Chereads / Billionaire Looking for Wife / Chapter 16 - Panti asuhan terbakar

Chapter 16 - Panti asuhan terbakar

"Apa Ve sudah bangun?"

"Belum, Tuan," jawab Odah sambil menyajikan makanan di depan Andika.

"Siapkan makanan untuk Ve! Aku akan menunggunya di kamar," perintah Andika kepada sang asisten rumah tangga.

Ia duduk di tepi ranjang, melihat wajah Ve yang sedang tertidur dengan wajah pucat. Terakhir kali Andika merasakan hal itu adalah saat sang penolong, Markus Nielsen meninggal dunia. Andika mengalami trauma pasca kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tuanya. Sejak saat itu, jika perasaannya tertekan karena rasa takut kehilangan, ia akan gemetar dan seperti kehilangan akal.

"Maafkan aku, Ve. Aku telah menyakitimu," ucapnya lirih.

Andika menyibak anak rambut yang menutupi kening gadis itu, lalu membungkuk dan mengecup kening Ve. Laki-laki itu baru menyadarinya hari ini. Ia sudah jatuh terlalu dalam, sampai bisa membuat penyakitnya kambuh.

Sebuah panggilan telepon membuyarkan lamunan laki-laki itu. Nama Jay terpampang di layar ponsel. Ia merapikan selimut Ve, lalu keluar untuk menerima panggilan telepon dari sang asisten.

"Bagaimana keadaanmu?"

Suara Jay terdengar sangat khawatir. Yah, mereka adalah orang yang sama-sama diangkat menjadi putra oleh Markus Nielsen. Sayangnya, Jay tidak ingin memiliki perusahaan dan lebih memilih menjadi asisten Andika.

"Aku tidak apa-apa."

Andika menghenyakkan tubuhnya di atas ayunan  yang terbuat dari rotan. Ayunan gantung itu berada di tepi kolam renang di belakang rumahnya. Halaman rumah Andika sangat luas, baik di depan maupun yang ada di belakang.

"Kalau parah, sebaiknya pergi berobat. Atau aku perlu ke sana?"

"Tidak perlu. Aku sungguh tidak apa-apa."

"Bagaimana dengan Ve. Bi Odah sangat panik saat meneleponku. Apa dia baik-baik saja?"

"Aku tidak tahu. Saat aku kambuh, aku memeluknya dengan sangat erat. Bi Odah bilang, Ve sampai sesak napas. Saat aku sadar, dia pingsan. Sampai saat ini, dia masih belum sadar."

Suara Andika bergetar. Penyesalannya sangat dalam, hingga ia mengutuk dirinya sendiri di dalam hati. Andika merasa sangat buruk sebagai kekasih, karena telah melukai kekasihnya.

"Jangan terlalu menyalahkan dirimu. Aku akan ke rumahmu sekarang."

Jay mengakhiri panggilan. Persahabatan mereka telah disatukan menjadi saudara angkat oleh Markus. Laki-laki berusia enam puluh tahun itu tidak memiliki anak laki-laki, lalu mengadopsi mereka berdua dari panti asuhan yang berbeda.

"Eng …." Ve terbangun dengan pandangan samar. Manik mata hitam itu mengerjap-ngerjap untuk memperjelas pandangannya. Di samping, Odah berdiri sambil tersenyum lebar. 

"Non sudah bangun. Mau minum?" tanya Odah sambil meraih gelas berisi air kelapa asli. Menurut kepercayaan orang tua, air kelapa bisa membuat orang sakit segera sembuh.

Ve bangun dan duduk bersandar ke kepala ranjang. Ia menerima gelas berisi air kelapa, lalu meminum air itu. Rasa manis, dingin, terasa segar saat melewati kerongkongannya.

"Air apa ini, Bi? Enak sekali," ucap Ve setelah menghabiskan air kelapa itu.

"Menurut iklan di televisi, air kelapa mengandung elektrolit yang bisa membantu menyegarkan tubuh. Jadi, Tuan meminta saya menyiapkan air kelapa muda untuk, Nona," jawab Odah panjang lebar.

Gadis itu tersenyum geli. Pertanyaannya sangat sederhana, tapi Odah menjawabnya dengan sangat luar biasa. "Panjang sekali, Bi," gumam Ve sambil mengulum senyum.

"Apa, Nona?"

"Tidak. Bukan apa-apa, kok, Bi. Oh, ya. Bagaimana keadaan Andika?" tanya Ve yang tidak sadar, bahwa Andika berdiri di samping kanan tempat tidurnya, berhadapan dengan Odah yang dipisahkan oleh tempat tidur.

