Andika mengantarkan Ve ke panti untuk mengganti baju. Laki-laki itu sudah menyiapkan baju untuknya di rumah, tapi Ve tidak mau memakainya. Hubungan mereka baru saja dimulai, membuat gadis itu merasa tidak nyaman untuk menerima pemberian dari kekasihnya.
"Masuk, yuk!"
Ve mengajak Andika untuk masuk ke rumah. Laki-laki itu menolak. Namun, Ve memaksa.
"Aku tunggu di mobil saja," kata Andika menolak ajakan kekasihnya.
"Kamu … takut bertemu orang tuaku?" tanya Ve dengan tatapan menyelidik.
"Bukan begitu …. Hanya …."
"Hanya takut kalau kamu mempermainkanku, ada orang yang tahu. Begitu … kan?"
Ve tampak murung. Ia hanya ingin memperkenalkan kekasihnya kepada Nurlena. Apakah itu permintaan yang berat?
"Kamu terlalu berpikir keras. Aku akan masuk kalau kamu memang memaksa. Jangan cemberut. Lihat! Wajah manismu jadi asem," kelakar Dika.
Plak!
Ve memukul tangan laki-laki itu dengan manja. Andika tertegun melihat tingkah gadis itu. Tidak disangka kalau gadis tomboy itu juga bisa bersikap manja seperti gadis lain pada umumnya.
Di balik jendela kamar, Astari melihat mereka dengan air mata yang mengalir deras. Kesal bercampur cemburu. Ia merutuk, merasa kehidupan tidak adil baginya.
Astari tidak hanya kehilangan kedua kakinya, tapi juga kesempatan untuk mendekati Andika. Cinta yang selama ini terpendam itu seolah dirobek paksa. Namun, ia tidak ingin menyerah begitu saja demi Ve, gadis yang hanya merupakan adik angkat.
Andika menyapa Nurlena dan yang lain. Sebagian sudah pergi ke sekolah. Di rumah tersisa Astari, Nurlena, dan dua orang anak perempuan yang sedang bersiap pergi.
"Dika! Kamu mengajak Ve kemana? Kamu … tidak berbuat macam-macam pada~"
"Apa Dika seburuk itu di mata Ibu?" tanya Dika dengan senyuman tipis.
Ve masuk ke kamar saat mereka sedang berbincang. Ia mengganti baju dan merias wajahnya. Saat ia selesai dan hendak pergi dari kamar, Astari menghadang di depan pintu.
"Kak Tari. Kakak ingin bicara dengan Ve? Tapi, Ve harus pergi ke kantor sekarang. Kita bicara nanti sore," kata Ve sambil merapikan anak rambutnya yang menggelitik mata.
"Kamu bilang tidak menyukai Andika. Kenapa kamu merebutnya dariku?" tanya Astari dengan suara ditekan, mengintimidasi perasaan Ve.
"Merebut …. Maksud, Kaka …."
"Ya. Aku menyukai Andika sejak lama. Jauh lebih lama dari pertemuanmu dengannya. Dia dan aku tumbuh bersama selama belasan tahun. Selama waktu itu, aku terus memandangnya.
"Hanya dia yang ada di dalam hatiku. Kenapa …. Kenapa justru kamu yang merebut pria yang kucintai?" tanya Astari dengan nada lebih pelan dan dibuat menyedihkan.
Ve terhuyung dan hampir terjengkang. Beruntung, ada kursi di dekat meja rias yang menjadi pegangan. Mulutnya menganga, kedua mata bermanik coklat itu basah, kegelapan terasa menyelimuti wajahnya.
"Kakak … menyukai Andika?" tanya Ve dengan rasa tak percaya.
Akhirnya ia mengerti, mengapa beberapa hari ini kakaknya bersikap aneh. Mengabaikan Ve, berkata kasar kepada Nurlena, dan menjauhi anak-anak panti yang lain.
Kasih sayang yang selalu ditunjukkan oleh Astari, bak buih yang melayang ke udara dan menghilang tanpa jejak. Wajahnya tidak seramah dulu. Sikapnya lebih arogan dan menyebalkan.
"Aku menyayangimu sejak kecil, Ve. Kamu sudah kuanggap seperti adik kandungku. Bisakah aku meminta sesuatu padamu? Tolong jauhi Andika. Jangan mengambil orang yang menjadi penyemangat hidupku satu-satunya," ucap Astari sambil menggenggam telapak tangan gadis itu.
