Yun Shen Buzhi Chu identik dengan kedamaian seperti biasanya. Lan WangJi memasuki pelataran ketika matahari hampir tenggelam. Di gerbang masuk, dia sempat berhenti sejenak dan mengingat memori dulu. Sewaktu Wei WuXian pertama kali datang ke Gusu.
Wei WuXian mengatakan banyak hal hingga Lan WangJi tak tahan membungkamnya.
Wei WuXian, "Mmm! Mmm... mm... mm!"
Dulu Lan WangJi heran dengan tingkah lakunya, tapi sekarang semua itu menjadi kenangan yang benar-benar menghantuinya.
Wei WuXian tidak sepenuhnya benar. Dia tidak hanya menghantui Lan WangJi dalam mimpi mulai sekarang.
"Han GuangJun."
Mendadak segerombolan murid datang. Mereka memberi hormat sebelum menyampaikan sesuatu.
"Guru ingin bertemu di aula."
Lan WangJi hanya mengangguk kecil sebelum melangkah kembali.
Kondisi Lan QiRen tidak lebih baik dari tadi siang. Wajahnya pucat seperti ikan mati. Dahinya berkeringat, dan pakainnya lebih tebal daripada biasanya. Meskipun begitu, postur tubuhnya tidak terlihat ringkih sedikit pun. Dia berdiri tegap di depan pelataran aula Yun Shen Buzhi Chu sembari menatap pohon sakura yang berbunga.
Lan WangJi, "Paman."
Lan QiRen tidak menghadap meski Lan WangJi sudah di depannya. Dia menghela napas, berhenti menyentuh bebijian bunga dan berkata dengan pelan. "Bagaimana dengan dia?"
Lan WangJi tidak mengira, dari sekian topik serius yang selama ini dibicarakan Lan QiRen bersamanya, Wei WuXian akan menjadi pembahasan pertama begitu dia kembali.
"Mengembara," kata Lan WangJi. "Tidak memberitahuku kemana akan pergi."
Lan QiRen mengelus jenggotnya yang hari demi hari garis putihnya semakin bertambah. "XiChen memberitahuku tidak akan lama," katanya. "Tapi kau harus tahu dia harus benar-benar tenang"
Lan WangJi mengangguk. "Iya."
"XiChen terlihat sungguh-sungguh," kata Lan QiRen. "Selain itu, nama Yiling Laozu telah terdengar dimana pun. Membawanya kemari tanpa peresmian, tidak terdengar benar-benar baik. Dia bicara denganku sebelum pergi."
Lan WangJi mengeratkan pegangannya pada Bichen. Roh pedang itu menatapnya dengan gusar.
Lan QiRen berbalik. "Terima kasih..."
Satu kata itu membuat Lan WangJi menatap Lan QiRen tanpa sadar. "Paman..."
Jubah tebal Lan Qiren berkelebat pelan diterpa angin dari arah belakangnya. Di bawah bayangan pohon sakura itu, dia tampak seperti enigma tak kasat mata yang dingin.
Lan WangJi sampai sempat ragu di depannya benar-benar Lan QiRen atau seseorang yang menyerupainya.
Lan QiRen terbatuk, dan berbalik. "Bukan berarti aku menerima," katanya. Memunggungi Lan WangJi seolah-olah sedang marah. "Aku hanya melakukan yang seharusnya," pria itu kembali terbatuk sebelum berkata lamat-lamat. "Dulu, ayah dan ibumu adalah orang-orang yang terdidik. Sepertimu. Mereka hampir tidak pernah melakukan kesalahan. Tapi justru tak pernah kembali hanya dengan melakukan satu saja dalam hidup."
"..."
"Dunia kultivasi membutuhkanmu," kata Lan QiRen. Suaranya memelan. "Tapi aku tak akan melarang, jika kau memilih pergi besok."
Sejak dulu, dan tak pernah berubah. Lan QiRen adalah sosok tegas melebihi siapa pun. Dia memiliki raut karismatik menjengkelkan bagi murid-murid nakal dan tak bisa ditentang. Jika sudah memutuskan, kanan berarti kanan, kiri berarti kiri. Punggung Lan WanJi bahkan pernah nyaris hancur karena titah hukumannya. Darah yang mengaliri jalan masuk aula ini pun sampai kering sebab tubuhnya tak berpindah hingga pagi. Sore yang mencekam... ingatan mengenai murid-murid lain yang mengitarinya telah buram saat ini. Wajah mereka telah hilang saat pukulan pertama menghantam. Lalu begitu usai, hanya langkah-langkah pelan yang berhambur dari sana yang tersisa.

Lan WangJi tidak pernah lupa hari itu. Hari ketika dia menyuarakan isi hati tentang Wei WuXian yang pernah berkata mengenai hitam dan putih, baik dan buruk, dan lain sebagainya.
