Astari mengepalkan tangannya dengan kuat. Kuku-kuku panjangnya menancap di telapak tangan, hingga patah, dan melukai gadis itu. Sebesar itu kebencian Astari kepada Ve saat ini.
Nurlena sangat terkejut saat Astari keluar dengan telapak tangan meneteskan sedikit darah segar. Hanya terluka karena kuku, tapi bisa sampai berdarah seperti itu. Bisa dibayangkan seperti apa kemarahan dalam hati gadis itu?
"Biar mama bantu membalutnya."
"Tidak perlu! Tari bisa sendiri," ucapnya menolak tegas. Setelah membalut tangannya, ia keluar dari rumah dan melamun di taman. Menatap bintang-bintang sambil duduk di kursi rodanya.
"Tari …. Kenapa kamu jadi seperti ini, Nak?" gumam Nurlena dengan perasaan hancur.
Ia mendidik anak-anaknya dengan baik. Menanamkan sikap sopan, baik, berbudi luhur. Namun, karena sebuah perasaan yang tak berbalas, semua sikap baik Astari menghilang.
Kini, gadis itu selalu berbicara ketus kepada ibunya, menghindari adik-adiknya, memiliki kebencian yang sangat besar kepada Ve. Nurlena tidak tahu harus berbuat apa untuk mengembalikan gadis itu seperti semula.
***
Andika terbangun setelah puas tertidur di pangkuan Ve. Saat ia membuka mata, pandangannya tertuju lurus ke atas. Wajah gadis itu sangat menggemaskan saat tertidur.
Ve mengantuk karena tidak bisa melakukan apa-apa. Ingin menonton televisi, takut mengganggu laki-laki itu. Akhirnya, ia tertidur sambil duduk dan tangannya memegangi dada Andika. Dalam tidur pun, ia tidak lupa untuk memikirkan laki-laki itu. Takut tubuh laki-laki itu terjatuh saat ia tertidur.
"Jam berapa ini?" tanya Andika saat Odah datang menghampirinya.
"Jam sebelas malam, Tuan."
"Hah? Aku tidur selama itu?" tanya Andika kembali. Ia tidak percaya bisa tidur dengan nyenyak di sofa hanya karena ada Ve di sana.
"Benar, Tuan. Jam delapan malam, saya sudah meminta nona untuk membangunkan Anda. Tapi, nona bilang tidak perlu."
"Dasar gadis bodoh! Kakinya pasti sudah kram sejak tadi, malah memilih untuk tidak membangunkanku," gerutu Andika yang merasa bersalah atas apa yang dialami Ve. "Siapkan makan malam, Bi. Saya akan membangunkan Ve dan mengajaknya makan malam. Setelah menyiapkan makan malam, Bibi boleh beristirahat. Cucian piringnya, besok saja baru dikerjakan."
"Baik, Tuan."
Odah pergi ke dapur. Ia menghangatkan makanan yang sudah dingin. Setelah makanan itu dihangatkan, ia menatanya di atas meja, lalu pergi ke kamar setelah pekerjaannya selesai.
Andika pergi ke kamar untuk mencuci muka, lalu membangunkan Ve. Ada satu hal yang membuat laki-laki itu kebingungan. Bagaimana caranya membangunkan gadis itu?
Ve selalu tidur tepat waktu dan bangun tepat waktu. Sebelum alarm di ponselnya berbunyi, ia tidak akan bisa dibangunkan. Andika sudah membangunkan dengan suara pelan, sampai kencang. Namun, gadis itu hanya menggeliat dan kembali tertidur.
"Hei, kamu sedang tidur di rumah seorang laki-laki. Kau tidak takut kalau terjadi apa-apa padamu?" tanya Andika yang sudah kebingungan membangunkan Ve.
"Berisik …. Aku mau tidur," gumamnya setengah mengigau. Matanya tetap terpejam rapat, meski bibir berbicara.
"Benar-benar gadis bar-bar. Tidurmu saja aneh sekali. Karena tidak mau bangun … apa boleh buat," kata Andika sambil membungkuk.
Ia mengangkat tubuh Ve dan memindahkannya ke kamar. Bukan ke kamar tamu, melainkan ke kamar pribadinya. Andika membaringkan gadis itu di atas tempat tidurnya, lalu ia berbaring di sampingnya.
Malam ini, Andika tidak perlu minum obat tidur ataupun minuman yang bisa membantunya agar lebih cepat tertidur. Kehadiran Ve seperti obat yang membiusnya, sehingga ia bisa terlelap dengan mudah. Mereka tidur berpelukan di atas tempat tidur, sampai pagi menjemput mereka dari alam mimpi.
