"Mang, beli gado-gadonya dua ya. Pedesnya yang sedeng aja," ujar Adel pada penjual gado-gado yang tak begitu jauh dari toko bunga.
"Siap Neng." Penjual gado-gado itu lantas segera membuatkan pesanan Adel. "Ke mana aja Neng? Kok mamang lihat, jarang banget lewat sini."
Adel merupakan pelanggan setianya. Hampir setiap hari Adel membeli gado-gado miliknya. Namun, beberapa minggu terakhir ini, ia tak pernah melihat Adel membeli atau pun lewat jalan sini.
"Biasanya Mang, sibuk."
Adel memperhatikan sekeliling. Biasanya akan ada beberapa orang yang sedang menunggu pesanan dan beberapa lagi duduk sembari menikmati seporsi gado-gado.
"Tumben sepi, Mang."
"Tadi ada orang beli dalam jumlah yang banyak, Neng. Nah sekarang tinggal dua poris doang. Eh, tiba-tiba Neng Adel dateng." Ia masih sibuk membuat bumbu.
"Untung aja aku datengnya sekarang ya, Mang. Kalau tidak, udah kehabisan."
"Iya, Neng." Penjual gado-gado itu memberikan makanan tadi pada Adel. Wanita tersebut memberi uang pas untuk si penjual gado-gado.
Adel pun pergi dari sana. Ia melihat ke dalam plastik. Meski masih terbungkus, tapi aroma dari makanan tersebut sudah tercium oleh hidungnya. Mencium aromanya, membuat Adel menjadi lapar. Ia mempercepat langkah kakinya.
Namun, tak jauh di depan sana, ada seorang wanita yang terserempet motor. Wanita itu terjatuh dan menahan sakit saat akan berdiri.
Adel segera menghampiri si wanita itu. "Saya bantu berdiri, Bu." Ia membantu Anita untuk berdiri dan tetap memegang badan wanita itu.
Adel melihat sekeliling. Untung lah di sana terdapat bangku yang dulunya digunakan untuk menunggu bisa yang lewat. Adel mendudukkan Anita di bangku itu.
"Anda, baik-baik saja? Sepertinya kaki Anda terkilir."
Anita meringis menahan sakit saat ia dibantu berjalan dan saat duduk. Ia memegang kaki yang sakit sambil berkata. "Sepertinya memang terkilir."
"Kita ke klinik saja bagaimana? Kebetulan ada klinik di dekat sini." Pertanyaan Adel diangguki Anita. Adel segera memesan taksi online. "Apa sakitnya makin parah?"
Anita menggeleng. "Rasanya sama seperti tadi. Sakitnya sama." Lagi-lagi Anita meringis menahan sakit. "Terima kasih sudah mau repot-repot menolong tadi." Anita berdoa dalam hati, meminta agar ada orang yang membantunya. Akhirnya, doanya terkabul.
"Jangan berterima kasih. Jika orang lain ada di posisi saya, dia juga akan melakukan hal yang sama dan kebetulan saya kerja di toko bunga sana," tunjuknya pada sebuah toko bunga yang baru saja dikunjungi Anita.
"Ternyata kerja di toko itu? Aku tadi baru dari sana. Membeli bunga tabur untuk suamiku."
"Lain kali lebih hati-hati lagi. Di sini banyak juga yang mengebut dan tidak memperhatikan jalan."
Beberapa saat kemudian, taksi online pun menghampiri keduanya. Adel menuntun Anita untuk masuk ke dalam kendaraan roda empat tersebut.
Adel ikut masuk ke dalamnya. Ia tak tega membiarkan wanita yang ditolongnya ke klinik sendiri. Terlebih, wanita tadi kesulitan dan kesakitan saat berdiri.
"Terima kasih sekali lagi ya, Nak, karena telah mengantar wanita tua ini." Anita tersenyum senang melihat kebaikan Adel.
"Jangan terus berterima kasih seperti itu, Bu. Saya tidak melakukan sesuatu yang besar."
Anita kembali tersenyum. Ia senang dengan kerendahan hati yang dimiliki Adel. Tiba-tiba saja nama Dava terlintas di pikirannya. Anita sempat berandai kalau wanita muda di sampingnya ini menikah dengan Dava.
"Apa yang kupikirkan? Kami bahkan baru mengenal beberapa menit yang lalu. Eh, malah sudah mikirin pelaminan. Dasar!" ujar Anita dalam hatinya.
