Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, Bagas turun dari mobil lalu berjalan setengah berlari menuju rumahnya. Saat sedang berjalan terlihat Bagas memijit keningnya karena rasa pusing akibat perut yang masih kosong.
"Lho mas Bagas kok sudah pulang?" Tegur salah satu pembantunya, saat melihat Bagas sudah berada di dalam ruang tamu sedang menutup pintu.
"Iya mbok, aku ijin, tiba-tiba nggak enak badan," jawab Bagas sambil berjalan mendekati pembantunya.
"Apa sudah periksa kedokter mas? Atau mau simbok kerikin? Siapa tau masuk angin." Tanya pembantunya saat Bagas sudah berada tepat di hadapannya.
"Nggak usah mbok, cuma pusing biasa." Tolak Bagas, sambil merapihkan tas gendong yang mencangklong di sebelah pundaknya.
"Beneran mas?" Wanita yang dipanggil simbok itu terlihat khawatir.
"Iya beneran, nanti dibawa tidur juga sembuh," Bagas mengedarkan pandangannya di sekitar ruang tamu. Terlihat ia seperti sedang mencari seseorang. "Mas Aryanya mana mbok?"
"Oh... tadi habis nyiram tanaman, terus dibuatin kopi sama si Jum, kayaknya masih duduk di teras belakang, sambil ngopi" jelas mbok Darmi.
"Lho kenapa mas Arya disuruh nyiram tanaman mbok?" Bagas sedikit tersentak, dan wajahnya terlihat sedikit kesal. "Mas Arya itu tamu di sini, bukan mau kerja," jelas Bagas.
Mbok Darmi merundukan kepala, ia terlihat takut dan wajahnya berkerut. "Maaf mas Bagas, simbok nggak nyuruh. Tadi juga udah simbok larang. Tapi mas Aryanya yang maksa. Katanya kalau diem aja badan palah pada sakit." Ujar Mbok Darmi membela diri.
Bagas mengkerutkan kening, mentap selidik pada mbok Darmi. "Bener begitu?"
"Iya mas, ndak mungkin simbok berni nyuruh tamunya ibu sama mas Bagas," jawab mbok Darmi. "Lagian ibu udah wanti-wanti sama simbok, jangan sampai mas Arya ngapa-ngapain."
"Ya udah," Bagas mendengus kesal. Entahlah Bagas benar-benar menyesal mendegar Arya sudah melakukan pekerjaan yang tidak seharusnya Arya lakukan. Kemudian Bagas berjalan menuju teras belakang, untuk mencari keberadaan Arya.
Sedangkan mbok Darmi kembali melanjutkan tugasnya mengelap meja, kursi, guci, dan prabotan lainnya.
Bagas menghentikan langkahnya, saat ia sudah melihat Arya sedang duduk di kursi teras sambi menelpon seseorang. Lagi-lagi remaja yang sudah kelas tiga SMA selalu terpaku, tertegun tiap kali melihat wajah Arya dari jarak yang tidak terlalu jauh. Hatinya selalu bergemuruh, berdesir, dan jantungnya seperti berdetak lebih cepat.
Wajah Arya yang begitu tenang, tatapan mata yang teduh, selalu berhasil merontokan hati Bagas. Ditambah dengan senyum yang selalu mempertontonkan gigi Arya, begitu sangat maskulin dan begitu manis. Bagas tidak pernah bosan melihat senyum yang begitu tulus.
Secara perlahan Bagas berjalan mendekati Arya, ketika ia melihat Arya sudah tidak menelpon lagi.
"Mas..." panggil Bagas dengan lembut ketika ia sudah berada di dekat Arya.
Arya sontak menoleh pada Bagas, dan anehnya senyum Arya yang mempesona langsung memudar, ketika melihat remaja yang semalam digagahinya itu, sudah berada di dekatnya.
Ada sedikit goresan luka di hati Bagas, saat dengan jelas ia melihat perubahan ekspresi Arya. Senyum yang mempesona, wajah yang teduh, dan wajah yang teduh, kini berubah menjadi semu. Berubah menjadi datar, dan tidak bergairah.