***
"Kyaa! …."
Ve berteriak kencang saat bangun dari tidurnya. Ia tidur sambil memeluk Andika semalaman. Gadis itu menuduh Andika mengambil kesempatan dalam kesempitan.
"Hoam …. Selamat pagi," ucap Andika santai.
Bug!
Sebuah bantal melayang dan mendarat tepat di wajah laki-laki itu. Ve menunjuk Andika dan memarahinya. Gadis itu bahkan sampai menangis.
"Kamu jahat! Apa yang kamu lakukan padaku saat aku tidur? Kamu tega mengambil kesempatan dariku. Aku benci kamu!" teriak Ve sambil menangis terisak.
Grep!
Andika menarik tangan Ve, sampai gadis itu terduduk di tepi ranjang. Laki-laki itu segera memeluknya dari belakang. Ve memberontak, tapi laki-laki itu memeluknya sangat erat.
"Masih pagi, jangan marah-marah. Itu akan mempengaruhi mood-mu seharian."
Andika bicara tepat di dekat telinga Ve, membuat wajah gadis itu bersemu merah saat merasakan embusan napas laki-laki itu.
"Lepaskan aku!"
"Tidak mau. Kalau aku lepaskan, kamu akan marah-marah atau mungkin langsung pergi tanpa mendengar penjelasanku terlebih dulu."
"Apa yang mau kamu jelaskan? Aku tidak mau mendengarmu bicara apa-apa," kata Ve sambil mencoba melepaskan pelukan Andika.
"Kamu harus mendengarnya! Aku tidak mau dihakimi secara sepihak seperti ini. Semalam, aku membangunkanmu, tapi kamu tidak mau bangun. Aku sudah mengganti bajuku dan ingin mengantarkan kamu pulang. Mana kutahu, kalau seorang Ve si gadis bar-bar ini sulit sekali dibangunkan.
"Aku membaringkan kamu di sini, karena takut punggungmu sakit kalau tidur sambil duduk. Siapa sangka, dalam keadaan tidur pulas, kamu malah menarikku dan memelukku. Masih bicara kalau aku adalah bantal guling paling nyaman."
Andika mengarang cerita karena gadis itu terus menuduhnya mengambil kesempatan. Kalau dipikir-pikir, tuduhan Ve memang benar adanya. Andika mengambil kesempatan untuk memeluknya saat gadis itu tertidur pulas. Ia menjadikan Ve sebagai obat tidur alami.
"Hah?! Aku …."
Ve menunjuk wajahnya sendiri. Ia tak sanggup membayangkan apa yang terjadi semalam. Gadis itu sadar, ia memang tidak bisa bangun sebelum alarm ponselnya berbunyi. Namun, ia tidak menyangka, ia sudah menganggap laki-laki itu sebagai bantal guling.
"A … aku …."
Ve bicara tergagap. Ingin meminta maaf, tapi merasa malu. Akhirnya hanya bisa menundukkan wajah.
"Aku sakit hati. Kamu yang mengambil kesempatan dariku, tapi aku yang mendapat hukuman. Bantal itu … berat sekali," ucapnya berpura-pura.
Andika mengusap wajahnya, seolah ia baru saja dipukul. Padahal, bantal itu sangat ringan, tidak mungkin terasa sakit saat tertimpa. Laki-laki itu ingin membuat Ve semakin merasa bersalah dengan kata-kata itu.
"Sa … sakit, ya?" tanya Ve sambil menyentuh wajah Andika.
"Hem …. Tapi, sakitnya hilang karena dibelai kamu," goda Andika.
"Kamu! Uhm …."
Andika menarik dagu gadis itu ke samping dan mengecupnya dengan lembut. Ve membelalakan matanya. Serangan Andika yang tiba-tiba membuatnya sangat terkejut. Jantung seolah hendak melompat keluar saking kencangnya berdetak.
"Tutup matamu, Sayang," bisik Andika menjeda kecupannya. Lalu, kembali mengecup Ve lebih dalam. Gadis itu memejamkan mata, seperti terhipnotis oleh kata-kata lembut Andika.
Lidah Andika merangsek masuk ke dalam rongga mulut gadis itu. Menjelajah bebas di sela tautan bibir yang memabukkan. Keduanya tenggelam dalam permainan yang indah di pagi yang cerah.
*BERSAMBUNG*