"Bukankah dia pemain yang handal?"
Gadis yang baru saja berkata itu adalah Zara, siswa kelas dua SMA dari jurusan IPA. Dirinya tengah menonton pertandingan basket bersama dua sahabatnya. Namun, Zara tidak terfokus pada jalannya permainan, melainkan seorang kapten tim basket yang memiliki tinggi badan sekitar seratus delapan puluh lima sentimeter itu. Pesona yang terpancar dari laki-laki itu mampu membuat Zara betah untuk menatapnya dari kejauhan. Bahkan, keduasahabatnya itu sampai malu, lantaran suara Zara paling menggema.
"Pelankan suaramu!"
"Kau yang berteriak, kami yang malu,"
Begitulah suara hati kedua temannya yang sudah ditahan dalam hatinya sedari tadi. Diawal pertandingan, Annette dan Cleo masih membiarkan Zara melakukan sesuatu sesuka hatinya, tapi semakin dibiarkan, tingkah Zara malah semakin melunjak. Padahal, yang mengajak menonton pertandingan basket ini adalah Annette. Gadis itu ingin melihat kekasihnya yang sedang bertanding juga. Sayangnya, kekasih Annette adalah lawan dari kapten tim basket yang Zara soraki sejak tadi.
Pasalnya, tim dari kekasih Annette selalu tertinggal poin dengan tim yang Zara dukung. Doakan saja agar tak terjadi perang antar dua gadis ini, dan semoga saja Annette tak termakan oleh ledekan Zara. Annette sangat mengerti bagaimana sikap Zara yang tengil, hingga seringkali membuat orang kehilangan kesabarannya setelah melihat tingkahnya. Salah satu sikap Zara, ketika tim yang dia dukung berhasil memasukkan bola ke dalam ring, Zara selalu menjulurkan lidahnya pada Annette. Tangan Annette sudah gatal ingin menarik lidah sahabatnya itu.
"Hei Zara, memangnya kau kenal dengan kapten tim basket yang kau dukung itu?"
Adalah Cleo yang mendadak bertanya ketika Zara masih asyik meledek Annette. Jika Zara harus menjawab jujur, dia sama sekali tidak mengenalnya. Hanya sering melihat wajahnya dikelas sebelah. Tapi siapa peduli dengan namanya? Penampilan dan kedudukan yang keren adalah poin terpenting bagi Zara.
"Tidak," jedanya yang memutar kedua matanya pada laki-laki itu. "Dia tinggi, tampan, memiliki kulit yang bagus, postur tubuhnya juga indah. Sudah cukup untuk kriteria yang wajib didukung," tambahnya.
"Tapi, kau tidak memuji kehebatannya," ucap Cleo lagi.
Gadis yang baru saja menelan boba itu kembali menimpali ucapan Cleo, setelah menaruh minumannya. "Ey, kita bicara yang realita saja. Tak selamanya sebuah kehebatan itu akan ada pada dirinya, bisa saja setelah ini atau babak kedua nanti, tim Yono akan lebih hebat daripada tim kapten tampan itu,"
"Nama kekasihku Yohan, Zara," protes Annette karena Zara salah menyebutkan nama kekasihnya. Dia sampai memijat pelipisnya, karena lelah dengan Zara yang sering salah dalam pengucapan kata.
Yang diprotes pun hanya tersenyum sembari menjentikkan jarinya pada Annette. Mau bagaimana lagi? Annette dan Cleo itu memiliki tingkat kesabaran diatas dewa. Jika Zara memang jatah untuk menjadi sahabat mereka, dua gadis itu hanya bisa menerimanya, meskipun mereka berdua harus menerima tingkah aneh Zara. Pertandingan ini saja belum memasuki babak kedua, Zara sudah merasa bosan karena terlalu lama duduk dan hanya menonton satu bola yang diperebutkan banyak orang. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Zara langsung berdiri dan siap untuk meninggalkan dua sahabatnya. Sebelum pergi, Zara kembali memandang presensi kapten tim basket itu, lumayan bisa dijadikan sebagai asupan terakhirnya.
