Range Rover milik Satria berhenti di seberang gedung milik Dutamas Grup. Dia sengaja ingin memperlihatkan sesuatu kepada Rea sesuatu yang mungkin saja bisa menyadarkan istrinya itu.
"Dutamas Grup?" Kening Rea berkerut. "Kenapa kamu bawa aku ke sini, Bang?"
Satria menyeringai. "Aku ingin kamu tahu sesuatu, Sayang." Matanya mengawasi gedung jangkung itu. Di tangannya sudah ada teropong. Dari sini, Satria berniat menggunakan benda itu untuk memantau.
"Kamu lagi mata-matain seseorang? Biasanya juga Ruben yang melakukannya."
Satria mengabaikan ucapan Rea, dan fokus pada teropongnya. Dia meletakkan benda itu tepat di depan matanya pada bagian lensa kecilnya. Moncong berlensa besar ada di ujungnya. Dari pantauannya, dia bisa melihat rombongan yang baru keluar dari lobi gedung. Sebenarnya tanpa teropong, Satria bisa saja melihat pergerakan mereka. Namun, dia hanya ingin menunjukkan hal yang lebih jelas kepada Rea.
Satria menyerahkan teropong itu pada Rea. "Coba kamu perhatikan."
Dengan alis yang menyatu, Rea menerima benda itu dan menggunakannya. Mengarahkan pada objek sesuai instruksi Satria.
"Apa yang kamu lihat?"
Rea melihat segerombolan orang berpakaian rapi, sedang mengadakan pengawalan. Rea tidak heran dengan pemandangan itu. Satria juga sering seperti itu sewaktu-waktu. Namun, yang membuatnya semakin menajamkan mata, sosok yang dikawal itu.
Kacamata yang bertengger pada pangkal hidung orang tersebut tidak bisa menutupi siapa dirinya. Rea sangat mengenal wajah itu.
"Abi?"
"Abi Permana, pemilik Dutamas Grup. Dia sedang bermain-main di perusahaan kita."
Rea masih terus mengawasi. Abi berpenampilan beda dari biasanya. Dia terbiasa mengenakan setelan jas. Namun, jenis yang digunakan saat ini berbeda dengan yang biasa dia kenakan. Abi tampak lebih berkelas dari yang sering Rea lihat.
Seseorang membuka pintu mobil untuk Abi. Lalu Abi masuk ke dalamnya. Mobil yang Abi naiki diapit oleh tiga mobil lainnya. Satu di depan, dua lagi di belakang.
Rea baru menurunkan teropong itu, begitu mobil-mobil itu pergi meninggalkan pelataran gedung.
"Kalau memang dia pemilik Dutamas Grup. Untuk apa dia repot-repot menjadi sekretariku? Apa dia tidak sibuk dengan urusannya?"
"Abi Permana tidak terlalu sibuk. Dia pensiun dini dari aktivitas kantor. Jadi, yang dia lakukan hanya sekadar mengawasi. Orang-orang kepercayaannya yang menjalani kerajaan bisnisnya."
"Oh ya?"
Satria mengusap dagunya. "Biarpun begitu, wewenang dan keputusan mutlak ada padanya. Aku baru tahu ternyata dia tidak bisa diremehkan begitu saja. Hanya dengan mengawasi di rumah saja dia bisa sesukses itu. Bagaimana kalau dia turun tangan?"
"Pantas saja pemikirannya selalu brilian. Tapi, Bang. Aku tak menemukan hal yang mencurigakan dia akan menghancurkan perusahaan kita kok."
"Karena memang bukan itu tujuannya, Sayang."
Kening Rea semakin berkerut dalam.
"Semua hampir dia miliki. Dia tidak perlu merampas perusahaan untuk bisa jadi kaya. Baru-baru ini aku tahu, kalau Kakeknya itu sahabatan dengan almarhum kakek. Aku nggak ragu sama seseorang yang bergaul dengan kakek," terang Satria lagi.
"Jadi, apa tujuannya?"
Satria menatap Rea. "Kamu tujuannya. Dia ingin merebut kamu dariku."
Untuk sesaat Rea melongo mendengar jawaban Satria, tapi beberapa detik berikutnya tawanya meledak. Itu jawaban paling konyol yang Rea dengar. Astaga, Abi itu masih muda. Untuk apa pria setampan dia menginginkannya. Wanita yang pernah melahirkan enam anak tidak ada menariknya sama sekali.
"Kenapa kamu tertawa? Apa kamu pikir aku bercanda?" tanya Satria tak suka dengan reaksi Rea.
"Bukannya apa, Bang. Tapi serius itu konyol. Aku rasa kecemburuanmu benar-benar sudah tak tertolong lagi. Astaga." Rea kembali tertawa membuat Satria berdecak sebal.
"Aku akan membuktikan kebenaran kata-kataku, Rea."
Rea mengangguk dengan sisa tawanya yang masih ada. "Oke, oke, Sayang. Whatever you want."
Satria memberengut seraya menarik tuas persneling. Rea benar-benar menyebalkan. Dia berjanji dalam hati akan membuktikan pada Rea. Wanita itu boleh saja tertawa tapi nanti lihat siapa yang akan memohon maaf.
