodorkan es krim pada Dava.
Namun, pria tersebut masih fokus pada layar laptop di depannya. Dava melirik diam-diam bagaimana wajah sedih Theo. Dalam hati ia tertawa. Sebisa mungkin Dava menahan tawanya.
Mata Theo mulai berkaca-kaca, ia melihat es krim batang di tangannya yang sedikit demi sedikit mulai mencair. "Daddy, Theo minta maaf. Jangan abaikan Theo Daddy." Akhirnya air mata Theo tumpah. Anak itu menangis cukup kencang, es krim yang ada di tangannya pun terjatuh.
Dava yang melihat putranya menangis pun menjadi tidak tega. Dava menutup laptopnya. Netranya beralih menatap Theo. Ia membawa anak itu ke atas pangkuannya. "Jagoan daddy kok nangis sih?" Dava mengelap air mata Theo.
Theo menatap dengan wajah memerah serta sembab. Dengan sesenggukan ia bertanya, "Daddy tidak marah lagi pada Theo? Theo minta maaf, Daddy. Jangan abaikan Theo." Theo memeluk leher Dava. Menenggelamkan wajahnya di sana.
Dava tersenyum tipis. Ia ingin tertawa melihat raut polos nan menggemaskan Theo, tapi ia juga tak tega melihat anaknya terus saja menangis. Dava mengelus punggung Theo sembari mencium beberapa kali pelipis bocah itu. "Iya, daddy memaafkan Theo." Kini Dava beralih dari mengelus menjadi menepuk punggung anaknya itu.
"Ddd-daddy beneran udah mm-maafin Theo?" Theo tidak lagi menenggelamkan wajahnya di leher Dava. Ia menatap Dava dengan masih ada sisa linangan air mata dan sesenggukan.
Dava mengangguk. Ia kembali membersihkan sisa air mata Theo. "Iya. Thep jangan menangis lagi. Anak laki-laki jangan terlalu sering menangis. Katanya mau jadi pemberani? Tapi kok malah menangis sih?"
Theo mengelap wajahnya. "Theo janji tidak akan sering menangis, tapi kalau sesekali menangis tidak apa-apa kan Daddy?" tanya Theo.
Bocah itu pernah mendengar dari salah satu temannya. Kata temannya, anak laki-laki dilarang keras menangis. Kalau sering menangis akan dianggap lemah seperti anak perempuan.
Dava mengelus pipi gembul Theo. "Nah itu baru anak daddy. Oiya, Theo udah sarapan?"
Theo menggeleng. "Belum. Theo menunggu Daddy tadi, tapi Daddy tidak ada di meja makan. Makanya Theo ke sini."
Dava berdiri sembari menggendong Theo. "Lain kali, Theo sarapan saja dulu."
Theo mengangguk. Netranya menatap es krim yang tergeletak di lantai begitu saja. "Daddy, es krim Theo jatuh. Lantainya jadi kotor," tunjuk anak tersebut pada area yang dimaksud.
"Nanti daddy beliin es krim lagi. Untuk lantainya, nanti kan ada yang membersihkan. Sekarang jagoan daddy harus makan supaya cepat besar."
*****
Dava sampai di depan sekolah Theo. Ia memberhentikan mobilnya dan menoleh le arah Theo. "Theo inget-inget pesen daddy ya. Harus rajin belajar dan memperhatikan saat pelajaran mulai."
"Siap Daddy." Theo memberi hormat pada Dava, setelahnya mereka berdua pun terkekeh. "Salim daddy." Theo mengulurkan tangannya.
"Belajar yang rajin ya anak daddy. Hati-hati di sekolah, jangan membuat bu guru kerepotan," ujar Dava.
"Siap." Sebelum turun, Theo mencium pipi Dava.
Dava melihat Theo hingga benar-benar masuk ke dalam lingkungan sekolah. Jika tidak begitu, Dava tak akan tenang. Maklum lah, jiwa bapak-bapaknya sangat mendominasi kalau bersangkutan dengan Theo.
