Chereads / Dear Adam (Indonesia) / Chapter 5 - Ayat-ayat Seoul

Chapter 5 - Ayat-ayat Seoul

Terdengar suara merdu dari sebuah kamar. Siapa lagi kalau bukan suara Hasan yang begitu merdu di kala sepertiga malam membangunkan Khadijah.

"Rasanya aku terlalu sibuk sehingga tidak pernah lagi membaca ayat-ayat suci darimu Ya Allah. Kesibukan dunia membuatku buta akan akhirat."

Surah AL-Muzzamil telah dilantunkan Hasan saudara kembar Khadijah dengan begitu sangat merdu. Hingga membuat Khadijah melangkahkan kakinya terhipnotis mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat tahajud.

Sebuah bayangan akan daddynya muncul seketika dalam angan Hasan saat melantunkan surah Yassin. Ia merasa merindukan daddynya yang pergi dinas dan pulang tinggal sebuah nama, serta kenangan.

Hasan tak pernah melupakan sesuatu doa untuk daddynya. Baginya hanya doa lah cara menyambungkan sebuah rindu yang begitu jauh, setelah kematian membuatnya dengan daddynya memiliki alam yang berbeda.

Ayass, adalah sesok ayah yang sangatlah menjadi panutan kedua anaknya. Dia memiliki cinta yang tak lekang oleh waktu dengan Rania yang merupakan istrinya.

Ayass pria yang setia, bahkan saat kehilangan Rania, ia tetap bertahan dan menjaga hatinya, serta kedua anaknya.

Ayass rela menghabiskan waktunya untuk kedua anaknya dan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Tiada kesetiaan yang lebih indah, bahkan menikah lagi pun tak ada dipikirannya saat kehilangan istrinya.

Cinta Ayass lah yang menjadi panutan kedua buah hatinya. Saat kepergian Ayass, kehidupan 360 derajat berubah, karena beda kalau bukan ayah kandung, melainkan seorang uncle yang tiba-tiba menjadi ayah tiri menggantikan peran Ayass.

Hasan dan Khadijah merelakan Rania bunda mereka menikah lagi, karena hanya uncle Haqi lah yang mampu membahagiakan bundanya. Dan, mampu menggantikan peran Ayass sebagai daddy mereka, meskipun tak sama rasanya.

Setiap hari Hasan dan Khadijah, berharap kalau semua itu mimpi. Mereka hanya ingin Allah memberikan kesempatan bahagia bersama.

Satu hal yang mereka sadar tidak akan mungkin, karena sudah jelas jasad itu dinyatakan kalau menurut hasil forensik dia adalah Ayass, daddy mereka.

Kala itu mereka masih kecil usia empat belas tahun menginjak dewasa, sayangnya, takdir merengut kebahagiaan mereka menjadi sebuah goresan kepedihan.

Air mata Hasan semakin menetes deras menginggat almarhum daddynya. Kenangan indah bersama, meskipun daddy nya kadang suka memarahinya.

Flash back on

Sepuluh tahun lalu sebelum kepergian Ayass, 14 November 2008 tepatnya. Hari itu adalah kebahagiaan uncle Haqi yang kini berubah menjadi ayah pengganti bagi kami, dan suami pengganti bagi bunda.

Pertunangan sudahlah disiapkan, tinggal menunggu beberapa minggu untuk segera menikah dengan tante Seina yang merupakan sepupu dari Daddy.

Saat selesai pertunangan uncle dan tante, ternyata kabar pedih bagiku dan keluargaku. Pukul 19.00 kami mendapatkan kabar kalau pesawat tujuan surabaya ke singapura meledak. Hatiku, berpura-pura kuat, karena aku tak ingin melihat saudara kembarku lebih terpukul.

Bunda langsung shock, bahkan membuat bunda jatuh sakit. Uncle memeluk kami berdua dan mengajak kami berwudhu, lalu sholat agar tenang, serta membaca surah Yassin.

"Acan, kenapa harus daddy?"

