Chereads / Dear Adam (Indonesia) / Chapter 30 - Titik Terang

Chapter 30 - Titik Terang

"Sudah sekian lama ku menanti, kini aku bisa menemuimu, ayah."

-Rumi-

*

Sebulan kemudian Rumi akhirnya menemukan kabar tentang keberadaan orang tua kandungnya. Namun dia hanya mendapatkan kabar tentang ayahnya yang kini juga tinggal di sebuah pemukiman kumuh, kota Seoul

Sebuah foto jadul ayahnya telah ia simpan dan foto ibunya yang sudah lusuh. Ia pun mendapatkan informasi dari Rain teman akrab ayahnya sewaktu di Seoul.

Kabarnya ayahnya telah dibebaskan dari kurungan penjara sekitar tiga bulan lalu, sedangkan ibunya telah mengakhiri hidup dengan overdosis obat-obatan penenang.

Rain memberikan tempat pemakaman ibunya di sebuah kota terpencil di korea selatan, lebih tepatnya masih samar-samar.

Dibalik kabar itu, terselip sebuah duka, karena bertahun-tahun ia ingin merasakan kehangatan keluarganya.

Rain memberikan alamat sebuah kontrakan ayah kandungnya cukup kumuh di Seoul. Ia memberi tahu kan kalau kondisi ayahnya mengalami keprihatinan.

Rain menceritakan asal usul, kenapa Rumi harus dititipkan ke panti asuhan. Tapi, Rumi bukan tipe anak yang akan membenci orang tuanya.

Setelah itu, Rumi meninggalkan Paman Rain. Ia berencana besok menemui ayahnya. Ia tidak ingin sebuah kesempatan baik itu di sia-sia.

*

Keesokan harinya Rumi menuju ke alamat kontrakan yang diberikan oleh paman Rein. Ia bertanya kepada penduduk setempat dimana kontrakan itu.

Seorang ibu-ibu yang sedang menjemur pakaian menunjukkan alamat itu. Lalu, ia segera menuju ke lokasi tersebut.

Dalam waktu tiga puluh menit Rumi telah sampai di depan kontrakan wilayahnya cukup kumuh. Di sana seperti banyak rongsokan sampah-sampah.

"Apa benar ayahku tinggal di lingkungan sekumuh ini?" gumam Rumi, lalu perlahan mengetuk pintu kontrakan itu.

"Assalamualaikum," ucap Rumi berulang kali, setelah mengetuk pintu kontrakan.

Sebuah pintu terbuka, lalu memperlihatkan seorang pria paruh baya dengan muka kusut dan baju lusuh.

"Walaikumsalam," balasnya, lalu menatap Rumi dengan penuh curiga. "Siapa kamu?"

"Saya Rumi," jawab Rumi.

"Ada perlu apa kamu ke sini?" selidiknya.

Rumi berusaha tidak gugup,"Saya mencari bapak Muhammad Adnan Pradana, apa dia tinggal di sini?"

Pria paruh baya itu langsung menutup rapat-rapat pintu kontrakannya. Lalu, Rumi pun tetap keukeh untuk mengetuk pintunya.

"Apa itu ayah?!" teriak Rumi,"Ayah buka pintunya, ini Rumi putramu!"

Pria paruh baya itu membuka pintunya,"Saya ingatkan sama kamu, kalau di sini tidak ada yang namanya Muhammad Adnan Pradana!"

"Bohong! anda pasti bohong!" bantah Rumi. "Saya tahu kalau anda adalah Muhammad Adnan Pradana yang merupakan ayah saya."

"Kamu sok tahu, nak. Saya tidak mempunyai anak apalagi istri," seringainya. "Kamu terlalu halu, nak."

"Kalau begitu apakah anda mengenal wanita ini?" Rumi menunjukkan foto jadul seorang wanita yang merupakan ibunya.

Pria itu membuang mukanya, dan bersikap sedikit ketus,"Sebaiknya kamu pergi dari rumah saya," pria itu mencoba untuk mengusir Rumi.

