Chereads / I Choose Basketball / Chapter 14 - Jahil

Chapter 14 - Jahil

Kebanyakan dari semua siswa yang bersekolah didunia ini, pasti akan membenci mata pelajaran yang berhubungan dengan angka. Sebagian dari mereka juga akan mengatakan jika matematika itu menyusahkan. Ada yang harus mencari rumus x dan y, mencari sisi miring, menghubungkan titik koordinat, dan lain sebagainya. Padahal itu semua juga tak akan mereka terapkan dikehidupan sehari-hari.

'Jika sudah ada kalkulator, untuk apa belajar matematika?'

Kalimat itu juga selalu mereka gunakan untuk menghindari pembelajaran yang mereka tidak suka. Tapi, mau sebesar apapun mereka menghindarinya, tetap saja matematika akan selalu ada dijenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA. Bahkan, banyak dari jurusan kuliah saja juga ada yang masih mempelajari matematika.

Baiklah, kembali pada alur cerita, kelas Zara saat ini seperti pasar ikan, tubuh para siswa tergeletak begitu saja diatas meja. Jika disekolah lain guru matematika akan memiliki kesan galak dimata muridnya, tapi tidak untuk guru yang mengajar kelas Zara saat ini. Wanita paruh baya itu bukan masa bodoh terhadap muridnya, dia hanya ingin muridnya bisa tanpa adanya paksaan. Toh, jika dipaksapun belum tentu muridnya akan paham. Dan bisa tertekan karena tuntutan memahami mata pelajaran matematika.

"Kapan pelajaran ini akan selesai?" lirih salah satu siswa yang benar-benar sudah merasa bosan dengan pelajaran ini.

Zara mendengar keluhan temannya itu, dia juga setuju dengan apa yang didengarnya. Gadis itu juga salah satu siswi yang tidak terlalu menyukai mata pelajaran matematika. Dia sampai membuang nafasnya panjang.

"Apa ada yang ingin ditanyakan?" ucap guru itu tiba-tiba.

Semua siswa didalam kelas langsung menegakkan tubuhnya, layaknya sebuah baterai yang sudah terisi penuh. Tapi, sesaat pandangan mereka langsung terfokus pada buku ketika guru itu akan memilih satu murid yang akan menjawab contoh soal lainnya dipapan tulis. Ya ampun, ini adalah sesi yang paling tidak disukai. Jantungpun juga tidak menginginkan sesi ini.

"Hm, semakin kalian terfokus pada buku, saya semakin ingin memanggil yang sedang membaca. Pasti sudah paham," ucap guru itu lagi.

Dan tanpa arahan pun seluruh siswa juga akhirnya memutuskan pandangannya dari buku mereka. Sungguh menarik atensi sang guru jika begini. Tanpa pikir panjang, guru itu segera menunjuk Zara sebagai siswi pertama untuk menjawab soal yang diberikan dipapan tulis.

"Tapi, bu, saya 'kan sedang tidak membaca," protesnya.

Gurunya hanya memberikan sebuah senyuman tipis sebelum menimpali kalimat protes Zara. "Tapi, saya lihat tadi kamu sangat memperhatikan ketika saya menjelaskan,"

Seperti seorang yang terkena asma mendadak, Zara susah payah untuk menelan salivanya sendiri, "Iya bu, saya memang memperhatikan, tapi bukan berarti saya paham apa yang ibu jelaskan tadi," Zara masih bersikeras untuk menolak panggilan itu.

Dengan berat hati pula Zara akhirnya maju dengan langkah yag sangat berat. Kenapa yang maju yang tidak mengeluh? Padahal, teman lainnya juga ada yang mengeluh. Zara sedang tidak beruntung hari ini.

Tepat didepan papan tulis putih, Zara memegang spidol yang akan ia gunakan untuk menjawab soal. Jangankan untuk menjawab, baru membacanya saja, kepala Zara sudah terasa berdenyut. Soalnya serumit perjalanan hidupnya. Hey, remaja SMA seperti Zara ini juga memiliki persoalan hidup yang tidak diketahui orang lain.

