Chereads / I have to Love You / Chapter 19 - Di balik perasaan itu.

Chapter 19 - Di balik perasaan itu.

Aku bersembunyi, aku bersembunyi di balik punggung tegapnya. Pria bertubuh 185 cm ini menutupi tubuhku yang cukup tinggi, yakni 172 cm. Aku benar-benar malu di antara mereka berdua. Yah, dua pria ini benar-benar membuatku muak!

"Hei!!" cecahku menarik tubuh Jebran secara kuat.

Aku memasuki kedua tatapan mereka. Pandanganku tidak lagi ramah ataupun takut, karena diriku memang seorang wanita pemberani. Aku sesekali memandang Jebran dan Dilan secara bersamaan.

Keduanya terpelangah kaget saat diriku berada di hadapan mereka yang hendak bermain tangan.

"Kalian tidak malu?! Hah! Apa tidak malu di tengah-tengah jalan seperti ini? Lihat mereka! Mereka melihat kita layaknya orang gila!" jeritku mendalam.

"Emira," lirih Jebran.

"Jangan panggil aku! Aku malu!"

Aku mengibaskan tangan Dilan yang hendak memegang tanganku. Namun tubuhku bergegas pergi dari keduanya.

"Emira, tunggu!" pekik Dilan.

Aku tidak menghiraukan mereka lagi. Aku bahkan tidak menatap mereka lagi. Orang-orang sudah mengetahui rahasia kami. Di mana rasa malu sudah menggerogoti urat maluku dalam-dalam.

Wajahku seketika cemberut bersamaan langkahku ke seberang jalanan. Aku memasuki sebuah kafe tempat makanan terlezat.

Aku mulai mengantri makanan cepat saji. Ayam kentaki dan masih banyak lainnya.

Aku berdiri di depan kasir wanita, "Aku pesan satu porsi ayam dengan nasi putih, satu kentang goreng dengan minuman mineral dingin."

"Baik, Nona. Tunggu sebentar!" sahut si kasir.

"Jumlahnya empat puluh lima ribu rupiah, Nona!" ucap si kasir.

"Ini uangnya."

Aku menunggu pesananku untuk menyantap makan siangku.

Entah kenapa? Mereka berdua tetap mengikuti diriku dengan bersama-sama memesan makanan di sini. Aku berjalan tanpa menoleh ke arah kedua pria ini dengan mendongakkan dagu ke atas.

Di meja kosong aku mulai menyantap makanan itu dengan lahap.

"Hei, duduklah di sana!" usir Jebran yang duduk mengambil posisi di depanku.

Aku menyantap sembari memperhatikan tingkah keduanya yang saling berebutan.

"Hei! Duduklah di sini!" teriakku.

Keduanya akhirnya saling mengalah untuk duduk bersamaku. Keduanya akhirnya menyantap makanan dengan lahap seperti yang aku lakukan. Aku menghabiskan daging ayam tanpa bersisa sedikit pun.

"Wah! Aku belum pernah melihat wanita makan sebanyak ini!" ucap Jebran menggeleng-geleng.

"Ini belum seberapa! Di rumah, dia akan makan dalam jumlah dua porsi," beber Dilan.

"Makanlah! Jika tidak, punya kalian akan kumakan semuanya," geramku mengunyah sisa makananku.

"Ambillah punyaku!" tawar Jebran.

"Hah!" sebutku.

Kulihat Jebran menawarkan sisa ayam satu yang belum ia habiskan.

"Kenapa kau pesan ayam dua?" keluhku.

"Satu untukmu!" ungkapnya.

"Ambillah!" lanjutnya.

Aku pun mengambil ayam milik Jebran dengan cekatan. Tanpa kuragukan lagi tentang mereka berdua yang tadinya sempat beradu mulut.

"Lihatlah dia! Punya orang lain habis dia makan," lirih Dilan menggeleng-geleng.

"Dia ingin memakan bekasku. Berarti dia menyukai diriku!" tutur Jebran.

Sontak aku menghentikan gigitan terakhir dari paha ayam tersebut, saat yang kudengar sangat menjijikkan!

"Apa kau bilang? Menyukaimu?!" kelitku.

Aku meletakkan kembali ayam yang kumakan di piring. Lalu beranjak pergi untuk mencuci tangan.

"Hah! Emira," panggil Jebran melambai.

"Hahaha," kekeh Dilan menghabiskan makanannya. Dilan pun tak lama beranjak, sedangkan aku segera mengambil minuman lalu bergegas pergi dari sana.

"Emira, tunggu!"

Jebran mengejarku sampai keluar dari tempat makan cepat saji. Aku tidak menghentikan langkahku. Rasanya sangat menyakitiku jika harus mendengar ucapan yang sangat menjijikkan itu!

Aku meminum air dalam botol sambil berhenti sejenak. Jebran tiba tepat di belakangku, ia pun meraih lenganku sembari membisikkan sesuatu, "Emira, maafkan aku. Aku tidak sengaja menyakitimu."

Aku menoleh ke arah pria kaya ini dengan raut datarku, "Kau mengejekku lalu kau meminta maaf?!"

"Aku tidak sengaja," keluhnya.

"Begitukah caramu merendahkan orang lain?!" ringisku.

"Emira," panggilnya.

