Chereads / Billionaire Looking for Wife / Chapter 12 - Kebencian tumbuh semakin besar

Chapter 12 - Kebencian tumbuh semakin besar

Ve menatap jalanan yang mereka lewati. Jalan itu bukan jalan menuju panti. Namun, Ve tidak bertanya, dan mengikuti kemana laki-laki itu membawanya.

Sampai akhirnya mobil itu memasuki sebuah gerbang rumah yang sangat besar. Luas tanah dan halamannya pun lebih besar dari panti. Ve tidak bisa menahan rasa ingin tahu.

"Ini … rumah siapa?" Ve bertanya sambil mengedarkan pandangannya.

"Rumahku," jawab Andika sambil membuka pintu mobil untuk Ve. 

Ve turun dari mobil dengan pandangannya yang dipenuhi rasa takjub. Rumah itu seperti istana kecil yang sangat indah. Mulutnya terus berdecak kagum dengan indahnya taman di depan rumah.

"Rumahmu indah sekali."

"Terima kasih. Ayo masuk," ucap Andika setelah mengambil kunci mobil dan menutup pintu.

Odah mendengar suara dari sang majikan. Ia berlari dari dapur dan membuka pintu untuk Andika. Wanita paruh baya itu tersenyum melihat laki-laki itu membawa seorang gadis pulang ke rumah.

"Dia, Ve. Ve, ini Bi Odah. Dia ini ibu angkatku," ucap Andika memperkenalkan mereka berdua. 

"Halo, Bi. Saya Ve," ucap Ve dengan sopan.

"Cantik sekali," kata Odah sambil menyentuh pipi gadis itu.

"Terima kasih."

Ve menjawab dengan wajah tersipu. Dengan wajah tanpa riasan, ia memang masih terlihat cantik. Mereka masuk ke rumah dan duduk di ruang tamu, sedangkan Odah sudah pergi ke dapur untuk membuatkan minuman.

Andika meninggalkan Ve untuk mengganti baju. Setelan jas itu tidak nyaman dipakai di dalam rumah. Ia lebih suka memakai t-shirt dan celana panjang yang sedikit longgar.

"Sila diminum, Nona," ucap Odah sambil menaruh dua gelas jus jeruk yang terlihat sangat segar.

"Terima kasih, Bi."

"Sama-sama. Kalau begitu, saya pamit ke belakang," pamit Odah sambil membawa baki.

Ve bangun dan berdiri di dekat meja televisi. Ia memperhatikan foto berukuran besar yang tergantung di dinding. Ada wajah Andika di salah satu foto besar itu.

Andika berdiri di samping seorang kakek yang rambutnya sudah memutih semua. Usianya diperkirakan sekitar tujuh puluhan tahun. Di dalam foto itu hanya mereka berdua.

"Dia kakek yang memiliki andil besar dalam bisnisku."

Ve menoleh saat laki-laki itu turun dari kamarnya. Matanya bersinar menatap Andika dalam balutan busana casual. Ia tetap terlihat tampan meski hanya memakai baju seperti itu.

"Ehm … sudah selesai mengganti baju? Cepat sekali," kata Ve membuyarkan kecanggungan.

"Sebenarnya, aku ingin tidur. Tapi …."

Andika menggantung kata-katanya, membuat Ve penasaran. Sampai dua menit berlalu, mereka hanya saling memandang. Gadis itu menaikkan alisnya, menatap ke arah Andika yang tidak juga melanjutkan ucapannya.

"Tapi … apa?"

"Tapi, aku takut kamu pergi saat aku tidur. Jadi, aku ingin tidur di sampingmu," jawab Andika. Ia menepuk sofa setelah ia duduk. "Sini!"

Ve menghampiri kekasihnya. Duduk di samping laki-laki itu dan kembali bertanya. "Ada apa?"

Andika segera berbaring dan merebahkan kepalanya di atas pangkuan gadis itu. Ia memejamkan matanya, mencoba untuk tidur meski hanya beberapa menit. Andika mengalami gangguan tidur, tapi saat di samping Ve, ia merasakan kenyamanan yang membuatnya ingin tidur.

