Note: aku tahu, aku bukan orang yang istimewa buat kamu, tapi setidaknya aku selalu ada untuk kamu, dan nggak akan pernah ninggalin kamu.
"Buat kamu sadar kalau aku ada di hadapan kamu itu susah!" ujar Caca misuh-misuh di depan seorang laki-laki berseragam SMA yang berwajah datar itu.
"Ih Anka! Ngomong dong! Aku tahu kamu belum bisa move on dari Nabila, tapi please... Hargain aku yang selalu ada untuk kamu!"
"You're not important to me." balas Anka tidak berperasaan.
Caca merungut kesal, gadis tersebut menghentak-hentakkan kakinya kesal.
"Kapan sih, An! Kapan! Kapan kamu buka hati untuk aku?!"
"Stress!" ujar Anka lalu pergi dari hadapan Caca, cowok itu sudah tidak peduli lagi dengan ocehan-ocehan tidak bermanfaat dari cewek itu.
"Ish! Selalu gini! Oh iya lupa!" dia menepuk kepalanya pelan.
"ANKA! JANGAN LUPA NANTI MALAM ADA ACARA MAKAN MALAM DI RUMAH AKU!" teriaknya kencang, untung saja saat ini sudah jam pulang sekolah, jadi tidak ada yang mendengar selain dirinya dan Anka saja yang sudah menjauh di sana, tapi Caca yakin laki-laki itu masih bisa mendengarnya dengan jelas.
***
Malam harinya, Caca sudah siap dengan dress putih selututnya, gadis itu terlihat sangat cantik dengan make up tipis yang menghiasi wajah bulat cantiknya.
"Ma, kapan nih keluarganya, Anka datang?" tanyanya pada mamanya, Linda.
"Mungkin sebentar lagi, tunggu aja," jawab wanita cantik itu.
Caca menoleh pada papanya yang sedari tadi diam, memang, papanya itu mempunyai sifat yang kalem dan cuek serta tidak banyak omong. Sifat beliau tak jauh beda dengan Anka, tapi lebih dingin Anka.
"Pa, aku cantik nggak?" tanyanya dengan senyum lebar.
Erman menoleh sekilas lalu mengangguk kemudian kembali sibuk dengan ponselnya.
Caca mendengus, saat menoleh lagi pada mamanya, pun sama juga. Kedua orangtuanya ini tidak pernah bisa lepas dari perkejaan mereka padahal lagi dalam situasi seperti ini.
Tak lama tiga orang masuk ke dalam rumah dengan senyuman yang manis, tapi tidak dengan seorang laki-laki yang berjalan mengekori kedua orangtuanya, dia memasang wajah datar dan tatapannya yang tajam.
Penampilan laki-laki itu malam ini sangatlah perfect! Setelan kemeja yang di tangannya di lipat setengah membuat karismanya semakin menyeruak membuat Caca yang duduk menatapnya hingga terpesona cukup lama.
"Ganteng banget," gumamnya.
Mama dan papa nya Anka duduk berhadapan dengan mama dan papanya Caca setelah saling menjabat tangan tadi. Dan yang terakhir duduk adalah Anka, laki-laki itu duduk berhadapan dengan Caca yang ada di depannya.
"Bisa kita mulai saja makan malamnya?" tanya Erman, membuka suara.
Ketiga orang dewasa itu mengangguk, Anka yang belum bergerak sama sekali mengambil makanannya hanya diam menatap datar Caca yang tengah salting di hadapannya.
"Makan!" titah Andini menyenggol lengan anak bujangnya itu.
Anka mengangguk kecil, lalu mengambil nasi sesuai porsi serta lauk pauknya.
Suasana makan malam itu menjadi sunyi, dan ketika selesai, kedua orang tua Anka dan Caca berbicara serius soal bisnis, mereka beranjak pergi meninggalkan dua sejoli itu di meja makan untuk pergi ke ruang tengah membahas soal bisnis mereka.
Caca mendorong piring kotornya di samping, lalu menopang dagu memperhatikan wajah Anka yang sangat-sangat bekali lipat tampannya malam ini.
"An, kamu ganteng banget," pujinya.
Anka mendengus, laki-laki itu beranjak juga dari tempat duduknya, kemudian pergi keluar melalui pintu belakang.