"Baiklah, aku akan tetap di sini menunggu penjelasan anda, karena saya tahu anda tidak jujur,"ucap Rumi.

"Silahkan saja kamu menunggu, karena kamu tidak akan mendapatkan informasi apapun," seringai pria itu.

"Anda pasti mengenal wanita bernama Rania Medina yang pernah anda sekap beberapa tahun lalu, dan anda juga pelaku yang merubah wajah wanita itu?" cetus Rumi.

Pria itu mengepalkan tangannya, "Sialan, kamu!" geramnya.

"Sudah ku duga kalau anda memang ayah saya, anda menelantarkan saya di sebuah panti asuhan di Magelang, lalu ibu saya depresi, karena sikap anda yang keterlaluan," ungkap Rumi.

Pria itu membalikkan badannya, tatapannya melotot ke arahnya. Matanya memerah bak hulk yang akan marah.

"Ya kau benar kalau aku Muhammad Adnan Pradana, tapi asal kamu tahu kalau ibumu menjebakku sehingga menghancurkan hubunganku dengan wanita yang ku cintai! ibu pelacur!" teriak Adnan.

Tubuh Rumi langsung meringsut, umpatan "Pelacur!" terngiang di telinganya, seakan dia merasakan, kalau dia itu seorang anak yang tak dirindukan orang tuanya.

Rumi mencoba kuat, ia harus tegar dengan kenyataan yang ada. Dia tidak akan putus asa untuk bisa bersama Adnan.

"Ayah, apa kau segitu bencinya terhadap ibuku?" ujar Rumi, ia menahan rasa sakit hingga ke uluh hati. Kenyataan terlalu pahit untuk datang dalam hidupnya. "Jika anda membenci ibuku, apa salah aku terlahir di dunia ini sebagai putramu?"

Adnan menyerigai,"Sudah ku jelaskan kepadamu, kalau aku tidak pernah mendonorkan spermaku untuk Dania."

Dania Fernanda seorang perempuan bekas kekasih gelapnya di masa lalunya, ia juga tidak menyangkan kalau perempuan itu lupa memakai pengaman saat berhubungan intim dengannya.

Adnan mengelak tanggung jawabnya telah menghamili perempuan itu sehingga mengharuskan pernikahan. Ia masih mencintai Rania Medina, perempuan yang merupakan dunianya, tapi kebodohannya membuatnya kehilangan cintanya.

Ketika itu, kehidupan Adnan begitu gelap. Ia juga pernah menghamili asisten rumah tangganya hingga mempunyai seorang anak perempuan namun kondisinya lumpuh total. Sikap Adnan menjadi menakutkan, bahkan sering melakukan kegiatan One Stand Night bersama perempuan di club malam.

Adnan menceraikan Dania setelah bayi itu lahir, lalu membawa bayi itu ke sebuah panti asuhan di Magelang tanpa sepengetahuan Dania. Perempuan itu depresi, lalu mengakhiri hidupnya dengan narkotika hingga overdosis.

Setelah itu, Adnan membawa asistennya bernama Naina dan putri haramnya di sebuah villa kecil. Ia akan menyembunyikan mereka yang merupakan aib besarnya, karena Naina mengetahui semua rahasia besarnya.

Adnan bertemu kembali dengan Rania Medina, perempuan yang ia cintai, namun sayangnya rasa cinta itu berubah menjadi obsesi. Lalu, ia menculik dan mengubah wajah perempuan itu, agar keluarganya tidak curigai. Bahkan, merusak ingatan perempuan itu.

Rumi merasakan ayahnya sangat kejam bila mendengar cerita itu, tapi Adnan berjanji untuk memulai hidup kembali. Ia akan melupakan obsesi dan cintanya.

"Ayah?"

Adnan memeluk putranya yang belum sempat ia peluk. Ia merasakan kalau harus berubah dan memulai lembaran baru.

"Aku yakin kalau ayah adalah orang baik," lirih Rumi,"Aku sangat berterima kasih, kalau Allah bisa mengabulkan doaku bisa menemui ayah."