Dulu Lan WangJi memang tegas menentangnya. Namun itu bukan berarti dia tak menghormati Lan QiRen hingga saat ini.
Lan WangJi, "Paman dan Xiong-Zhang harus istirahat dengan baik," katanya. "Esok lusa saya akan menghadiri Jin LingTai untuk menata semuanya."
Tatapan Lan WangJi menunduk hormat saat itu. Lan QiRen sampai terdiam beberapa saat melihatnya.
Lan QiRen, "Aku tak pernah meragukanmu," katanya. "Sejak dulu kau selalu mendengarkan ucapanku, mengikutinya, dan semuanya selesai dengan baik. XiChen jujur padaku sempat cemas kepadamu."
"..."
"XiChen berpikir kau terlalu penyendiri. Aku juga tahu itu, tapi tak pernah bisa memikirkan hal baik apa yang bisa mengubahnya."
"Paman tidak perlu seperti itu."
"Kau tidak perlu menahannya, kali ini saja," kata Lan QiRen. Suaranya semakin rendah saja. "Kebaikan terkadang memang berjarak sangat tipis dengan kesalahan, tapi bukan berarti aku bisa melihatnya."
Lan WangJi pun memberi bungkukkan hormat. "Terima kasih, Paman."
Lan QiRen terdengar sangat memaksa suaranya kali ini. "Ingatkan dia untuk selalu jaga sikap, setidaknya jika terpaksa di depanku. Hanya itu."
"Baik."
"Aku akan membicarakan selanjutnya dengan XiChen nanti. Kau bisa kembali ke tempatmu sekarang."
"Baik."
Setelah itu, Lan WangJi pun mundur perlahan-lahan. Meninggalkan Lan QiRen yang terlihat ingin menenangkan diri. Pria tua itu sebenarnya ingin mengatakan hal yang lain. Tapi untuk yang tadi sepertinya sudah cukup. Lan WangJi telah menetapkan pilihannya, begitu pun dirinya. Kehilangan untuk kedua kali bukan pilihan saat ini.
Murid-murid yang baru saja menyelesaikan tugas sore masing-masing pun memberi hormat ketika berlalu. Mereka mengatakan beberapa kalimat yang mengkhawatirkan kesehatannya, tapi Lan QiRen tetap berada disana. Esok lusa semua akan benar-benar berubah. Jika tadi pagi Pemimpin Sekte Jiang mendatanginya secara khusus, Lan QiRen pun tak akan menolak pertimbangannya demi kebaikan dunia kultivasi.
Jin LingTai hari ini berada di ambang kehancuran. Selain karena pemimpin Sekte penggantinya masih sangat-sangat muda, di kondisinya pun tak memungkinkan untuk membantu lebih banyak. Lan WangJi sudah mengatakan akan mengatur segalanya. Dan memang hanya dia yang bisa diandalkan.
"Kita hanya bisa saling membantu untuk saat ini," kata Lan QiRen. "Kau kerahkan saja beberapa murid untuk ikut mencari WangJi. Jika ada sesuatu, kabarkan kepadaku semuanya."
Jiang Cheng pun mengucapkan terima kasih sebelum pergi. Dia tak menoleh sedikit pun meski tahu Lan XiChen berdiri tak jauh dari sana. Sebab Tuan Muda Lan Pertama itu hanya diam. Menatap kosong pepohonan dari pelataran Hanshi. Jiwanya seperti tak di tempat. Mungkin yang ada di kepalanya hanya darah saat ini.
Darah dan wajah kesakitan Jin GuangYao yang memucat di tusukan pedangnya.
Lan XiChen tak membawa apapun saat itu. Shuoyue maupun Liebing mungkin diletakkan di laci terdalam Hanshi sejak dia kembali.
"Kita pergi," kata Jiang Cheng. Murid-muridnya mengangguk sebelum mengikuti.
Jin Ling masih menunggunya di istana sendirian saat ini. Menghadapi tetua-tetua bertaring yang siap mencakarnya setiap waktu jika tak memutar otak lebih cerdas. Banyak petinggi yang berniat menggulingkan andai Jiang Cheng tak bertindak cepat seperti sekarang.
"Keterlaluan..." umpat Jiang Cheng sepanjang jalan. Dia ingin marah tiap kali murid-muridnya tak menemukan jejak Lan WangJi dan Wei WuXian. Tapi dia tak sedang marah kepada dua lelaki itu. Melainkan kepada dirinya sendiri.
Mereka telah berdamai dengan diri sendiri dan memilih pergi. Itu sudah benar, hingga dirinya yang nyaris tak tahu malu datang dan mengharapkan bantuan lagi sebesar ini.