"Jangan kaku begitu bicaranya. Jangan panggil dengan sebutan 'bu' panggil Tante Anita saja. Saat kau memanggilku dengan 'bu', aku langsung teringat dengan cucuku yang sedang memanggil gurunya."
Adel terkekeh mendengarnya. "Baik, akan saya ... maksudku, akan aku laksanakan kata-kata Tante Anita," ujarnya.
Anita kembali bertanys, "Siapa namamu?"
"Adel, tante."
"Oh, Adel, nama yang bagus."
*****
Adel dan Anita sedang menunggu giliran masuk. Klinik yang mereka datangi,l cukup ramai. Umumnya didominasi anak-anak.
Saat giliran anak-anak yang masuk, waktu yang dibutuhkan pun relatif lebih lama karena sang dokter harus menggerus obatnya terlebih dulu.
Kini, tibalah giliran Anita untuk piperiksa. Untuk yang kesekian kalinya, Adel membantu Anita berdiri dan berjalan.
"Pelan-pelan Tante."
"Sini saya ikut bantu, sepertinya kau cukup kerepotan."
Ada seorang ibu-ibu yang menawarkn bantuan. Anita dan Adel pun mengangguk. Adel dan si ibu tadi berdiri di masing-masing samping tubuh Anita.
Anita didudukkan di tempat tidur yang untuk memeriksa pasien. "Terima kasih karena telah membantuku." Anita berterima kasih.
"Sama-sama. Kalau begitu, saya permisi dulu ya."
"Apa keluhannya, Bu?" tanya sang dokter pada Anita.
"Kaki saya tadi jatuh dan sepertinya terkilir Dok."
Sang dokter mengangguk sembari memeriksa keadaan Anita. Ia kemudian menuliskan resep obat pada Anita. Sekarang ini Adel dan Anita telah duduk di kursi yang ada di depan sang dokter.
"Ini resepnya. Kalau Anda mau, saya bisa panggil ambulan dan membawa Anda ke rumah sakit."
Anita menggeleng. "Tidak usah Dok. Saya pulang saja." Anita tak suka rumah sakit apalagi jika harus menginap di dalamnya. Bisa stress Anita.
"Anda yakin?"
"Ya, saya yakin."
Drrt drrt
Ponsel Adel berbunyi. Ia berdiri dan agak menjauhkan tubuhnya. "Iya, May, ada apa?"
"Ada apa, ada apa. Lo beli gado-gado di pluto ya? Lama amat. Perut gue udah pada rusuh nih. Buruan dateng."
Adel baru ingat tentang gado-gado yang dipesannya. Harusnya tadi ia memberikan pada Maya dulu baru mengantar Anita. "Gue ada di klinik sekarang."
Di seberang telepon, Maya membuatkan mata. Pikiran negatif mulai menghantuinya. "Lo sakit? Sejak kapan? Kok tidak bilang sih? Trus keadaan lo gimana?"
"Denger dulu kalau gue lagi ngomong. Gue sehat. Tadi ada wanita yang diserempet motor lalu jatuh. Kakinya dia itu terkikilir. Susah buat jalan. Ya udah gue bawa aja ke klinik."
Maya menghela napas lega. "Oalah begitu toh. Kirain kau yang sedang sakit."
"Yaudah ya, gue tutup teleponnya dulu." Adel memasukkan ponselnya ke dalam tas. Ia kembali duduk. "Maaf, lama."
"Nak Adel pulang aja."
"Nanti Tante sendirian." Mendengar perkataan Anita, tentu Adel tidak tega. Mana mungkin ia membiarkan orang yang ditolong sendiri. Kesannya Adel menolong setengah-setengah.
"Jangan khawatir. Ada anak Tante yang akan jemput kok tenang aja. Lagian, kau kan harus kerja. Nanti bisa-bisa kena marah loh sama atasan."
"Tante yakin mau aku tinggal sendiri di sini? Kalau aku sih tidak keberatan nemenin Tante di sini. Aku bisa ijin untuk hari ini."
Anita menggeleng. "Tidak usah. Kau pulang saja. Ada anak tante kok."
"Yaudah deh kalau Tante beneran baik-baik aja. Aku pulang dulu ya, Tan."
"Iya, hati-hati di jalan."