Adnan merasa air matanya tak terbendung, ia merasa kalau dia adalah ayah durhaka, serta pria brengsek.

"Yah, kita sebaiknya tinggal bersama, karena aku yakin ayah pasti kesepian,"ujar Rumi.

"Baiklah, kamu boleh tinggal bersamaku. Tapi, apa kamu tidak membenci ayahmu ini yang bajingan?"

"Mana mungkin seorang anak membenci ayahnya, karena Rumi tahu, kalau setiap manusia berhak memilih dosanya masing-masing," ucap Rumi.

Adnan melepaskan pelukannya ke putranya yang sudah lama ia tinggalkan sengaja di panti asuhan, tapi ia begitu bangga dan bahagia memiliki putra berhati berlian murni. Meskipun, memiliki ayah yang bajingan seperti dia.

Adnan mempersilahkan masuk Rumi ke dalam kontrakannya yang berantakan, tapi Rumi tidak pernah mengeluh dengan kondisi tempat tinggalnya.

"Ya Allah inilah nikmat yang kau berikan, aku bahagia masih punya ayah kandung," batin Rumi. "Sudah sekian lama ku menanti, kini ku bisa menemuimu, ayah."

Adnan masih dalam kondisi buronan karena dituduh telah menculik Rania. Dia menjadi salah satu target dari pihak kepolisian.

*

Khadijah merasa demam, ia tidak akan ke kampus hari ini untuk bimbingan dengan Rumi. Dia harus beristirahat penuh di rumah karena demamnya cukup tinggi. Bahkan Dia terlihat sangat lemas sekali.

"Ibu," Khadijah mengigo memanggil ibunya, tubuhnya terasa mengigil.

Hasan melewati pintu kamar saudara kembarnya, ia langsung membuka dan mengecek keadaan saudaranya.

Hasan melihat wajah Khadijah pucat pasi bak mayat hidup. Ia menempelkan punggung telapak tangannya ke kening Khadijah.

Suhu tubuh Khadijah bak panasnya air mendidih, lalu ia mengambil termometer.

Hasan keluar dari kamar Khadijah, lalu menuju kamar Haqi dan Rania yang merupakan orang tuanya. Lalu, ia mengetuk pintu kamar mereka.

Sebuah pintu kamar terbuka, Haqi muncul di hadapannya.

"Ada apa, nak?" tanya Haqi.

"Ayah, punya termometer?"

"Buat apa, Hasan?"

"Khadijah sedang demam," jawab Hasan.

"Baiklah, ayah akan mengecek kondisi saudaramu," ucap Haqi, lalu masuk kembali membawa perlengkapannya.

Kemudian Haqi mencoba untuk mengecek kondisi dari Khadijah yang sedang demam tinggi.

Khadijah mengigo memanggil ibunya, saat Haqi periksa kondisi suhu putrinya memiliki demam cukup tinggi 39 derajat celcius.

Haqi menyuntikkan cairan, agar menurunkan demam Khadijah, lalu meminta Hasan untuk menjaga dan mengompres dengan air dingin, agar demamnya bisa reda.

"Ayah, mau ke mana?" tanya Hasan.

"Ayah mau membelikan obat untuk Khadijah di apotik, karena persediaan obat ayah sudah habis," jawab Haqi.

"Biar aku saja yang membelikan obat untuk putriku," cetus Ayass yang tiba-tiba muncul di balik pintu.

"Baiklah, Yas," sahut Haqi.

"Karena aku tahu, kalau istrimu membutuhkanmu," ujar Ayass.

"Thank's yaa," balas Haqi, lalu beranjak dan membereskan beberapa alat medisnya, sedangkan Hasan pergi sebentar ke belakang untuk ambil baskom dan handuk kecil.

*

Mawar sudah kembali ke Jakarta bersama dengan Farhan, serta Mas Rendra. Ia teringat akan Rumi yang terlihat benar-benar menjauhinya.

Flash back on

Pesawat akan segera take off, namun ia tidak melihat Rumi sama sekali. Ia sudah lepas harapan.

"Kamu tidak datang, Rumi," gumam Mawar dalam hela napas kasar.