Baik Annette maupun Cleo, mereka berdua juga tidak menyadari kepergian Zara dari lapangan basket. Bahkan, suara pergerakan Zara saja tidak terdengar pada rugu mereka. Dan saat Cleo menoleh ke arah belakang, dirinya baru menyadari tidak adanya Zara dibelakang tubuh mereka. Annette tak akan menyadari, karena lebih terfokus pada pertandingan kekasihnya. "Sudahlah, tidak usah dicari. Kau seperti tidak mengerti Zara saja," kata Annette.
-
-
-
Langkah dari kaki bersepatu putih itu diarahkan pada lorong sekolah yang nampak sepi. Kentara sekali jika Zara memang bosan, mentang-mentang tidak ada orang disana, dengan seenaknya dia menghentakkan kakinya hingga menimbulkan suara. Barulah Zara berhenti ketika suara seorang guru baru saja .
memasuki rungunya.
"Zara!" ucap salah satu guru pria yang berjalan mendekati Zara. "Kenapa kamu pakai sepatu berwarna putih? Ini hari Senin," tegur guru itu ketika melihat sepatu Zara.
Sontak Gadis itu menoleh ke arah datangnya suara. Guru dengan seragam coklat ini menekuk alisnya, kedua matanya juga memandang dengan tatapan yang menyalang. Tidak, Zara tidak merasa gelisah ketika guru itu sudah berada dihadapannya. Yang ada, Gadis itu malah memberikan senyuman terindah miliknya.
"Eh bapak. Hari ini kan classmeeting, bukankah seluruh siswa boleh memakai sepatu berwarna bebas?"
Guru itu nampak memegang kepalanya, "Oh iya, bapak lupa," ucapnya.
"Lagipula, bapak tega sekali memarahi calon anak sendiri,"
Sekedar informasi, Zara memang gadis yang dibesarkan seorang diri oleh ibunya. Kedua orang tuanya bercerai ketika dirinya berusia delapan tahun. Sebenarnya masih terlalu kecil untuk mendapatkan kurangnya rasa kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuanya, tapi Zara juga tak bisa menyalahkan keadaan. Toh, kedua orang tuanya melakukan itu juga pasti ada alasannya. Saat itu, tugas Zara hanya sekolah dan bermain.
Dan kenapa Zara berkata jika dirinya adalah calon anak dari guru itu? Jawabannya, karena guru itu menyukai ibunya. Disamping itu, Zara juga bisa menghindari hukuman dari guru itu dengan menggunakan nama ibunya.
Setelah Zara berkata seperti itu, sikap dari guru itu mendadak memasang raut wajah tersenyum, dirinya juga meminta maaf pada Zara dengan tangan kanannya terulur guna menepuk pelan pucuk kepala gadis itu. Sudah pasti Zara merasa menang, memang menggunakan ibunya itu bisa membuat dirinya disayang oleh guru ini. Tapi, tak lama setelahnya, gadis itu bertanya setelah menyadari sesuatu.
"Bapak dari mana?"
Mendengar pertanyaan Zara, guru itu menoleh sekaligus menunjuk tempat yang baru saja dia keluari sekitar satu menit lalu. "Bapak baru saja melatih murid. Dia yang akan mewakili sekolah untuk pertunjukan seni musik," jawabnya.
Pertunjukan seni musik? Zara belum pernah tahu jika sekolahnya ini memiliki murid yang akan mewakili, atau memang dirinya saja yang tidak mengetahuinya? Lantas Zara hanya menaikkan bahunya dan berniat untuk pergi dari sana. Baru akan pamit, samar-samar Zara mendengar alunan musik itu, yang tadinya ingin masa bodoh, saat ini malah dirinya penasaran.
"Jangan kesana," cegah guru itu ketika melihat Zara melangkahkan kakinya menuju tempat yang tadi dia tunjuk. "Anak itu tidak suka disaksikan banyak orang. Lebih baik jangan mengganggunya," tambah guru itu.
Ingin sekali terlihat misterius—batin Zara.
Mau dilarang bagaimanapun, Zara tetap ingin melihatnya. Dia tidak suka dibuat penasaran, apalagi sampai ditahan seperti ini. Dan detik itu pula, Zara membujuk gurunya menggunakan nama ibunya lagi. Jika tidak begitu, dia tak akan diizinkan untuk melihat.
"Baiklah, bapak izinkan. Tapi hanya dari kejauhan, dan tidak mengganggunya," perintahnya.