Seperti biasa, sebelum memulai aktifitas sekolahnya, Zara selalu menyempatkan diri untuk sarapan terlebih dahulu. Dia bukan gadis yang suka memakan roti dipagi hari, dia lebih suka memakan nasi. Toh, Zara juga tak perlu menunggu waktu pagi untuk memakan roti berisikan selai, tinggal ambil ditoko ibunya juga bisa. Gadis itu tidak bisa meninggalkan jam sarapannya, tidak sarapan satu hari saja sudah membuatnya pingsan ketika upacara bendera. Hah, sebenarnya itu memalukan baginya, tapi acara pingsan itu bukan keinginannya.
Sampai suapan terakhirnya berhasil ia lahap, Zara segera meneguk segelas air mineral tepat disebelah piringnya. Ini berlaku juga untuk minuman, Zara tidak menyukai susu. Dia akan mengonsumsi susu, jika susu itu sudah dicampur ke dalam adonan roti buatan ibunya.
"Zara sudah selesai," ucapnya sembari mengambil tas coklat miliknya. Berjalan menghampiri sang ibu guna mencium tangannya. "Maaf, Zara tidak bisa membantu mencuci piring," itu adalah kalimat yang Zara ucapkan setiap paginya setelah menghabiskan sarapannya sebelum berangkat sekolah.
"Assalamualaikum," pamitnya.
"Waalaikumsalam, hati-hati," balas sang ibu.
Zara berlari menuju halte dekat rumahnya, dia khawatir jika bus yang menuju sekolahnya sudah berjalan sebelum dirinya naik. Karena, dia pernah sekali mengalaminya, dan membuat repot tetangganya untuk mengantarkannya sampai sekolah. Pun sebenarnya sang ibu sudah berkata akan membelikannya sepeda motor, agar Zara juga tidak kesulitan ketika akan berangkat sekolah. Tapi jawaban Zara selalu "Uangnya Mama tabung saja. Mempunyai motor itu akan menyulitkan kita untuk membayar pajak dan perawatan lainnya".
Jika mengingat ucapannya, hati ibunya pasti akan menghangat. Terkadang juga sampai menitikkan air mata. Itu juga yang membuat Zara tak ingin menyakiti hati ibunya, dia juga tak ingin melihat ibunya susah karena perbuatannya. Jadi, selama ini Zara selalu berusaha untuk tidak membuat masalah dimanapun, termasuk di sekolahnya.
Syukurlah, bus yang akan dia tumpangi baru saja berhenti di halte yang dia tempati saat ini. Dia segera melangkah memasuki dan mencari tempat kosong. Sayangnya, disana banyak dari sekolah lain yang sudah menempati banyak kursi. Untung saja masih ada dua bangku kosong, tapi Zara sedikit tak nyaman, karena hampir semua penumpang adalah laki-laki. Dia mencoba abai, dan duduk ditempat yang letaknya dibelakang.
Zara abai terhadap suara sekelilingnya yang membuatnya semakin tak nyaman. Perlahan bus itu bergerak, baru beberapa meter, kedua bola matanya melihat seseorang yang sangat ia kenal tengah mengejar bus itu. Ah, itu adalah Bara.
"STOP!!" teriak Zara guna menyadarkan sang supir.
Maniknya mengikuti langkah Bara yang mulai memasuki bus. Sudah pasti dia akan duduk tepat disamping Zara, karena hanya tersisa satu kursi yang belum ditempati. Sayangnya, tak melebihi ekspektasinya, Bara justru memilih berdiri ketika melihat Zara disana, sebelum akhirnya berbalik menghadap depan. Padahal Zara sudah baik hati untuk menyadarkan sang supir agar Bara bisa masuk.
"Bara, kursi sebelahku masih kosong," ucap Zara pada Bara dengan suara yang cukup untuk Bara dengar.
Belum mendapat balasan dari Bara, seorang remaja laki-laki yang menyahut ucapan Zara itu. Dia sudah membuat tatapannya malas ketika dengan kurang ajarnya remaja laki-laki yang tidak tahu dimana asal sekolahnya memasang wajah dengan senyuman miring.