Farhan sudah dalam gendongan Rendra. Terlihat bocah kecil itu anteng, bahkan tertidur dalam gendongan Rendra.

"Mawar, ini sudah mau take off  pesawatnya," ucap Rendra sambil menunjukkan jam di tangannya.

Mawar merasakan sesak di dada, karena seseorang yang di harapkan tak kunjung datang. Meskipun dia hanya sekedar mengantarnya ke bandara Icheon.

"Mawar."

"Baiklah, Rendra,"ucap Mawar sambil membawa koper pribadinya sedangkan yang lain sudah dibawakan asistennya.

"Rendra, Biar aku saja yang mengendong Farhan,"pinta Mawar.

"Tidak usah, Mawar. Kasihan nanti putramu malah kebangun," tolak Rendra.

"Makasih loch, Rendra. Udah mau direpotin,"ucap Mawar.

Rendra tersenyum,"Anggap saja aku sedang latihan, menjadi seorang bapak," balas Rendra dengan tersenyum.

"Rendra, maaf aku nggak bisa menerimanya. Karena...."

"Karena kamu takut dengan ancaman Adrian?" potong Rendra.

"Buu..."

"Aku tahu kamu masih bimbang menerimaku, War. Karena aku sadar cintamu masih milik Adrian," potong Rendra menatap Mawar.

Mawar hanya diam tanpa kata seraya berjalan menuju ke ruang pemeriksaan kelengkapan mulai dari paspor hingga tiket. Lalu, ia masuk ke dalam pesawat bersama Rendra dan putranya.

Sepanjang perjalanan mereka hanya diam tanpa membahas kembali tentang hubungan mereka.

Flashback Off.

"Mawar? Kamu kenapa lagi?!"

Mawar hanya diam saja.

"Hilih, kamu ngelamunin Rendra? terus apa kamu terima lamarannya?" Selidik Bella sambil mengangkat sebelah alisnya. " Seriusan kamu menolak dia?"

Mawar mengangguk mengiyakan kalau diam dan benar menolak sosok Rendra. Dia masih belum bisa untuk membuka hatinya kembali agar orang lain bisa menjadi bagian dalam kehidupannya. Dia masih merasakan sebuah luka yang mendalam.

"Sumpah, ini kesempatan kamu buat move on dari si brengsek!"

"Aku nggak tahu, Bel," kata Mawar sambil menggelengkan kepalanya.

"Ingat, Mawar. Kalau anak kamu butuh figur bapak, kamu nggak boleh egois sama perasaan kamu. Emang Rendra kurang apa?" Bella menatap Mawar sambil menjeda ucapannya sejenak untuk menunggu jawaban dari Mawar. "Kalau Rendra baik, kenapa kamu sekarang ninggalin dia cuman buat mantan pacar kamu itu?" Lanjutnya.

"Dan kenapa kamu sendiri juga meninggalkan Azka demi seorang Samuel?" Tanya balik Mawar.

" Alasannya karena aku lebih cinta dengan dia. Simple, kan?" Jawab Bella. " Lagian aku tidak ingin terjebak dengan sebuah hubungan tanpa adanya sebuah cinta. Dia benar bisa memberi aku segalanya tapi aku tidak pernah mencintainya sama sekali. Menjalani hubungan itu harus ada sebuah rasa seperti halnya ketika kita memasak  harus ada garam dan gula sehingga tidak ada perasaan hambar sama sekali," lanjut dari Bella sambil menatap wajah sahabatnya.

"Tunggu, Bukannya kamu bilang cuma memanfaatkan dia saja, Bella?" selidik dari Mawar menatap Bella."Kamu pernah bilang kalau hubungan kamu dengan dia hanya sebatas senang-senang saja tidak lebih dari itu?"