***
Pasca kejadian itu, Rea masih bekerja dengan Abi seperti biasanya. Tidak ada yang berubah meskipun diam-diam Rea meningkatkan kewaspadaannya terhadap sekretaris itu. Rea juga masih meminta pendapat Abi setiap kali akan mengambil keputusan. Pandangan Abi selama ini sangat membantunya. Perusahaan yang Rea pegang pun secara tidak langsung maju karena ada campur tangan Abi.
"Ada yang harus Bu Rea tanda tangani di sini." Abi meletakkan sebuah dolumen yang sudah dia buka ke hadapan Rea.
Rea mengangguk dan mengambil penanya. Dia membaca isi dokumen itu sekilas. Sejauh ini apa-apa yang perlu tanda tangan melalui dirinya aman-aman saja. Tidak ada sesuatu yang aneh. Masa iya, apa yang Satria katakan itu benar? Mustahil sekali Abi menyukai Rea.
Rea membubuhkan tanda tangan, lalu menyerahkan kembali kepada Abi. Tepat ketika Abi mengambil kembali dokumen itu pintu ruangan Rea terbuka menampilkan sosok Dea dengan seorang anak berumur tiga tahunan.
"Kak Rea!" seru Dea.
"Wow! Kejutan." Rea beranjak berdiri. Adik tiri Andra itu semakin cantik padahal anaknya sudah dua. Dea ke kantor Rea membawa anak keduanya yang sangat mirip dengan Kapten Kenzo.
Rea tidak sadar kalau Abi di sebelah mejanya berdiri kaku dengan posisi tangan meremas kuat tepian dokumen yang dia bawa.
Rea langsung mengangkat tubuh kecil Noe—anak Dea—yang bermata sipit.
"Halo, Ganteng. Tumben banget kamu main ke sini?"
"Tadi ada acara di dekat sini, Kak. Jadi mampir deh," sahut Dea. Matanya lantas melirik seseorang yang berdiri menunduk di sisi meja kerja Rea. Matanya sedikit menyipit melihat siapa lelaki itu. Namun, detik berikutnya dia terbelalak mengetahui siapa lelaki tersebut.
"A-Abi?" Tenggorokan Dea rasanya tercekik ketika menyebut nama pria itu. Dia mencoba meneguk ludahnya.
Rea yang sedang asyik mengajak Noe ngobrol menoleh. "Kamu kenal Abi, Dea?" tanya Rea tersenyum. Dia tidak sadar kalau muka Dea mendadak pias.
"Bu Rea, saya permisi dulu." Abi menunduk sebentar sebelum keluar dari ruangan.
Ketika dia melewati Dea, langkahnya berhenti, dan sedikit menoleh pada wanita itu. "Kita bertemu lagi, Honey," katanya lirih dengan senyum manis. Lantas dia kembali bergerak keluar ruangan.
Namun, bagi Dea senyum itu tampak mengerikan. Dia mundur selangkah menghindari lelaki itu. Tangannya langsung bertumpu pada lemari nakas yang kebetulan ada di belakangnya.
"Noe, udah mamam belum?" tanya Rea pada anak itu.
"Udah," jawab Noe mengangguk. "Ama sayul."
Mungkin yang anak itu masuk sayur. Rea mengacungkan jempol. "Hebat Noe makan sayur."
Anak itu mengangguk lagi. "Sayul ehat!"
"Bener, Noe. Sayur sehat." Rea tepuk tangan. Padahal dirinya sama sekali bukan penyuka sayur. Satria sampai harus memaksa kalau ingin istrinya makan sayur.
"Dea, Kapten di Indonesia?" tanya Rea menoleh pada Dea.
Dea terkesiap. Detak jantungnya belum sepenuhnya normal gara-gara ucapan Abi tadi. "Kenapa, Kak Re?" tanya Dea menekan dada kirinya.
"Aku tanya, Kapten di Indonesia atau enggak?"
"I-iya, Kak. Dia ada di Indonesia." Dea menarik napas panjang, lalu bergerak menghampiri Rea dan anaknya yang sudah duduk di sofa.
"Kamu sakit?" tanya Rea melihat wajah Dea yang tampak pias.
Wanita dengan rambut lurus melewati bahu itu menggeleng. "Enggak, Kak. Aku baik-baik saja." Dea duduk tepat di sebelah Noe.
"Oh iya. Jadi, kamu sama Abi saling kenal?" tanya Rea.
Rea menanyakan itu dengan nada biasa saja. Namun, Dea yang mendengarnya kontan terlihat gusar. "Kak Rea, dia sedang apa di sini?" tanya Dea balik.
"Abi itu sekretarisku."
"Apa? Gimana bisa? Dia kan—" Dea tidak suka mengingat itu. Setiap kali mengingat kejadian beberapa tahun silam, perasaan bersalah kepada suaminya kembali hadir.
Dea membenci Abi. Laki-laki itu sudah merusak semuanya. Di saat Dea sudah hidup tenang, kenapa dia harus dipertemukan kembali dengan lelaki itu?
__________________
Ingat dengan Dea dan Kenzo kan? Kemungkinan aku bakal flashback kisah mereka, Karena pasangan itu juga mengalami emergency marriage.
Yuk Teman-teman gaskeun... jangan lupa dukung dengan review, powerstone dan komen seru kalian.