Chereads / Anka: Love Is Not Over / Chapter 11 - Nasib Nasi Goreng

Chapter 11 - Nasib Nasi Goreng

•note: kamu tahu nggak cinta awalnya dari mana? Ya dari aku dan kamu! Eaaaaa!!!

Caca memandang bekal nasi goreng buatannya dengan tatapan sedih, nasi goreng tersebut sudah bertaburan di atas lantai.

"Kamu kok tega sih, An? Kan aku udah susah payah buatin buat kamu tadi pagi, mana enak lagi tuh tadi," lirihnya tanpa mengalihkan pandangannya dari nasi goreng yang bernasib miris tersebut.

"Kalau nggak bisa nerima kan bisa nolak dengan baik-baik, kok Lo gitu sih An?!" Wendy angkat bicara untuk pertama kalinya. Gadis itu baru memberanikan diri ikut Caca untuk ketemu ketiga the most wanted ini secara langsung.

"Lo siapa?" sahut Anka memandang remeh Wendy yang tengah emosi padanya.

"Gue temennya, Caca!"

"Ya udah kasih tau temen Lo, kalau gue nggak bisa nerima pemberian dia," dengan entengnya Anka menjawab.

Caca menoleh pada Anka, "aku ada di sini! Dari tadi!"

"Bodoh!" ucapnya tanpa perasaan.

Terluka? Tentu saja Caca terluka. Siapa yang nggak sakit hati, jika hal di buat dengan sepenuh hati di buang begitu saja? Mana di lempar lagi di depan mata.

"An, jangan keterlaluan!" tegur Kelvin.

Banyak pasang mata yang melihat adegan itu dari awal, mereka menatap Caca dengan pandangan kasihan. Karena sering, bukan lagi sering, tapi memang setiap hari selalu mendapat penolakan dari Anka, pacarnya sendiri.

Anka berdecak, lagi dan lagi Kevin selalu membela Caca, apa bagusnya sih dia?! Bagusan kali Nabila.

Kantin itu menjadi saksi bisu betapa seringnya Anka menolak setiap apa yang Caca berikan. Dan Caca, gadis itu tidak pernah kapok atau malu ketika pemberiannya selalu di tolak.

"ADA APAAN NIH?!" ujar seseorang yang masuk ke kantin dan memandang pengunci kantin dengan tatapan bingung.

Matanya tertuju pada Caca dan nasi goreng yang ada di dekat kaki gadis itu yang bertaburan di lantai.

Dia juga melihat Anka dan dua curutnya itu, lalu senyum miring tercetak di bibirnya. Kakinya melangkah mendekati Caca.

"Di tolak lagi Lo? Huuu kasihan ya..." ejeknya.

Doni, si kepten basket yang pernah adu mulut dengan Caca waktu itu di lapangan.

Caca mendengus, gadis pendek itu memukul lengan Doni kencang.

"Resek!"

"Dih, main pukul-pukul aja, mamam tuh penolakan! Makanya jadi cewek mahalan dikit napa! Ngejar-ngejar cowok yang sifatnya kek batu es mana bisa, sedangkan modelan Lo aja kayak gini," tunjuknya dari atas sampai bawah penampilan Caca yang mengenakan seragam kebesaran dan kaus kaki yang tinggi sebelah. Cantik sih, tapi sayang petakilan, pikir Doni.

Merasa terhina dan di rendahkan, Caca menendang tulang kering kaki Doni.

"Akh!" pekik laki-laki itu kesakitan.

"Punya mulut kok lemes banget sih?! Cowok apa cowok?!" balasnya tak kalah sengit.

"Mengomentari boleh, tapi jangan sampai merendahkan gitu juga kali!" cibir Wendy sinis.

"Lo cowok mulutnya tolong di jaga, penolakan dari Anka untuk Caca kamu bisa maklumi, tapi hinaan dari Lo untuk Caca bisa kami balas dengan Bogeman!" ujar Galih menantang.

Kelvin menepuk bahu laki-laki itu agar tidak terlalu emosi.

"Basi Lo semua! Dan untuk Lo Ca, murahan!" pungkasnya kemudian pergi dari kantin tersebut. Selera dan mood makannya sudah berantakan, jadi tidak ada gunanya Doni di sana selain nanti mendapat cacian dari siswa-siswi pembela Caca, apalagi Galih tadi.

Caca menghela nafas berat, matanya jatuh lagi pada Anka yang memandangnya datar.

"Sampai kapan An? Sampai kapan mau mau mempermalukan aku? Aku tahu, bukan aku yang kamu mau, kamu mau Nabila kan? Tapi apa Nabila masih mau sama kamu_"

BRAK!