" Awalnya sih begitu tapi lama-lama ada sebuah percikkan rasa cinta antara aku dan dia. Karena kata orang yang nyaman akan mengalahkan rasa cinta sesungguhnya." Bella tersenyum menatap Mawar." Mau bagaimana lagi, Ketika hati harus berbicara begitu? "

"Gila. Kamu sungguhan mencintai dia. Tapi itu baik daripada kamu memanfaatkan seseorang demi kepentingan dan keegoisanmu sendiri!" Mawar merasa sangat senang jika sahabatnya bisa menemukan cinta sejatinya. Tidak seperti dia yang hanya terjebak antara cinta dan nafsu saja.

Bella meringis sambil menunjukkan cicin mas putih yang sederhana, tanpa ada ukiran atau hiasan berlian yang pernah ia pakai sewaktu bersama Rendra.

"Whatt!!" Mawar terkejut melihat cincin yang melingkar di jari manisnya sebelah kiri.

"Aku udah dilamar sama Samuel, terus aku bakalan nikah minggu depan," ucap Bella.

"Serius?! kok nggak kasih tahu? jahat banget sih kamu! Aku sahabat kamu loch, Bella!" omel Mawar yang nyerocos kayak kereta tiada henti hingga membuat Bella menutup kedua telinganya.

"Ya, mangkannya kamu terlalu sibuk sama si brengsek, terus kamu nggak pernah ada waktu buat dengerin curhatan aku," ucap Bella sambil manyun.

Mawar langsung memeluk Bella,"Selamat ya, Bella. Aku seneng lihat sahabatku bisa menikah sama orang yang dicintai, terus udah tobat buat jadi play girl!"

"Heem, itu cuman khilaf. Mangkannya kamu terima Rendra biar nikah barengan minggu depan," ujar Bella.

Mawar melepaskan pelukannya,"Sialan kamu, Bella. Menikah bukan hal yang sangat mudah tapi semuanya butuh persiapan penuh. Jadi aku tidak ingin terjebak kembali dalam sebuah hubungan."

"Dibilangin kok suka keras kepala kalau  Rendra itu cinta banget sama kamu, apalagi keluarga Rendra itu suka sama anak kamu," kata Bella.

"Aku nggak bisa bersama dengan dia karena kamu tahu kalau Adrian adalah kakaknya," cetus Mawar.

Sejenak suasana tampak hening di antara Bella dan Mawar.

*

Khadijah memaksakan diri untuk bimbingan bersama Rumi, tapi kenyataannya ia tumbang dan pingsan.

Rumi mengendongnya, lalu membawanya ke rumah sakit. Dokter lalu menyatakan, kalau Khadijah terkena tipes, karena kelelahan dan suka telat makan.

Sejam kemudian, keluarga Haqi datang, setelah Rumi hubungin. Terlihat begitu panik dengan keadaan putrinya.

"Om, Khadijah sedang di rawat inap," ucap Rumi.

"Baiklah,"balas Haqi.

Kebetulan Haqi sedang dinas di Rumah Sakit tersebut. Namun, dokter Eul yang menangani Khadijah.

Khadijah masih terbaring lemah di ranjang ruang rawat inap. Lalu, Haqi mengambil ahli dari dokter Eul.

"Om, biar saya yang jaga Khadijah," tawar Rumi.

"Tapi, apa kamu yakin menjaganya, setelah saya selesai shift?"

"Iya, om" balas Rumi.

"Terima kasih. Kamu adalah anak yang baik, pasti orang tuamu kagum denganmu," balas Haqi.

"Tidak apa-apa, om. Saya ikhlas jaga putri, om."

"Terima kasih."

"Sama-sama, om."

*

"Sera, aku kok nggak lihat temenmu?"

"Maksud kamu Khadijah?!"

"Yaelah, nggak usah ngegas gitu kalee!"

"Situ juga ngegas,"seringai Sera sambil berjalan cepet.

"Buru-buru amat, emang kamu beneran jadian sama Suho?"

"Kepo!"

"Idih, bukannya aku kepo, Ser. Tapi, Suho pacarnya berceceran,"kata Fabian.

"Ya, kalau berceceran berarti dia laku berat," ketus Sera.

"Yee, kalau laku berat berarti dia terlalu pasaran!" umpat Fabian.

"Hilih hilih, pasti kalian ngobrolin cowok tampan, mapan dan keren kayak aku ya," kata Suho.