Ia jatuh cinta untuk pertama kalinya, tapi ada seseorang yang terluka dibalik kebahagiaan gadis itu. Apa yang harus dilakukannya? Mengapa ia harus mengalami kisah cinta yang penuh dilema?
"Ve harus pergi …."
Gadis itu menepis tangan Astari dan berlari menuju ruang tamu. Andika segera berdiri saat Ve keluar dari kamar. Mereka berpamitan kepada Nurlena dan Astari.
Di sepanjang jalan yang mereka lewati, Ve seolah tidak melihat apa-apa selain kegelapan. Para pedagang, kendaraan yang berlalu-lalang, semua tidak tampak di mata Ve. Ia hanya membayangkan wajah kakaknya yang menangis dan memohon untuk melepaskan Andika. Bagaimana bisa?
"Kenapa begini?"
Gadis itu bergumam pelan. Helaan napasnya terdengar berat. Seperti ada sesuatu yang menghalangi tenggorokannya, sehingga oksigen tidak mampu masuk dengan leluasa.
"Apa yang kamu katakan, Ve?"
"Hah? Tidak ada," jawabnya sambil memalingkan wajahnya dari laki-laki itu. Ia tidak ingin masalahnya diketahui oleh sang kekasih. Meskipun hal itu berhubungan dengan laki-laki itu, tapi Ve tidak bisa memberitahu apa yang sedang ada di pikirannya saat ini.
***
"Kemana Ve? Sejak pagi, semua dokumen selalu diantarkan olehmu," kata Andika yang sejak pagi tidak melihat gadis itu di ruangannya.
"Nona Ve sedang sangat sibuk, Presdir. Em … itu yang dia katakan kepada saya."
Jay menjawab dengan ragu. Ve seperti sedang menghindari Andika dan Jay melihat dari gerak-gerik gadis itu. Kemarin, Andika dan Ve terlihat baik-baik saja. Membuat Jay bingung dengan apa yang terjadi di antara mereka.
"Sesibuk apa pun, dia harus melakukan tugasnya. Dia adalah sekretaris saya. Kenapa semua pekerjaan tidak ada yang dilaporkan sendiri, tapi selalu dititipkan padamu?" tanya Andika dengan nada kesal.
'Apa yang terjadi dengan Ve? Sejak keluar dari kamar di panti tadi pagi, dia terus bersikap aneh. Aku merasa, dia seperti sedang menjauhiku. Tapi, apa salahku?'
Andika memerintahkan Jay untuk mencari dan memanggil gadis itu ke ruangannya. Kebetulan, semua staf kantor sudah pulang. Mereka bisa bertemu tanpa takut digosipkan oleh karyawan lain.
Jay mencari gadis itu di ruangan sekretaris. Namun, semua ruangan sudah kosong. Laki-laki itu pernah melihat Ve pergi mengganti baju di kamar mandi. Selain Andika, rupanya Jay juga tahu kebiasaan Ve.
Klik!
"Nona Ve!"
"Astaga! Pak Jay! Anda membuat saya hampir jantungan," ketus Ve yang terlonjak kaget saat laki-laki itu tiba-tiba memanggil dari arah belakang.
Jay memberitahukan perintah dari Andika. Ve tampak enggan untuk menemui kekasihnya. Bagaimanapun juga, Astari adalah orang yang berarti di hati gadis itu.
Ia takut untuk melanjutkan hubungan kasih dengan Andika. Takut menyakiti hati kakaknya yang sudah memberinya kasih sayang sebagai saudara. Astari tidak merasa iri dengan perlakuan ibunya kepada Ve. Namun, ia juga tidak sanggup mengakhiri hubungan kasihnya dengan laki-laki itu.
"Ada apa dia mencari saya, Pak?"
Ve mencoba mengulur waktu. Ia harap, laki-laki itu berubah pikiran dan mengurungkan niatnya membawa Ve kepada Andika. Sayangnya, Jay selalu menjalankan tugasnya dengan baik. Ia menjawab sambil mendorong pelan gadis itu agar berjalan ke arah ruangan direktur.
"Anda tanyakan sendiri saat bertemu dengan presdir, Nona Ve."
Ve menarik napas dalam-dalam. Ia harus memikirkan alasan yang tepat agar tidak melukai hati Andika. Ia bekerja di sana sebagai sekretaris Andika. Cepat atau lambat, mereka tetap harus bertemu karena pekerjaan.
*BERSAMBUNG*