Meja di gebrak olah Anka, mendengar nama Nabila di sebut oleh Caca membuatnya jadi emosi.

"Nah kan ngamok, hadeh nih anak," kata Galih lalu mengambil alih agar Anka tidak berlebihan kesalnya terhadap Caca.

"Udah bro, udah!" dia menarik tangan Anka untuk duduk.

"Ca, Lo pergi aja dari sini, Lo nggak mau kan denger kata-kata pedas dari nih cowok?" pinta Galih meminta gadis itu agar pergi. Dan dengan cepat Wendy menarik tangan Caca dan membawanya pergi.

Kantin itu semakin ricuh, banyak bisik-bisik yang terdengar membicarakan hubungan Anka dan Nabila. Pasalnya putusnya Anka dan Nabila itu ketika masih duduk di kelas 9, jadi hanya yang satu SMP dengannya saja yang tahu.

"WOE! KALAU KALIAN MAU NGOMONGIN ORANG JANGAN BISIK-BISIK! DI DEPANNYA LANGSUNG!" teriak Kelvin.

Kicep, suasana jadi hening seketika. Tak ada lagi bisik-bisik dan lirik-lirikkan mata yang tertuju pada meja Anka and the geng.

"An, tahan emosi Lo, jangan gini, marah boleh. Tapi ingat kalau Caca itu cewek, gimana kalau Lo lihat nyokap Lo di gituin sama bokap Lo?" nasihat Galih, meskipun bar-bar dan absrud serta playboy. Galih tidak akan diam jika lihat seorang wanita di kasari oleh laki-laki.

"Caca emang nggak bakal marah sama Lo, dia juga nggak bakal dendam, tapi ingat. Suatu hari nanti, roda bakal berputar! Orang yang Lo bentak-bentak dan Lo benci saat ini bakal lakuin hal yang sama sama Lo!"

Anka berdecih kemudian menepis tangan Galih yang merangkulnya.

"Lo bukan pendeta! Jadi jangan ceramah!"

"Dih, yang bilang gue pendeta siapa? Gue cuma ngasih tau bege!"

Bukannya mendengarkan, Anka malah beranjak dari duduknya dan pergi keluar kantin.

"Vin, temen Lo tuh," tunjuk Galih pada dagunya.

"Capek gue ngasih tau dia, nggak pernah mau move on atau berubah," lanjutnya mendengus kesal.

"Biarin aja, ntar juga sadar,"

"Cih!" Galih berdecih, "di ujung tanduk baru dia sadar. Mentang-mentang Caca nggak secantik Nabila, nggak seseksi Nabila, nggak sepintar Nabila dan nggak semultitelan Nabila, pokoknya nggak seperti Nabila dah,"

Kelvin tertawa kecil, "tapi sayangnya Nabila nggak sekuat Caca, dia pergi ninggalin Anka cuma karena orangtuanya Anka nggak suka sama dia, padahalkan bisa berjuang dulu," sambungnya.

Galih mengangguk, "tapi kasihan juga euy, Nabila kayaknya sadar diri kalau dia beda jauh sama Anka,"

"Materi bukan penentu segalanya, percuma kaya tapi nggak bener sifatnya?"

"Gue jadi kasihan sama Caca dan Nabila kan jadinya," dengus Galih.

Sedangkan seorang laki-laki tinggi berjalan menyusuri koridor dengan tangannya yang dimasukkan ke dalam kocek celana abu-abunya.

Penampilan selalu badboy, tapi tidak membuat ketampanan dan kekerenannya memudar.

Sementara seorang gadis sedang misuh-misuh di tempat dengan menghentak-hentakkan kakinya kesal.

"Aku kurang apa sih Wen?! Cantik iya, kaya iya, apa lagi?!"

Wendy memperhatikan penampilan Caca yang menurutnya hmm... Jauh dari kata rapi. Dasi miring sejak tadi pagi, baju dan rok kebesaran, serta kaus kaki kendor sebelah.

"Muka Lo sih boleh cantik, tapi penampilan Lo nggak banget selama ngejar-ngejar Anka setahun terakhir, dulu pas pertama masuk SMA Lo cakep banget asli, kok jadi kayak gembel gini?" komentar Wendy pada seragam sekolah yang Caca kenakan.

Gadis itu cemberut, "masa sih?" tanyanya.

"Iya, bener," angguk Wendy.

"Jadi aku harus gimana dong Wen?"

"Ya nggak gimana-gimana sih, yang pasti Lo harus rapi aja,"

"OKE! MULAI BESOK AKU HARUS RAPI!"