"Sebaiknya, Non, tanyakan sendiri," jawab Odah sambil menunjuk ke belakang punggung Ve.

Ve menoleh dengan cepat. Matanya berkaca-kaca menatap sang kekasih. "Syukurlah …."

Hatinya merasa lega melihat Andika baik-baik saja. Sementara itu, Andika yang sedang khawatir, memarahi gadis itu. Dimarahi oleh atasan sekaligus kekasih, bukannya takut, Ve justru tersenyum. Ia melompat turun dan menghambur ke dalam pelukan laki-laki itu.

"Maafkan aku, Ve. Kamu … bagian mana yang terasa sakit? Perlu periksa ke rumah sakit tidak?" tanya Andika sambil melepaskan pelukan gadis itu. Ia memutar tubuh Ve, memeriksa setiap inci tubuh gadis tomboy yang telah menjadi kekasihnya.

"Aku tidak apa-apa."

Ve kembali memeluk Andika. Helaan napas lega, menembus t-shirt putih yang dipakai laki-laki itu. Membuat bulu roma berdiri, wajahnya bersemu merah.

***

Astari menunggu adiknya di teras rumah. Ia sudah mengungkapkan isi hatinya kepada Ve. Gadis itu sangat berharap, Ve mengalah, dan melepaskan Andika untuknya.

Namun, ia kesal bukan main. Ve kembali menginap di rumah Andika, karena sudah tengah malam. Tidak mungkin, Ve pulang di jam yang sudah beranjak menapak pagi.

'Hebat sekali kamu, Ve! Bahkan masih berani menginap di rumah Andika setelah tahu seperti apa perasaanku padanya. Karena cara halus tidak berguna, aku akan menggunakan cara kasar. Semua ini karena kamu. Jadi, kamulah yang bersalah.'

Astari mengeluarkan sebuah korek berwarna silver dari dalam saku baju tidurnya. Ia masuk dan menutup pintu. Semua orang sudah terlelap, membuat gadis itu bisa bebas melakukan aksinya.

Dalam hitungan menit, api berkobar di dapur. Setelah api mulai membesar dan merambat ke pintu belakang serta ruang tamu, para penghuni panti terbangun karena asap yang mengepul. Mereka berlarian keluar dengan panik. 

"Uhuk … Ta … Tari! Uhuk …." 

Nurlena pergi ke kamar gadis itu. Semuanya sudah terbakar dan Astari sedang merangkak menuju pintu. Ia kehilangan kursi rodanya atau lebih tepatnya, sengaja menghilangkan dengan cara dibakar.

"Ayo, Sayang! Mama bantu keluar," ucap Nurlena. Ia menggendong putrinya di belakang. Walau fisik tua, tapi ia sudah terbiasa menggendong sesuatu yang berat.

"Bu! Ayo keluar!" seru anak-anak panti dan para pengurus.

Nurlena menerjang api yang dinyalakan oleh putri kandungnya sendiri. Sekuat tenaga, ia melindungi anak gadisnya agar tidak terkena sambaran api. Meskipun, akhirnya ia terluka di bagian lengan dan kaki.

"Tolong! Kebakaran!" Mereka berteriak meminta tolong.

Dini hari yang tenang pun menjadi gaduh. Para tetangga sekitar berbondong-bondong membantu mereka memadamkan api. Namun, sumber daya manusia yang kurang banyak, air yang terbatas dari pompa air milik warga, membuat mereka tidak dapat memadamkan api yang telah melalap seluruh bangunan.

Pemadam kebakaran tiba tiga puluh menit setelah api mulai berkobar. Astari sudah menelepon tim pemadam kebakaran sebelum ia menyalakan api. Tidak ada korban jiwa, tapi mereka kehilangan tempat tinggal.

Tangisan Nurlena dan penghuni panti, membuat suasana semakin memilukan. Di sela-sela tangisan itu, Astari menyunggingkan senyum puas. Ia melancarkan rencana selanjutnya.

"Halo, Dika! Tolong kami!" 

Astari menelepon Andika untuk datang ke panti. Hubungan laki-laki itu dengan Nurlena sangat dekat seperti ibu kandung. Gadis itu yakin, Andika pasti datang. Ia sengaja berpura-pura kehabisan baterai ponsel saat menelepon, membuat laki-laki di seberang telepon menjadi cemas.

'Kamu yang memaksaku untuk berbuat sejauh ini, Ve. Kita lihat ... apa yang akan terjadi saat Andika datang?'

*BERSAMBUNG*