Saat itu, Khadijah menyalahkan takdir yang digariskan oleh Allah dan menganggap kalau Allah tidak adil dalam hidupnya.

Khadijah saudaraku saat itu, masih trauma kehilangan bunda, karena penculikkan oleh om Adnan. Bahkan, mengharuskan kami selama dua belas tahun tanpa peran bunda.

Bunda kembali ditemukan, ketika usia kami tiga belas tahun. Selama itu, kehidupan hanya bersama daddy dan uncle.

Kadang kami dititipkan ke uncle, ketika daddy sibuk dengan tugasnya sebagai dokter bedah profesional. Namun, sayangnya dari kami tidak ada yang melanjutkan profesi daddy.

Khadijah sibuk dengan impiannya, sementara aku sibuk dengan ambisiku. Rasanya, kami berdua tidak sejalan dengan passion ayah.

Uncle menjadi panutanku sebagai atlet wushu. Hingga kini aku pun selalu mengikuti beberapa olimpiade dan Seoul aku datang, karena olimpiade itu.

Pernikahan Uncle dan Bunda tidak akan pernah menghasilkan buah hati atau keturunan. Bagaimana tidak setelah penculikan itu, bunda rahimnya diangkat akibat mantan kekasih bunda yang selalu saja terobsesi.

Bunda sempat amnesia, bahkan daddy sangat yakin kalau bunda bisa kembali. Kenyataannya kembalinya bunda, juga kepergian daddy, padahal baru setahun kami bisa bahagia bersama. Dan, ingatan bunda juga kembali.

Ketika itu, mungkin Allah terlalu cinta kepada keluarga ku sehingga mengujinya kembali. Rasanya mungkin dalam keadaan atau kondisi apapun harus bersyukur, dan tidak menyia-nyiakan waktu.

"Acan, kenapa semua ini terjadi...."

Tangisan pecah sementara aku memeluk saudara kembarku, meskipun harus berpura-pura tegar.

Lima tahun kepergian daddy, bunda kembali memulai kehidupan kembali bersama uncle. Hidup kami cukup bahagia, meskipun peran daddy digantikan uncle Haqi.

Khadijah memang lebih dekat dengan uncle, ia pun sudah terbiasa dengan uncle sejak dulu. Ya, senyuman itu mulai kembali terlihat melingkar di wajah bunda.

Uncle pun berjanji akan menjaga keluarga kami, dan mencintai bunda dengan sepenuh hati. Sedangkan, tante Seina melanjutkan kehidupannya dengan menjadi fashion desainer di Paris.

Tante Seina selalu baik dan mengikhlaskan, aku menyukai tante Seina. Ya, dia seperti ibu bagi kami juga sewaktu kami kehilangan peran bunda. Setiap sebulan sekali menjenguk dan merawat kami.

Kedekatan tante Seina dan uncle Haqi berawal dari sebuah konser, tapi aku tahu sudah lama tante Seina menyimpan perasaan ke uncle. Sedangkan, uncle itu pernah cinta dengan bunda, tapi cinta benar-benar terlambat disadari sampai akhirnya, daddy menikahi bunda.

Cinta dan takdir itu sangat indah, karena skenario terindah dari Allah. Uncle dan bunda sama-sama saling mencintai di waktu yang salah sampai akhirnya di waktu yang tepat.

Flash back off

Hasan terbangun dari sebuah lamunan dan kenangan lama tentang keluarganya. Seoul, adalah tempat dia membuktikan tentang dirinya dalam sebuah olimpiade, ia berjanji akan menang membawa mendali emas bukan perak, semua itu ia persembahkan untuk mendiang daddy.

Hasan juga sudah berniat melanjutkan impian daddynya, setelah visi dan misinya selesai. Ia akan melanjutkan pendidikan S1-nya di Fakultas kedokteran umum.

Hasan akan menetap tinggal bersama saudara kembarnya. Ia juga sudah berjanji dengan daddynya tetap bersama menjaga Khadijah dalam keadaan apapun. Hingga Khadijah menemukan kekasih impiannya.

