Jalanan sore begitu ramai saat Rea baru saja keluar dari gedung pencakar langit tempatnya bekerja. Alphard yang mengantarnya harus rela antri untuk bisa merambat. Jenuh juga saat mendapati keadaan yang sama tiap sore meski ini hal lumrah di kota besar.
Rea memandang ke luar jendela mobil dengan bibir manyun. Lalu lintas makin crowded saat berhenti di perempatan lampu merah. Baru saja Rea akan kembali menyandarkan punggung di kursinya yang empuk saat tiba-tiba saja ada suara ketukan pada kaca jendela mobilnya. Seorang bocah menenteng ukelele terlihat sedang bernyanyi tanpa Rea minta.
Rea bergerak membuka tasnya, dan mengambil selembar uang sekenanya. Dia lalu menurunkan kaca jendela mobil. Suara bocah lelaki itu bagus. Dia seumuran si kembar, tapi sudah berjibaku di jalan raya menantang debu. Rea menyodorkan uang pecahan seratus ribu saat anak itu selesai menyanyi.