Ada banyak hal yang ingin Jiang Cheng katakan kepada Wei WuXian seandainya bertemu lagi. Namun pertemuan tadi memang sangat singkat. Lan WangJi yang baru menghadap telah mengatakan sebegitu berat menerima posisi Xiandu, tapi memang tidak ada jalan lain.
Sudah ada berapa dosa yang Jiang Cheng timbang dan takar dengan yang Wei WuXian lakukan padanya. Dirinya pernah menyelamatkan Wei WuXian, dan Wei WuXian pun telah membalasnya. Inti emas itu terus bergemuruh dalam dirinya dan menjadi bukti. Tapi sekarang, sekali lagi dia mengusik kehidupan saudaranya itu.
"Bodoh... dari dulu kau tak berubah..."
Jiang Cheng merutuki dirinya sendiri di aula doa keluarganya. Dia yakin, jika saat ini Jiang FengMian, Yu ZiYuan dan Jiang YanLi masih hidup, mereka akan menatapnya dengan mata sedih.
Betapa dirinya tak bisa melindungi keutuhan keluarga itu, betapa bodoh dirinya yang mengumpati Wei WuXian, dan betapa naif tingkahnya menatap Lan WangJi dalam diam dalam pertemuan itu.
"Selama setahun itu, jangan mati," kata Jiang Cheng pelan. Dia meremas jubahnya dan menundukkan kepala. Menahan diri untuk berlari mencari keberadaan Wei WuXian demi menawarkan kediaman hangat di Lian HuanWu—tapi merasa sungguh tidak pantas. "Aku tak akan memaafkanmu jika sampai terjadi."
Malam itu, Jiang Cheng menemui Jin Ling dan mendampinginya dalam beberapa urusan. Seusai makan malam dan Jin Ling pergi bersama Peri untuk belajar di perpustakaan, Jiang Cheng memasuki gudang penyimpanan dokumen penting Jin LingTai dan menilik benda-benda paling berdebu di pojokan.
Itu adalah milik Wei WuXian. Yang sebagian pernah dipinjam Mo XuanYu dari gudang harta Jin GuangYao selam hidup.
Jiang Cheng membersihkannya sendiri, dan menatanya dengan rapi. Sesekali dia membolak-balik beberapa buku lawas itu dan mengenang tulisan tangan Wei WuXian.
Tulisan yang tak rapi. Jiang Cheng sering menghina Wei WuXian di masa lalu meski Wei WuXian tak peduli. Jadi dia heran mengapa Mo XuanYu yang terkenal gila itu bisa memahaminya.
"Kalian harus kembali ke tangannya suatu hari nanti," gumamnya sendirian. Lilin meja pun bergoyang ketika terhembusi nafas panjangnya. "Jadi jangan harap aku mengizinkan kalian rusak begitu saja..."
.
.
.
Nie HuaiSang terbangun.
Saat melihat dunia lagi, pagi itu. Dia kira sudah mati. Dilihatnya meja yang dia tiduri, lalu merabanya dengan tangan. Hangat, kontras dengan tubuhnya yang baru terasa dingin.
Apa semalam dia benar-benar tertidur di sini? Padahal tadi bermimpi dalam gelap tak berdasar, sendirian, dan hanya sedang melukis pemandangan. Ternyata semua itu tak benar-benar terjadi.
"Nie-Zhongzu," panggil seseorang dari balik tirai. "Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda."
Nie HuaiSang menegakkan badan. Mengucek mata, dan mengernyit. "Siapa?" tanyanya dengan suara serak.
Bayangan di balik tirai itu menggeleng pelan. Posisinya tetap menghormat. "Mereka tidak ingin menyebutkan nama. Tapi berkata Anda pasti mengetahui."
Mereka?
Siapa?
"Iya, beritahu saja aku akan keluar sebentar lagi."
"Baik."
Begitu sosok itu berlalu, Nie HuaiSang pun menghla nafas panjang.
Bersambung...
Lan QiRen juga manusia. Jiang Cheng selalu menyembunyikan perasaan yang sebenarnya, tak pernah berubah. Lan XiChen terlalu bijaksana untuk memutuskan sesuatu dikala sedang goyah, Lan WangJi tidak pernah menghilangi rasa hormatnya, dan Wei WuXian yang sering mengalah terhadap keadaan yang lebih penting.
Saya tidak mengambil terlalu banyak sumber untuk menggarap bab ini. Hanya menyesuaikan karakter masing-masing saja. Permasalahan belum mulai masuk. Jadi kita bawa santai saja.
Jangan lupa tinggalkan kritik dan saran...
Btw, ini aku tekan "Completed" langsung aja ya. Baru akan dilanjutkan kalo ada yang minta kelanjutannya ahaha... terima kasih (≧▽≦)