"Tidak apa-apa. Akan aku hargai pemberianmu ini,"
Zara menerima pemberian Bara itu, meskipun bagi dirinya sendiri terasa sangat aneh. Bukan apa, dirinya ini sudah tahu bagaimana rasa semua kue buatan tangan sang ibu. Tapi, jika menolak niat baik seseorang, Zara juga akan merasa lebih tidak enak. Terlebih dia adalah Bara, teman satu sekolah Zara.
Dan padahal Zara sendiri tidak ada rencana menyuruh Bara untuk berkunjung ke rumahnya, meskipun itu hanya sebentar. Tapi, ternyata ibunya melihat keberadaan dua remaja berlawanan jenis itu. Sudah ada sinyal yang tidak mengenakan jika begini. Kepala Zara sudah tidak bisa menebak apa yang akan terjadi setelah ini.
Pukul setengah enam sore, Bara masih berada dirumah Zara bersama dengan sang ibu. Sedangkan Zara berada didapur guna membuatkan minuman untuk tamunya itu. Tidak seutuhnya benar jika Zara tengah membuat minuman. Sudah lebih dari lima menit dia tak kunjung keluar, dan hanya berjalan bolak-balik didekat kompor. Jangankan menyiapkan minuman, gelas saja belum ada yang dia sentuh sama sekali.
"Kenapa belum dibuatkan minumannya?" tanya ibunya tiba-tiba.
Entah sejak kapan sang ibu sudah berada dibelakang tubuh Zara, hingga membuat Zara terkejut karena kedatangan. Detik itu juga Zara menatap sang ibu dengan tatapan kaku.
"Ada apa, Zara?" sang ibu kembali bertanya.
Belum Zara jawab, kedua bola mata ibunya tertuju pada kotak yang tadi Zara dapatkan dari Bara. Kedua tangannya membuka isi kerdus, dan terkejut ketika melihat ada enam donat yang tertata disana. Dengan cepat ibunda Zara kembali menatap sang putri. "Mama pikir, tadi kamu hanya mengambil cokelat dan beberapa roti saja. Tapi, kenapa ini ada enam donat?"
Zara menelan ludahnya susah payah, dia menarik nafas panjang sebelum menjelaskannya pada sang ibu. "Bukan Zara yang membawanya, tapi Bara," dia mengintip ke arah depan untuk memastikan Bara tak mendengar percakapannya dengan sang ibu. "Memangnya tadi Mama tidak melayaninya?"
"Tidak, Mama tidak melayani dia. Mungkin karyawan yang lain,"
Meninggalkan dua orang ibu dan anak itu, Bara diruang tamu seorang diri tengah merasa malu sekaligus bingung harus berbuat apa. Dalam hati dan pikirannya, Bara tengah merutuki dirinya yang melakukan hal bodoh sore ini, sampai membuatnya terjebak didalam rumah ini.
"Dasar bodoh," rutuknya dengan suara yang sangat lirih.
Tak lama setelahnya, Zara kembali keluar bersama dengan sang ibu sembari membawa penampan berisikan minuman untuknya. Rasa malu Bara semakin bertambah. Dia sama sekali tidak berani menatap kedua bola mata dua wanita didepannya.
"Terimakasih," hanya kata itu yang bisa Bara ucapkan saat Zara menaruh minuman didepannya.
Ketiga orang disana saling berbicara hingga beberapa jam. Sebenarnya, ibunda Zara khawatir jika Bara akan pulang terlalu malam. Walaupun Bara adalah seorang laki-laki, tapi dia tetap memiliki rumah dan juga orang tua pastinya. Dan jika dilihat, sepertinya Bara memang belum ada niatan untuk pulang ke rumahnya. Entah apa alasannya, bukan ranah Zara dan ibunya untuk mengetahui hal itu. Setiap orang juga memerlukan privasinya.
Sampai pada jam tujuh malam, akhirnya Bara segera pamit dari rumah Zara dan ibunya. Hati ibunda Zara akhirnya bisa tenang saat Bara sudah berdiri dan mencium tangannya sebelum benar-benar menghilang dari pandangan keduanya.
