Tok... Tok…
"Masuk!"
Ve masuk bersama Jay. Andika memberi isyarat kepada asistennya agar meninggalkan mereka. Setelah asistennya keluar, Andika menarik tangan gadis itu.
Grep!
Ia memekik kaget saat tubuhnya menabrak dada bidang kekasihnya. Ada sesuatu yang terasa menarik rambut coklat Ve. Membuat gadis itu kesakitan dan Andika melirik ke arah kancing lengan jas yang menyangkut di rambut Ve.
Andika melepaskan kancing dari rambut Ve secara perlahan-lahan. Sesekali, Ve meringis saat rambutnya tertarik. Sebagai seorang pria yang baru pertama kali berpacaran, ia merasa sangat ketakutan.
"A … aku minta maaf. Aku tidak sengaja menarik rambutmu," kata Andika dengan gugup.
"Ss … sakit, Dika," keluh Ve dengan suara pelan.
Ucapan Ve seperti sebuah bom yang menghancurkan pertahanan Andika. Kata-kata itu terdengar seperti sebuah desahan di telinga laki-laki itu. Andika menarik pinggang gadis itu dan mendaratkan kecupan di bibir merah muda Ve.
Andika sangat merindukan gadis itu karena seharian tidak melihatnya masuk ke kantor untuk menemuinya. Tangannya terus mencoba melepaskan kancing baju yang tersangkut di rambut kekasihnya. Perlahan tapi pasti, akhirnya kancing bisa lepas dari rambut Ve.
Gadis itu segera mendorong Andika saat rambutnya telah bebas dari kancing jas sang kekasih. Tadi pagi, ia masih begitu bersemangat membalas pagutan mesra Andika. Namun, kali ini ia tidak membalas dan hanya diam membeku, membiarkan laki-laki itu menghisap madu seorang diri.
"Kamu kenapa, Ve?"
"Tidak apa-apa. Ada apa memanggilku?"
"Tidak ada apa-apa, tapi kamu menghindariku seharian. Kenapa, Ve? Kamu bisa berbagi denganku jika kau sedang ada masalah. Jangan menanggungnya seorang diri, lalu mengabaikan aku," kata Andika penuh perhatian.
"Itu cuma perasaanmu saja. Aku lelah dan ingin cepat pulang. Kalau tidak ada yang ingin dibicarakan, aku pergi."
Ve melangkah menuju pintu. Andika masih tidak mengerti dengan kebisuan gadis itu. Ia menahan pintu dan menatap kedua netra hitam sang kekasih. Mata Ve berkaca-kaca, membuat kekasihnya semakin kebingungan.
"Ada apa, Ve?" tanya Andika dengan nada yang lebih lembut. Ia merengkuh kembali tubuh gadis itu. Beberapa detik kemudian, dadanya terasa basah. "Jangan menangis, Sayang. Kalau memang kamu tidak bisa memberitahukan masalahmu padaku, maka aku tidak akan bertanya lagi."
Ve semakin terisak sedih mendengar kata-kata dari bibir kekasihnya. Kedua tangannya meremas ujung kemeja kotak-kotak yang sengaja tidak dimasukkan ke dalam celana panjangnya. Ia sangat mencintai Andika, tapi kakaknya meminta untuk melepaskan laki-laki itu.
***
Andika membawa Ve pulang ke rumahnya. Odah membuatkan minuman dingin berbahan leci. Wanita paruh baya itu menemani Ve sementara Andika sedang pergi mengganti baju di kamar.
"Non Ve tidak apa-apa? Tuan Andika tidak menyakiti, Non, kan?" tanya Odah dengan hati-hati.
Ve hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum hambar. Saat Andika selesai mengganti baju, Odah segera pergi ke dapur. Keduanya menyesap es leci buatan asisten rumah tangga sekaligus ibu angkat sang tuan rumah.
"Mau makan?" tanya Andika memulai percakapan.
"Tidak, terima kasih."
"Gadis bar-bar-ku sedang tidak ingin bertengkar. Rasanya seperti kurang lengkap. Seperti ada yang hilang," ujar Andika sambil berbaring dan merebahkan kepalanya di atas paha Ve.
"Apa kau ingin kita bertengkar? Jika begitu, kenapa tidak berpisah saja? Mungkin, kita akan kembali ke masa-masa itu," balas Ve dengan tatapan mengarah ke dalam layar televisi yang tidak dinyalakan.
"Apa maksudmu? Tidak lucu, Ve. Jangan bercanda," tandas Andika. "Apa kau marah padaku karena kejadian kemarin malam? Aku bersumpah, Ve … aku tidak melakukan apa-apa padamu. Percayalah," ujarnya lagi.