"Izinkan aku tidur di pangkuanmu, sebentar saja," ucapnya sambil membuka mata sebentar, lalu terpejam kembali.

Di sudut ruang makan, Odah melihat mereka berdua diam-diam. Andika selalu meminta minuman yang bisa membantunya agar lebih cepat tertidur saat malam hari. Namun, di sisi Ve, laki-laki dapat tertidur dengan mudah. 

'Akhirnya dia menemukan jodohnya. Aku sangat bahagia melihatnya. Meskipun dia bukanlah anakku, tapi dia selalu menganggapku sebagai ibunya. Rasa sayangku pun menjadi tumbuh seperti seorang ibu. Seorang ibu, selalu ingin melihat senyum di wajah putranya, begitupun aku.'

Andika tertidur cukup lama, membuat kaki Ve kram. Seperti ada jutaan semut yang menggigit dan merayap di kakinya. Ia tidak tega membangunkan laki-laki itu karena dia terlihat sangat nyenyak.

"Sepertinya … kamu benar-benar kelelahan. Tapi, meskipun sedang lelah, kamu masih terlihat tampan," gumamnya sambil menelusuri wajah Andika menggunakan jari telunjuk.

Kekasihnya itu terusik dengan sentuhan lembut itu, tapi tidak terbangun. Ia hanya mengubah posisi tidurnya menjadi menyamping. Ve tiba-tiba ingin menyentuh telinga Andika. Belum sempat menyentuh telinga laki-laki itu, suara Odah menggagalkan niatnya.

"Saya mohon, Nona Ve. Jangan ganggu tidurnya. Dia mengalami insomnia dan sulit sekali tertidur," ucap Odah pelan. Ia berdiri di samping sofa panjang.

Ve hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Tidak disangka, laki-laki itu memiliki sisi yang tidak diketahui olehnya. Gadis itu semakin merasa simpati dengan kehidupan Andika.

***

"Ve masih belum pulang, Ma?" tanya Astari.

"Belum. Ayo makan, Sayang," ucap Nurlena. 

"Tari sudah makan." 

Astari menjawab dengan dingin. Ia masuk kembali ke kamar, lalu menguncinya. Gadis itu yakin, Ve sedang bersama Andika.

Ia mencari nomor ponsel Andika dan menghubungi laki-laki itu. Panggilan tersambung. Ia tidak tahu, kalau Ve yang akan menjawab panggilan darinya.

"Halo, Dika."

"Halo, Kak Tari. Dika sedang tidur dan tidak bisa diganggu. Ada perlu apa, Kak? Nanti, Ve sampaikan kalau Dika bangun."

"Oh, Ve. Kalian sedang ada dimana? Kenapa sudah malam masih belum pulang?"

"Ve di rumah Dika, Kak. Saat Dika bangun, Ve akan segera pulang."

"Hem."

Astari mengakhiri panggilan dengan hati bergejolak. Ia dan ibunya saja belum pernah dibawa ke rumah laki-laki itu. Mengapa Ve begitu beruntung bisa dibawa pulang ke rumah Andika? Batin Astari semakin membenci Ve.

Ia dan Nurlena bahkan hanya menghadiri pesta pembukaan mall. Sampai detk ini, Astari tidak tahu menahu dengan alamat rumah Andika. Pendiri panti asuhan pernah diundang ke pesta untuk merayakan pembukaan bisnis baru milik laki-laki itu.

"Mereka semakin akrab saja. Aku tidak rela. Tempat itu milkku!"

Prang!

Sebuah vas kecil di atas meja itu dilempar ke lantai oleh Astari. Kemarahan gadis itu terdengar oleh Nurlena yang datang untuk membujuknya. Namun, ia justru mendengar gadis itu sedang marah-marah seorang diri di kamarnya.

Hati ibu yang mana yang tega mendengar suara tangisan putra/putrinya? Nurlena pergi dari depan kamar dan duduk di teras rumahnya. Lebih baik berpura-pura tidak ahu perasaan Astari saat ini.

*BERSAMBUNG*