"Karena aku ingin membuatmu bahagia," kataku. "Karena kau membuatku bahagia."
"Bagaimana? Dengan menidurimu?" Sekali lagi, dia bahkan tidak berusaha bersikap kasar. Ini adalah metrik yang dia gunakan dalam hidupnya. "Membunuh untukmu?"
"Karena aku terkadang tahu apa yang kamu pikirkan. Karena Kamu tahu apa yang aku pikirkan. Karena ketika kamu tersenyum padaku, aku merasa seperti telah memenangkan sesuatu."
Dia menjatuhkan kepalanya kembali ke kepalaku, menyatukan dahi kami. "Aku bukan hadiah, Lala."
"Kamu adalah hadiahku," kataku.
"Brengsek, kamu pantas mendapatkan lebih dari ini. Di mana harga dirimu, Nak?" Aku bisa merasakan bagaimana dia melawan ini. Melawan aku. Semua kekuatan dari upaya terakhir.