"Kamu udah pulang?" Tanya Arya datar.
"Iya mas, tadi aku ijin," jawab Bagas. "Agak sedikit pusing."
Terlihat Arya mengangguk-anggukan kepalanya, "ya udah istirhat dulu di kamar."
Bagas tidak menjawab dan tidak menuruti perintah Arya. Ia hanya mematung menatap teduh Arya yang sedang mensruput kopinya.
"Mas...,"
"Ya," jawab Arya setelah ia menoleh pada Bagas.
Raut wajah Bagas terlihat begitu gugup, entahlah ia merasa gelisah hari itu. "Boleh duduk di situ nggak?" Ijin Bagas sambil menujuk sisah tempat pada kursi yang sedang diduduki Arya. Sikap dingin Arya hari itu benar-benar membuat Bagas menjadi merasa serbah-salah. Bahkan untuk duduk berdekatan dengan Arya, Bagas sampai meminta ijin karena takut jika Arya merasa tidak nyaman.
Tapi kenapa saat sedang menelpon Arya selalu tersenyum? Dan senyum itu hilang setelah ia melihat kehadiran Bagas. Semakin Bagas berpikir, maka hatinya semakin terasa nyeri.
Mungkinkah senyum tulus itu tidak akan pernah Bagas dapatkan lagi? Entahlah.
Arya hanya menganggukan kepala dan mengeser sedikit tubuhnya, untuk mengijinkan Bagas duduk di sebelahnya.
Dengan sangat pelan dan penuh rasa gelisah, Bagas menjatuhkan bokong nya di sebelah Arya. Dan akhirnya dua pira yang sudah melakukan hubungan seks sesama jenis tadi malam, kini duduk berdampingan. Di kursi teras berwarna putih, dan terbuat dari besi.
Beberapa saat keadaan terasa sangat canggung, belum ada yang membuka suara setelah Bagas duduk di dekat Arya. Susana terasa hening.
"Katanya mas mau ngobrol sama aku?" Bagas memecah keheningan meski ia bertanya dengan kepala merunduk.
"Tapi kamu masih sakit dek, mungkin nanti saja," jawab Arya datar.
"Enggak papa mas, aku cuma pusing dikit. Masih bisa nanggepin mamas." Bagas sudah tidak sabar.
"Yakin nggak papa?" Wajah Arya masih terlihat ragu.
Bagas menoleh pada Arya dan menganggukan kepala. "Iya nggak papa." Bagas berbicara dengan sangat yakin bahwa dirinya baik-baik saja.
Kemudian Arya mengedarkan pandangan di sekitar, memastikan apalah ada orang yang melihat mereka. Namun karena apa yang akan ia sampaikan sangat privasi menurutnya, sehingga ia berdiri dari tempat duduknya seraya berkata. "Baiknya kita ngobrol di kamar saja dek, gimana?"
Bagas mengangguk, "ya udah," jawabnya.
Terlihat Arya mulai berjalan mendahului Bagas. Dan setelahnya Bagas berdiri dari kursi, lalu ia berjalan mengikuti Arya dari belakang. Tatapan matanya teduh menatap punggung Arya.
Beberapa saat kemudian Arya dan Bagas sudah berada di dalam kamar. Keduanya duduk berdampingan di sisi ranjang.
Menarik napas dalam-dalam sebelum Arya hembuskan dengan kasar. Setelah merasa legah Arya menoleh dan menatap datar tubuh remaja yang sudah bercinta dengannya semalam.
"Dek... maafin mas,"
Bagas menoleh pada Arya, ia mengkerutkan kening. Merasa heran dengan permintaan maaf Arya.
"Maaf kenapa mas?" Tanya Bagas.
"Soal tadi malam, mas minta maaf karena mas sudah berbuat nekat sama kamu. Nggak seharusnya mas lakukan itu. Mas nggak bisa kontrol dan_" Arya menggantungkan kalimatnya. Tengorokannya seperti tercekat dan ia merasa tidak sanggup untuk meneruskannya.