"Aku tahu. Jangan menatapku seperti itu. Kau mengingatkanku pada masa saat kamu menyiksaku di hari pertama bekerja," kata Ve sambil tertawa kecil.
Ia tidak mau melihat Andika banyak berpikir. Sudah cukup laki-laki itu dengan kesibukannya, Ve tidak mau menambahkan beban pikiran baginya. Andika mencoba ikut tersenyum meski terkesan terpaksa.
"Jangan bercanda seperti itu lagi, Ve. Aku tidak mau kehilangan kamu," ucap Andika sambil menarik gadis itu ke dalam pelukannya. "Aku sangat takut."
Tubuh Andika gemetar ketika mengungkapkan isi hatinya. Ia tidak ingin merasakan kehilangan untuk kesekian kalinya. Rasa takut itu begitu nyata terungkap dari gerakan tubuh laki-laki itu. Andika semakin mendekap erat dengan tubuhnya yang semakin gemetar.
'Andika gemetar. Dia tidak sedang mengerjaiku, 'kan?'
Setiap kali Andika mengalami ketakutan akan kehilangan seseorang, tubuhnya gemetar hebat. Dalam dekapan sang kekasih, laki-laki itu berkeringat dingin. Bajunya mulai basah, hingga merembes ke baju Ve.
"Dik! Dika! Kamu kenapa?" tanya Ve dengan cemas. Ia mencoba melepaskan dekapan kekasihnya namun ia cukup kesulitan. Andika tidak merespon ucapan Ve, membuat gadis itu mulai panik. "Bi! Tolong!"
Wanita paruh baya itu berlari kecil dari arah dapur. Tangannya basah, mungkin karena tidak sempat mengelap tangannya setelah mencuci piring. Mulutnya memekik saat melihat Andika memeluk erat Ve sampai wajah gadis itu memerah. Jika dibiarkan, Ve bisa mati kehabisan napas saking kuatnya pelukan laki-laki itu.
"Tuan! Lepaskan nona, Tuan!" teriak Odah ketakutan. Ia mencoba membantu Ve untuk melepaskan diri. Namun, semakin Odah berusaha melepaskan tangan Andika, semakin kuat juga pelukan itu.
"Uhuk … Dik! Aku sesak napas… sh…" ucap Ve dengan suara sangat pelan.
"Aduh! Bagaimana ini?"
Odah belum pernah melihat majikannya seperti itu. Ia mencari nomor telepon Jay. Barangkali, laki-laki itu mengetahui apa yang sedang terjadi kepada Andika saat ini.
"Uhuk …. Hah …." Ve semakin lemas. Tulang-tulangnya terasa sakit dan oksigen sulit masuk karena dadanya terimpit tubuh kekar sang kekasih.
"Bertahanlah, Nona! Saya sedang berusaha menelepon mas Jay."
Odah semakin gemetar ketakutan melihat Ve mulai kesulitan bernapas. Panggilan telepon tersambung. Wanita itu segera bertanya tanpa memberikan kata sapaan.
"Mas Jay, Tuan tiba-tiba saja memeluk nona Ve sampai kesulitan bernapas. Sampai saat ini, saya tidak melepaskan tangan tuan Andika. Apa yang harus saya lakukan?"
"Apa? Sudah lama dia tidak mengalami hal seperti itu. Kenapa tiba-tiba penyakitnya kambuh?"
"Saya tidak tahu. Jadi, saya harus bagaimana, Mas?"
"Ambil suntikan berisi obat yang ada di kamarnya. Biasanya dia selalu menyimpan obat itu di laci nakas. Suntikan dimana saja, cepat!"
"Baik, Mas."
Odah segera memutus sambungan telepon. Ia berlari menuju kamar sang majikan, lalu mengambil obat dan suntikan yang ada di dalam laci. Dengan tergesa-gesa, Odah memasang jarum pada suntikan itu.
"Cepat, Bi …," desak Ve pelan.
Odah bukan dokter atau perawat. Tentu saja ia kebingungan bagaimana harus memasang jarum itu apalagi dalam keadaan panik. Meski tidak sempurna terpasang, Odah langsung menyuntikkan obat itu di bahu Andika.
Pluk!
Alat suntik itu terjatuh dari tangan Odah. Wanita paruh baya itu menjadi was-was saat melihat darah mengalir dari bahu Andika. Bagaimana jika ia salah menyuntikkan obat itu dan majikannya meninggal?
Perlahan-lahan, dekapan laki-laki itu mulai mengendur. Saat tangan Andika terlepas dari tubuh Ve, gadis itu menggelusur jatuh ke lantai. Andika mendapatkan kembali kesadarannya dan terkejut melihat suntikan di lantai.
"Ve!" pekik Andika.
*BERSAMBUNG*