"Hadeh, najis banget. Ngomongin kamu?" Sera mendelik menatap Suho.

"Kepedean banget kamu, bro!"

"Pede sama ayang bebeb sendiri nggak masalah," Suho tiba-tiba merangkul Sera.

"Lepasin Suho!" teriak Sera.

"Okay, sorry aku cabut dulu nggak pengen ganggu pasangan baru,"sindir Fabian, lalu melambaikan tangan ke mereka.

Sera hanya melongo ketika mendengarkan ucapan dari Fabian mengenai hubungan dirinya dengan Suho. Padahal dia tidak memiliki sebuah rasa apapun dengan Suho. Diah yang memiliki perasaan dengan Fabian.

*

Sudah hampir sejam Khadijah belum sadarkan diri, sedangkan Rumi sangat setia menunggunya.

"Khadijah?"

Seorang lelaki sebaya Rumi datang bak model papan atas. Siapa lagi kalau bukan Ridwan? Ya lelaki itu sekarang sangat sulit ditemui, karena jadwalnya padat merayap.

Ridwan begitu cemas dengan keadaan Khadijah yang masih menutup kedua matanya.

"Sudah berapa lama kamu jagain dia? Tapi, kayaknya wajah kamu familiar banget,"ujar Ridwan sambil berusaha mengingat-ingat.

"Dia sudah hampir sejam, dan belum sadarkan diri. Hasil lab menyatakan kalau Khadijah sedang terkena tipes," Rumi berusaha menjelaskan.

"Oh, pasti ini efek skripsi,"dugaan sementara Ridwan.

"Mungkin," sahut Rumi.

"Padahal aku sudah berusaha mengingatkan, kalau dia harus jaga kesehatan, supaya nggak ambruk kayak gini."

"Ya, namanya aja sakit, siapa mau sakit," kata Rumi.

"Assalamulaikum!" terdengar suara melengking bikin telinga sakit hingga ke ubun-ubun.

"Walaikumsalam,"sahut mereka bersamaan.

Suara melengking khas dari Sera sudah bisa ditebak. Suara bak kaleng rombeng.

Sera datang sendirian, setelah mendapat kabar dari Hasan saudara kembar Khadijah.

"Eh, mana ya Hasan?" Sera celingukan.

"Oh, Hasan. Dia sedang ada latihan wushu di wisma atlit. Ya, maklum dia akan bertanding bulan depan," cetus Ridwan.

"Oh,"singkat Sera.

"Assalamualaikum," suara salam dari luar.

"Pucuk dicinta ulam pun tiba,"cetus Sera. "Walaikumsalam, calon imamku,"balas Sera sambil tersipu malu menyambut Hasan.

Hasan melangkahkan kakinya, lalu mendekat ke mereka.

"Gimana kabar saudara kembarku?" tanya Hasan yang terlihat cemas dengan kondisi kembarannya.

"Assalamualaikum," salam Fabian.

"Walaikumsalam," sahut mereka semua.

Fabian terkejut melihat kondisi Khadijah, ia baru kali ini melihat kondisi terburuk Khadijah.

"Fab, kamu tahu kabar Khadijah darimana?" tanya Sera.

"Dari calon ipar aku donk,"ucap Fabian sambil nyengir.

"Maksudmu?" selidik Sera.

"Hhahahaha, ya Hasan," cetus Fabian.

Sera melirik Hasan.

"Iya, aku yang kasih tahu dia,"ceplos Hasan, lalu tersenyum. "Dia kan juga temen dekat Khadijah, jadi sewajarnya dia tahu juga."

"Oh," singkat Sera.

Fabian membawakan beberapa buah-buah segar, lalu menyerahkan ke Hasan, agar diberikan ke Khadijah setelah sadar.

"Sorry, Fab. Tapi, kata dokter Khadijah nggak boleh makan buah dulu,"cetus Rumi.

Sera meringis.

"Budu amat, kalau nggak bisa Khadijah makan biar saudaranya aja yang makan," ucap Fabian.

*