Sedangkan Bagas hanya diam, menatap datar wajah Arya yang sedang merasa bersalah.
Menelan saliva sebelum akhirnya Arya kembali menyuarakan maksdunya. "Maaf mas udah melakukan perbuatan sodom sama kamu dek," membayangkan pun Arya tidak pernah. Oleh sebab itu ia seperti merasa sangat menyesal, karena tidak mampu mengendalikan emosinya. Sebenarnya ia sangat membenci dirinya sendiri. "Mas nyesel dek, maafin mas..." bola mata Arya terlihat sudah mulai berkaca.
'Maaf' Kata itu semakin membuat Bagas jatuh cinta dengan Arya. Ia semakin heran, orang seperti apa mas Arya ini? Bukankah Bagas yang memulai? Bukankah ia yang sedikit memaksa? Bukankah ia yang membuat Arya yang nekat melakukan itu. Tapi kenapa Arya harus meminta maaf? Awalnya Bagas sudah berpikir jika Arya akan memakinya. Tapi ini di luar dugaan, Bagas semakin tidak mengerti. Tapi rasa cintanya semakin kuat, dan ia semakin mengagumi Arya.
'Menyesal' saat mendengar kata itu, jujur hati Bagas merasa sangat sakit, nyeri. Itu artinya Arya tidak suka melakukan itu dengannya. Namun Bagas mencoba untuk mengerti.
"Kenapa mas minta maaf?" Tanya Bagas datar.
"Mas udah berbuat cabul, mas udah dosa sama kamu," ungkap Arya. "Mas harap kamu mau lupai itu," imbuhnya.
Dengan tatapan yang teduh, Bagas memandang Arya. Bibirnya tersnyum tipis, sangat tipis.
"Mas nggak salah, mas nggak perlu minta maaf. Aku yang mulai, dan aku_" Bagas membuang napas legah sebelum ia melanjutkannya. "Aku... aku menikmatinya," aku Bagas, kemudian ia merunduk.
Pengakuan Bagas sontak membuat Arya terkejut, "apa...?"
"Iya mas aku nikmatin itu," ucap Bagas dengan suara yang sangat lirih, masih dengan kepala yang merunduk.
"Jadi kamu ndak nyesel?"
Bagas hanya menggelangkan kepala dengan perlahan.
Arya mengeratkan gigi dan mengeraskan rahangnya. Kemudian telapak tangannya menarik rambutnya sendiri. "Astaghfirullah'haladzim" Arya menoleh pada Bagas dan menatapnya tajam.
"Bukannya mas udah tahu kalo aku ini nggak normal, aku ini suka sama laki-laki mas." Ucap Bagas. Dan bola matanya mulai berkaca.
"Tapi kenapa kamu tega sama mas dek? Mas udah anggap kamu adek. Mas juga udah sayang sama kamu, mas menghormati ibumu, mas juga menghargai kamu. Mas nggak pernah mandang kamu lain." Arya terlihat sangat kesal, dan kecewa dengan Bagas.
"Itu karena aku..." Bagas mengangkat wajahnya menatap Arya, namun kemudian ia kembali merunduk karena merasa takut. "Karena kau cinta sama mas, aku cuma ingin melakukan itu sama mas, aku sayang sama mas Arya." Air mata yang meggenang kini lolos mengalir membasahi pipi Bagas. "Maaf mas, aku cinta sama Mas Arya." Imbuhnya dengan jujur dan sepenuh hati.
Pengakuan Bagas tentu saja membuat mata Arya terbelalak. Bahkan ia sampai bergidik merinding, karena semua bulu kudugnya berdiri. "Kamu ngomong apa dek?" Arya menjauhkan tubuhnya, menatap Bagas dengan tatapan yang sangat sulit diartikan.
Bagas masi merunduk, ia menghirup ingus bening yang keluar dari lubang hidungnya dan menghasilkan suara isakan. Jari telunjuknya menyeka air mata yang mengalir di atas bibir nya. Bagas merasa tidak perlu lagi menyembunyikan perasaannya. Karena ia sangat sudah tidak tahan.