"Biar aku sa—"
Belum sempat remaja laki-laki itu duduk tepat disebelah Zara, laki-laki pertama yang lebih dulu ditawari oleh Zara itu langsung duduk tepat disebelahnya. Seketika Zara mematung dengan dua bola matanya yang membola. Bara duduk tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Sedangkan laki-laki yang tadi akan duduk sebelah Zara, langsung kembali bersama dengan seluruh temannya. Untuk saat ini, Zara akan diam saja. Daripada dia berceloteh, justru membuat Bara pergi meninggalkannya.
Sampai sekitar sepuluh menit perjalanan menuju sekolah, akhirnya bus berhenti di halte dekat sekolah mereka. Bara menyuruh Zara untuk berjalan didepannya sampai keduanya turun dari bus. Tepat didepan gerbang sekolah, baru akan mengucapkan terimakasih karena sudah menolongnya dari laki-laki sekolah lain, malah Bara langsung menghalau pergi meninggalkannya. Kesal sekali, sudah dua kali dia melakukannya pada Zara. Karena juga sudah terlanjur ditinggal pergi, ya sudah Zara akan pergi ke kelasnya saja. Percuma jika disini dan hanya menatap kepergian Bara. Setidaknya, dia sudah ada niatan baik untuk mengucapkan rasa terimakasihnya pada laki-laki itu.
Selama berjalan menuju kelasnya, dari kejauhan Zara sama sekali tidak melihat ada anak laki-laki yang duduk diluar kelas. Tidak mungkin juga jika kelasnya sudah terisi oleh guru mata pelajaran pertama. Waktunya saja masih sekitar sepuluh menit untuk bel masuk. Perasaan Zara mulai tidak enak, dengan langkah yang terburu dia memasuki kelasnya. Dan benar saja, semua temannya tengah sibuk menulis pada bukunya. Ah, Zara baru saja ingat jika hari ini ada pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan. Rasanya ingin menangis saja, ketika melihat kertas folio yang masih kosong. Ini tugas Bahasa Indonesia membuat cerita pendek.
"Aaa," rengekan Zara mulai terdengar, dengan tangan yang mulai terasa pegal lantaran menulis setengah dari kertas folio. "Aku ingin menangis saja jika begini," ucapnya.
"Bodoh," umpat Annette tanpa melihat sahabatnya itu. "Jika kau menangis, tulisanmu semakin tak akan selesai," lanjutnya.
Sepuluh menit pun berlalu, begitu pula dengan bel masuk yang mulai berbunyi. Tangan Zara sudah bergetar hebat, dia takut jika tulisannya tak akan selesai. Dia berharap agar guru jam mata pelajarannya ini bisa datang terlambat untuk menyelesaikan tulisannya. Dan benar saja, tak lama guru yang sedari tadi dia takuti akhirnya datang.
Tapi, tunggu dulu, wajah guru itu sedikit terlihat panik. Dia menaruh buku yang dibawanya diatas meja guru kelas Zara. Dengan nafas yang sedikit tersengal, guru itupun berkata, "Bagi yang belum menyelesaikan cerita pendeknya, selesaikan dulu. Bapak akan mengurus siswa yang bertengkar," ucapnya dengan intonasi yang cepat.
Lega rasanya mendengar ucapan gurunya itu. Zara buru-buru untuk menyelesaikan tugas yang baru berjalan satu halaman folio. Tak sedikit pula dari mereka yang berbondong-bondong keluar kelas demi melihat perkelahian itu, tapi Zara masa bodoh. Yang terpenting saat ini adalah tugasnya. Siswa yang berkelahi itu bukan menjadi urusannya.
"Untuk kalian yang sedang bertengkar, tolong ya bertengkarlah lebih lama, agar aku bisa menyelesaikan tugasku," celotehnya pada diri sendiri dengan suara lirih.
Tangan kanannya dengan cepat menuliskan rangkaian kata yang tak tahu dia dapati dari mana. Asal ceritanya menyambung saja dan sesuai persyaratan dari gurunya, Zara juga sudah bersyukur sekali. Daripada dirinya sama sekali tidak mengerjakan. Yang menjadi penghalangnya adalah suara teman-temannya yang gaduh hanya untuk melihat keluar kelas. Zara jadi sedikit kebingungan untuk melanjutkan menulisnya.
Ayo Zara, tinggal satu halaman lagi. Kau pasti bisa—batin Zara sembari menatap tulisannya.