***

Adzan subuh pun tiba berkumandang, Khadijah melanjutkan sholat subuhnya. Suara gemericik air dari kran kamar mandi juga terdengar di kamar sebelah.

"Wan, kamu itu nggak bangun-bangun apa nunggu malaikat meniupkan terompetnya?"

"San, ini kan masih baru adzan."

"Ya, kamu tau adzan itu cara Allah membangunkan makhluknya, agar bisa menikmati kehidupan esok harinya."

"Duh, San. Aku masih ngantuk banget nich."

"Mangkannya jangan begadang ngegame melulu kamu itu."

"Yaelah, jam segitu kan waktu aku mabar, San."

"Mabar aja kamu giat, giliran panggilan yang maha kuasa kamunya males gini."

Ridwan pun terbangun, meskipun ia masih terasa malas untuk bangun di waktu subuh.

"Kamu mau mati dalam keadaan nggak baik?"

"Duh, Hasan kamu itu kayak ustad saja kultum di waktu subuh."

"Karena aku saudaramu dari nabi Adam mangkannya kamu selalu ku ingatkan, Wan."

"Namamu aja kayak malaikat penjaga surga, masa kamu nggak malu dengan namamu itu, masa kamu ntar masuknya neraka bukan surga."

Ridwan pun meskipun sangat ngantuk dan matanya lelah, ia berusaha berjalan menuju kamar mandi untuk berwudhu.

***

Suara ketukan dari luar kamar Hasan.

"San, kamu udah sholat belum? Kalau belum jamaah yuk."

Ridwan pun membuka pintu kamar Hasan.

"Selamat pagi!"

Khadijah langsung shock melihat Ridwan di depannya.

"Ya, ampun kamu ngagetin aja!"

"Kaget sama cowok ganteng di hadapanmu?!"

"Ganteng dari hongkong?!"

"Ya, kalau aku nggak ganteng, kenapa bisa dapet jobs pemotretan di sini?"

"Mungkin mereka buta yang lihat kamu!"

"Sadis banget kata-katamu, tapi semakin kamu marah, semakin mempesona mengetarkan hatiku."

"San!"

"Ya Allah, Wan. Subuh malah ngombalin kembaranku, mau aku lipet mulut kamu?"

"Yaelah, mana bisa kamu ngelipet mulutku, emang kamu pikir mulutku kayak kertas lipat yang bisa dibentuk origame?!"

"Bisa jadi gitu."

"Sialan, kamu San."

"Kita jamaah aja, San."

"Iya, kita jamaah lah, masa sendiri-sendiri, dan kamu yang ngimamin."

"Ah, kamu bercanda, kan, San?"

"Mana ada aku bercanda, Wan."

Ridwan meringis saja.

"Jangan, San. Aku nggak yakin kalau dia bisa ngimamin kita."

"Hust, Dijah kamu nggak boleh menghakimi orang seperti itu."

"Lihat aja, sepertinya dia nggak mau."

"Baiklah, aku yang ngimamin, bahkan mengimamimu setelah kita akad boleh juga."

"Akad? Yang ada kamu angkat-angkat barang, Wan."

"Lihat aja, kamu pasti ditakdirkan menjadi kekasihku di dunia maupun akhirat."

"In your dream. Catat ya baik-baik, sampai kapan pun aku nggak akan mau berjodoh denganmu."

"Terus sampai kapan kalian berdebat seperti ini, sampai menjelang dhuha?"

Khadijah dan Ridwan saling mengejek satu sama lain.

Hasan menari keduanya menuju sebuah mushola kecil di dalam mansionnya. Di Mushola masih ada juga drama. Namun, Hasan melotot ke arah keduanya.

"Setan itu mudah merasuki dan membuat kalian menyia-nyiakan waktu."

Mereka berdua tidak ada yang menjawab, dan mulai sholat berjamaah dengan Hasan sebagai imam mereka. Sedangkan, Ridwan hanya iqomat sebelum sholat jamaah di mulai.

Sholat subuh dilaksanakan dua rakaat.

***