"Iya mas... aku jatuh cinta sama mas Arya," ulang Bagas dengan suara yang sangat lirih. Kemudian ia menggit bibir bawahnya.
"Apa kamu sadar kamu ngomong kaya begitu? Sadar dek. Apa yang sudah kita lakukan itu dosa besar. Kamu harusnya menyesal, jangan ikuti perasaan kamu. Mas emang orang kampung, tapi mas juga pernah sekolah. Mas juga sering ngaji, mas tahu mencintai sesama jenis itu dosa. Mas bukan orang seperti itu dek." Arya menarik napas dalam-dalam kemudian ia hembuskan secara kasar. "Cinta yang kamu rasakan itu salah, dosa, dosa besar, Allah nggak akan bisa ngampuni itu."
Bagas mengangkat wajahnya dan menatap tajam Arya dengan wajah yang sudah banjir dengan air mata. Kata-kata Arya seperti belati yang sudah menggores hatinya. Sangat sakit.
"Bukannya Allah yang sudah ngasih perasaan sama cinta buat hambanya. Kalo emang persaan ini dosa, lalu kenapa Allah ngasih perasaan cinta ini sama aku? Kenapa aku harus ada di dunia kalau akhirnya harus hidup dengan menanggung beban dosa? Tiap detik aku ngerasain cinta sama mas Arya, kalau emang itu dosa berarti tiap detik juga dosaku bertambah? Kenapa Allah nggak cabut saja nyawaku mas? Aku tahu Allah yang bolak-balikan perasaan manusia, tapi kenapa perasaan aku ini nggak ilang-ilang? Aku tahu mas Allah maha segala-galanya, aku juga ngaji." Bagas tidak mau kalah dengan nasehat yang diberikan Arya. Mata batinya sudah dibutakan oleh perasaan cinta yang salah. Suara isak tangisnyapun semakin menjadi-jadi.
"Astaga dek, kamu ngomong apa?" Secara perlahan Bagas mengulurkan tangannya. Kemudian ia menyentuh bahu Bagas dan perlahan memjitnya. "Mas gak bodoh-bodoh amat dek, mas ngerti, perasaan begitu sudah ada dari jaman orang-orang sebelum kita. Yang mereka rasakan itu bukan cinta, tapi nafsu. Nafsu sesat dek." Arya masih mencoba memberikan Bagas nasehat.
"Itu mereka, bukan aku! Aku yakin sekali kalau yang aku rasakan itu cinta mas. Bukan nafsu semata." Bagas berbicara dengan penuh keyakinan.
"Mas gak yakin, mas nggak percaya."
"Ini cinta mas, dan aku jatuh cinta sama mas Arya."
"AKAN MAS BUKTIKAN KALO APA YANG KAMU RASAKAN ITU BUKAN CINTA...!"
Arya berbicara dengan nada bentakan karena benar-benar sudah putus asa dengan sikap Bagas. Dan bentakan itu membuat Bagas sontak terkejut, hingga bergidik merinding.
Arya berdiri dari duduknya, kemudian ia menatap Bagas dengan sorot mata yang membunuh. "Mas buktiin kalo itu cuma nafsu."
Secara perlahan Arya membuka kaos yang ia kenakan, sambil menatap Bagas dengan rahang yang mengeras.
Melihat itu Bagas mengkerutkan kening menatap heran.
Setelah Arya bertelanjang dada kemudian ia membuka celana kolor berikut celana dalamnya. Hingga akhirnya Arya pun telanjang bulat tanpa sehelai benangpun. Namun tatapannya masih tajam menatap Bagas.
Bagas terbelalak melihat tubuh Arya yang kini sudah beretelanjang bulat tepat di hadapanya. Ia bingung dengan apa yang dilakukan Arya. Apa Arya ingin mengulang kembali kejadian itu? Atau hanya ingin mempermainkannya. Bagas bingung kemudian ia merunduk dan tidak berani melihat itu.
"Liat mas," ucap Arya dengan nada tegas.