"Bagaimana dia bisa tahu rumah ini?" Zara terheran.
Bagaimana tidak? Bara sama sekali tidak pernah kenal dengan Zara sebelumnya. Jangankan untuk mengikutinya sampai disini, kapan dia membeli donat ibunya saja, Zara juga tidak tahu. Padahal, tadi ketika turun dari bus, dia hanya seorang diri. Gadis itu juga sempat mampir ke toko.
"Mungkin karena cinta itu butuh perjuangan? Yang dilihat dan diperhatikan oleh Bara, hanya Zara seorang,"
Seperti Deja vu saja, rasa-rasanya Zara pernah dengar kalimat yang hampir mirip seperti itu. Ah iya, itu kalimatnya kemarin saat menggoda sang ibu ketika gurunya datang ke rumahnya. Astaga, saat ini ibunya tengah membalas Zara rupanya.
"Ma, balas dendam itu tidak baik," ucapnya yang mencoba menampik ucapan ibunya. Lebih tepatnya, godaan yang ibunya lontarkan.
"Mama tidak balas dendam. Hanya ingin berbicara seperti itu saja," balas sang ibu yang tengah membereskan ruang makan.
-
-
-
"Bara, kau sudah pulang?"
Ah, suara itu adalah suara yang paling Bara benci. Untuk apa mendengarkannya? Tidak menguntungkan dan tidak merugikan juga untuknya. Dia hanya mengabaikan apa yang ayahnya katakan, dan terus berjalan ke arah kamarnya.
Suara gebrakan pintu berasal dari kamar Bara. Dia melempar asal tasnya menuju bawah meja belajarnya. Tak langsung membersihkan diri, Bara langsung berbaring diatas ranjang. Kedua bola matanya melirik ke arah jam dikamarnya, sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Sedikit malas juga untuk bergerak menuju kamar mandi.
Biasanya ketika pulang telat, ibunya akan mengetuk pintu kamarnya guna menanyakan apakah putranya sudah makan atau belum. Mungkin ibunya sudah tidur atau sedang mengurus adiknya. Bara juga tidak mengharapkan keharmonisan dari keluarga ini. Toh, dia sudah diajak makan malam bersama dengan Zara dan ibunya.
Hingga saat ini, kepalanya masih terbayang perbuatan bodohnya. Ditambah ketika makan malam, ketika ia melihat Zara, gadis itu hanya terdiam dan terfokus pada makanannya saja. Tapi, bagi Bara sendiri, dia bisa merasakan makan malam dengan suasana yang berbeda. Tak ada perdebatan diantara dirinya dengan anggota keluarganya.
"Sudahlah, membuatku semakin malu saja,"
Baru akan melangkah ke kamar mandi, pintu kamarnya terketuk. Bara hafal dengan ketukan ibunya. Dia kembali menaruh handuk ke atas ranjang dan membukakan pintu untuk sang ibu.
"Bara," panggil sang ibu dengan suara lembut.
"Iya, bunda," balasnya.
Dengan senyuman hangat dari wajah ibunya sudah cukup membuat Bara turut tersenyum.
"Sudah makan?"
Hanya beberapa anggukan kecil yang Bara gunakan untuk menjawab pernyataan ibunya. "Sudah, bunda," jawabnya.
"Ya sudah, kalau begitu cepatlah bersihkan dirimu dan beristirahat," titah sang ibu yang dibalas anggukan lagi oleh Bara.
"Iya, bunda. Bunda tidak perlu mengkhawatirkan Bara. Anak laki-laki bunda sudah besar, bisa menjaga dirinya sendiri,"
Mendengar kalimat putranya, membuat wanita dengan rambut sebahu itu tertawa lirih. Tangan kanannya juga sengaja ia ulurkan untuk memberikan usapan lembut pada pucuk surai Bara. "Selamat malam, sayang,"
"Selamat malam, bunda,"