Caca tidak mau di tinggal, gadis itu dengan cepat menyusul Anka yang sudah berada di pinggir kolam renang.
"Anka," panggilnya.
Tidak ada sahutan dan respon dari Anka, laki-laki itu terus memandang air kolam yang memancarkan bayangan bulan purnama malam ini.
Caca berdiri di samping Anka, tubuh kecilnya hanya sebatas bahu laki-laki itu saja. Tangannya di kaitkan di belakang lalu menggoyang-goyangkan sedikit tubuhnya.
"Anka," panggilnya lagi.
"Ya?" sahut Anka cuek dan ketus.
"Kamu kenapa sih? Kayaknya nggak suka banget aku samperin?"
"Nggak usah banyak nanya!" decaknya kesal.
Caca mencabik bibinya, "kenapa sih, An? Kenapa coba gitu kamu nggak mau nerima aku?"
"Lo bukan tipe gue!" jawab Anka tanpa basa-basi dan dengan entengnya tadi saat menjawab hal itu.
Caca menghela nafas, "iya, aku tahu, tipe kamu itu yang kayak Nabila, sedangkan aku? Cuma bisa nyusahin kamu kan?"
Laki-laki itu menoleh sinis dan tajam pada Caca, lalu berkata, "Lo tahu kenapa, nanya?"
"Ya kan aku cuma nanya, emang nggak boleh?"
Anka memutar bola matanya malas, lalu sedikit bergeser menjauh dari Caca.
"Gitu aja terus, An. Sampai kamu bosen dan capek sendiri," cibir Caca lalu duduk di bawah dengan kakinya di masukkan ke dalam kolam dan diayunkan pelan di bawah hingga menimbulkan gelombang kecil di kolam itu.
"Kamu tuh kayak air kolam malam ini tau nggak! Dingin!" ucapnya sedikit ketus.
Anka tidak menjawab apa-apa, dia hanya mengangkat kedua bahunya acuh lalu mendongak menatap bulan purnama malam itu.
"Kapan ya, An? Kapan kamu mau nerima aku? Aku kadang jenuh tau ngejar-ngejar kamu," celotehnya pelan namun dapat di dengar oleh Anka.
"Gue nggak pernah minta Lo untuk ngejar-ngejar gue!" jawabnya.
"Kamu emang nggak pernah minta, tapi setidaknya, lirik aku sedikit aja, An,"
"Ogah!"
Caca menghela nafas berat, di alihkan pandangannya ke arah laki-laki cool yang berdiri tak jauh darinya duduk.
"Nabila se spesial apa sih, bagi kamu?" tanyanya.
Anka diam, dia tidak menjawab apa-apa untuk beberapa detik kemudian menoleh pada Caca yang tengah menatapnya lekat dari bawah.
"Nggak ada alat ukur yang bisa menjawab seberapa spesial dia buat gue,"
Sakit hati? Tentu saja, siapa yang tidak sakit hati, jika orang yang kita sukai masih menyimpan perasaan cinta yang begitu besar pada masa lalunya.
"Tapi dia cuma masa lalu kamu, An,"
Anka tersenyum miring, "dia emang masa lalu gue, tapi bukan berarti dia nggak bisa jadi masa depan gue juga dong?" kekehnya.
Caca menunduk, dia menatap kakinya yang ada di dalam air kolam.
"Secinta itu, ya, kamu sama dia?"
"Ba..nget!" Anka menjawab dengan sengaja, bahkan dia menekankan kata 'banget.'
"Kalau aku jadi kamu, aku pasti lakuin hal yang sama, siapa sih yang nggak suka, Nabila? Dia cantik, baik, berprestasi, dan idaman para cowok, sedangkan aku?"
Anka pelan berjalan mundur ketika gadis berceloteh panjang, ia tidak mau peduli dan bodo amat akan semua ucapan nya itu, yang pasti, saat ini ia ingin pulang.
Cukup lama berbicara panjang lebar tanpa menyadari kepergian, Anka yang sudah hilang dari tadi. Caca menoleh hendak bertanya pada cowok itu lagi namun ia tidak menemukan siapa-siapa di kolam itu selain dirinya sendiri.
Bibirnya melengkung ke bawah, Caca ingin menangis, jadi dari tadi ia berbicara sendiri toh? Miris sekali.
"Gini banget deh," cicitnya.