Dava menjalankan mobilnya. Kali ini pikirannya jatuh pada Adel. "Bagaimana caranya agar aku bisa dekat dengan Adel ya? Menggunakan Theo adalah opsi saat ini, tapi bagaimana cara mengekekusinya agar terlihat alami?"
Dari semalam hal itu lah yang selalu dipikirkan Dava. Selama perjalanan menuju kantor, hanya itu saja yang dipikirkan. Dava mengeryitkan kening begitu melihat karangan bunga yang sangat besar bertuliskan 'I love you'.
"Siapa yang melakukan ini?" Dava turun dari mobilnya. Ia lantas mendekat ke arah satpam. "Bagaimana bisa ada benda dengan tulisan aneh ada di sini?" tanyanya dengan wajah serius.
Sang satpam segera menjawab, "Begini Pak Dava, tadi ada beberapa orang yang datang ke sini dan meletakkan benda itu di sini. Ada satu wanita di tadi. Saya mencoba menegur, tapi wanita itu bilang kalau dia adalah calon istri Pak Dava. Jadi, saya tidak berani untuk menegurnya lagi."
"Siapa nama wnanita itu?"
"Kalau tidak salah namanya Siska."
"Wanita itu lagi," batin Dava.
"Buang benda ini. Setelah itu parkiran mobil saya." Dava memberikan kunci mobilnya.
"Baik Pak."
Ia melihat sekali lagi benda itu dan berdecak kesal. "Wanita agresif itu tak henti-hentinya mendekatiku. Sepertinya aku harus memberitahu mom tentang ini. Wanita yang bernama Siska itu benar-benar kelewatan!"
*****
Anita datang ke sebuah toko bunga. Dari luar, bunga bunga yang ada di dalam sudah menarik perhatiannya. Meskipun Anita sudah memiliki toko langganan sendiri, tapi tak ada salahnya untuk mencoba yang lainnya kan?
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Maya yang melihat Anita memperhatikan bunga-bunga.
"Saya lagi cari bunga mawar untuk ditaburkan di makan suami saya. Apa bisa memesan hanya kelopaknya saja?" tanya Anita yang tidak langsung memesan. Dulu, ada beberapa toko bunga yang menolak pesanan seperti tadi.
"Tentu saja bisa. Tunggu sebentar. Anda boleh duduk."
"Iya." Anita pun duduk di kursi yang telah disediakan. Selama Anita menungu, ia melihat lihat bunga yang ada di dekatnya. "Bunga di sini cantik-cantik." Anita mengambil ponsel yang ada di dalam tasnya. Wanita itu memotret beberspa bunga dan ruangan yang ia lihat sekarang. Anita melihat kembali hasil jepretannya. "Bagus juga. Kapan-kapan aku mau memesan di sini saja."
Maya kembali dari belakang membawa pesanan yang dikatakan Anita. "Ini pesanannya. Terima kasih telah membeli bunga dari toko kami." Kepala Maya sedikit menunduk, tanda menghormati.
Anita mengangguk. Ia kemudian membayar sejumlah nominal yang disebutkan Maya. Anita keluar dari sana. Ia melihat bunga di keranjang tersebut.
"Kualitasnya bagus. Tidak kalah dengan toko bunga langgananku."
Anita masih terfokus melihat kelopak mawar itu hingga ia tak sadar ada motor di depannys. Sang pengemudi kaget dan berusaha menghindar, tapi tubuh Anita masih tersenggol motor tadi. Wanita tadi pun terjatuh.
Sedangkan si pemotor langsung tancap gas. Ia tak ingin disalahkan atas kesalahan yang menurutnya tidak ia perbuat.
Anita merasakan sakit pada pergelangan kakinya. Ia mencoba berdiri, tapi gagal. Rasa sakit tersebut semakin menjadi-jadi kala ia memaksa untuk berdiri.