"Rumus yang digunakan sama seperti contoh saya,"

Baiklah, jika memang gurunya masih memaksa Zara untuk mengerjakabn soal, akan Zara selesaikan dengan caranya sendiri. Tangan kirinya sudah ia gunakan untuk membuka tutup spidol, membaca ulang soal yang tertera. Sepertinya Zara paham dengan soal yang harus dia kerjakan, dengan percaya diri yang cukup tinggi Zara mulai menuliskan rumus yang sama seperti gurunya contohkan. Tak tanggung-tanggung, dia juga sudah memasukkan angka yang berada disoal. Sayangnya, hanya sampai disitu, dirinya sudah tidak bisa melanjutkannya.

Sontak saja sang guru sampai melepas kacamatanya ketika Zara menutup kembali spidolnya. Dengan wajah polos, gadis itu tersenyum lembut sembari meletakkan kembali spidol yang ia bawa. Berniat untuk berjalan menuju kursinya, tapi suara sang guru membuat niatannya terhenti.

"Bu, saya hanya bisa mengerjakan sampai disitu, seterusnya sudah tidak paham," jawabnya.

-

-

-

"Kau nekat sekali melakukannya," ucap Annette.

Ya mau bagaimana lagi? Memang Zara tidak bisa melanjutkan soalnya. Zara juga yakin, jika soal itu diberikan pada Annette dan Cleo, mereka berdua juga pasti tak akan bisa mengerjakannya. Lagipula Zara pernah mendengar kalimat yang menyatakan jika kita hanya perlu mendalami apa yang menjadi bakat atau kesukaan diri sendiri. Sedangkan Zara hanya menyukai mata pelajaran yang berhubungan dengan sastra Indonesia, tidak dengan matematika. Jadi karena itu, Zara mengerjakan dengan sebisanya.

"Sudahlah, aku tak ingin membahasnya," balas Zara.

Ketiganya kini berada dikantin setelah melewati pelajaran matematika yang memusingkan kepala. Kini saatnya mereka menikmati waktu istirahat yang tak cukup panjang. Tidak perlu ke kantin untuk menikmatinya, cukup duduk santai di taman dekat perpustakaan sekolah, juga sudah membuat pernapasannya teratur kembali.

Baru beberapa menit mereka disana, kedua bola mata Zara melihat presensi yang menarik perhatiannya. Siapa lagi kalau bukan Bara. Dia tidak bisa melupakan kejadian kemarin sore. Itu malah dijadikan sebagai hiburan untuk Zara sendiri. Menggoda sedikit sepertinya menyenangkan.

"Donat," celetuk Zara tanpa alasan apapun.

Dua sahabatnya pun juga bergegas menoleh ke arah Zara. Tak ada angin maupun hujan, Zara mengucapkan makanan manis itu. Belum ada lima menit Zara mengatakan tidak ingin ke kantin, tapi saat ini dia malah mengatakan donat?

"Kau ingin donat?" tanya Cleo.

"Ah, tidak. Aku hanya membayangkannya saja, mungkin nanti ketika pulang, aku akan mengambil donat ditoko ibuku," alibinya.

Zara sengaja tidak ingin dua sahabatnya tahu tentang cerita dibalik donat yang tadi Zara ucapkan. Jangan sampai tahu. Bukan maksud untuk menyembunyikan, tapi memang Zara tak ingin sahabatnya berpikiran yang aneh tentang dirinya dan juga Bara.

Sedangkan laki-laki yang menjadi objek kejahilan Zara itu memilih abai dan meneruskan langkahnya sembari membawa gitar dipunggungnya. Pasti Bara akan berlatih gitar lagi. Kira-kira dia akan mengikuti acara apa lagi, ya? Kenapa Zara selalu tidak cergas mengetahui acara seperti itu?

Tanpa Zara ketahui, Bara itu juga masih merasa malu ketika kembali mengingat kejadian kemarin. Kalau dia bisa putar waktu, Bara lebih memilih untuk tidak meminta maaf pada gadis itu. Karena sudah meminta maaf pun, Zara masihlah gadis yang tidak bisa bertingkah lembut dan anggun. Bara tidak akan menyalahkan sifat bawaan gadis itu. Yang terpenting, Bara sudah tidak memiliki hutang untuk meminta maaf pada Zara. Dan dia bisa menjalani kehidupannya seperti biasa lagi.

Dasar gadis aneh—batin Bara dengan sikap yang dingin.