"Sudah cukup hanya kepadaku. Tapi, jangan pernah kau lakukan kepada orang lain! Kudengar kau lebih dingin dari anak buahmu sendiri. Dan bahkan ada yang lebih kejam terhadap mereka, maaf."

Aku melepaskan tangan Jebran secara mentah-mentah. Wajahku dan wajahnya bersilangan. Dilan memperhatikan kami berdua yang kelihatan tidak baik-baik saja.

Mungkin, dia berpikir? 'Akhirnya Emira akan berpaling darinya. Dan aku akan mengambil kesempatan buta ini.' Dilan tersenyum sinis di balik punggung Jebran.

"Selamat bertugas, Pak Bos! Aku ingin kembali ke kantorku. Sampai jumpa!" ucap Dilan.

"Oh, yah! Emira bukan wanita murahan seperti yang lainnya. Sungguh beruntung mendapatkan dirinya! Dan aku tidak akan membiarkan Emira jatuh hati kepadamu," tutur Dilan mengacungkan telunjuk ke arah Jebran yang hanya terpaku diam.

Jebran memperhatikan keduanya menjauh darinya. Wajahnya meluntur lalu mengabaikan luka pergi begitu saja. Pandangannya mulai tertunduk saat dirinya merasa bersalah.

***

Dari kejauhan, tampak Mehmed sedang berdiri dari seberang jalanan. Dirinya seorang melihat aku yang berjalan menuju pintu kantor.

"Tuan, ada Dilan di sana!" bisik si pria menghampiri dirinya.

Mehmed berbalik menatap si pria itu lalu membalas, "Apa dia berhasil membujuk putriku?"

"Kurasa belum, Tuan. Kita masih menunggu!" sebut si pria.

"Awasi Dilan! Aku tidak ingin dibodohi oleh anak kecil seperti dia," perintah Mehmed.

"Baik, Tuan!" tandas si pria menjauhi Mehmed.

Ia pun kembali menatap salah seorang pria yang berjalan menuju perkantoran. Tampaknya Jebran menatap Mehmed dari kejauhan. Jebran penasaran dengan sosok Mehmed.

Dalam pikirannya, "Kenapa pria tua itu?" gumam Jebran mengerutkan kening.

"Siapa dia?!" keluhnya.

Mehmed merasa tidak nyaman dengan tatapan Jebran dari kejauhan menatap dirinya. Akhirnya, ia pun bergegas pergi dari pandangan Jebran.

"Wah, dia pasti mencari seseorang," pikir Jebran.

Lantas, siapa yang akan mengenal Mehmed—mafia gelap itu? Secara nyata, Mehmed tidak akan pernah muncul di hadapan publik.

Jebran memasuki pintu rasa cemas dan penasaran. Akan tetapi, dia seakan mengingat jelas raut wajah si pria itu.

"Aku bisa mengingatnya," ucap Jebran.

"Tapi samar-samar," keluhnya.

Semua memperhatikan Jebran dengan gugup. Para pekerja sedikit segan kepadanya dengan menundukkan pandangan terhadapnya.

Dari sikap Jebran memang sangat dingin lagi tegas. Tidak ada nada senyum lagi hangat kepada bawahannya sekalipun.

***

Mehmed memasuki mobil miliknya. Seseorang duduk di depan dirinya untuk bersiap mengendalikan kemudi.

"Kita mau ke mana, Tuan?" tanya supir.

"Aku ingin menyapa seseorang," sebut Mehmed.

***

Di depan pintu gerbang, Maila tertegun saat yang dilihatnya adalah sosok suaminya sendiri. Saat Maila hendak keluar dari rumah. Mehmed berjalan mendekati mantan istri dengan senyum tipisnya.

"Lama tidak berjumpa," sapa Mehmed.

"Hah! Kau?!!" sergah Maila tertegun.

"Ba-bagaimana kau bisa sampai ke sini?!" seru Maila—ibuku.

"Hahaha, kau masih belum mengenalku?" sebut Mehmed dengan senyum liciknya.

"Kenapa kau kemari?!" Maila memelotot ke arah mantan suaminya itu.

"Jangan marah dulu! Aku ke sini untuk menjenguk putriku. Kulihat, dia tumbuh dewasa!" tutur Mehmed.

"Jangan pernah mengganggunya!" kelit Maila.

Keduanya hanya berdiri tanpa menyakiti. Akan tetapi, Mehmed mulai membisikkan sesuatu.

"Aku akan mengambil dirinya. Dan aku akan merampas semuanya, termasuk orang-orangmu! Aku akan membalas atas kematian adik sepupuku itu."

Maila memukuli Mehmed dengan kasar hingga kedua body guard memegangi tangan Maila secara kuat. Mehmed membiarkan anak buahnya untuk melepaskan tangan Maila.

"Ingat kata-kataku!" sebut Mehmed sembari meninggalkan Maila dengan raut cemasnya. Tubuhnya melemah sambil meratap pilu.

Kepergian Mehmed membuatnya semakin terkikis.

"Dasar pria brengsek!"

Anda akan menemukan kejutan di bab berikutnya. Kira-kira seperti apa cerita selanjutnya?

Ikuti terus hingga akhir. Tambahkan ke raknya, review cerita dan undi hadiahnya.

Sekarang juga!

Follow juga ig : @rossy_stories.

Terima kasih telah meluangkan waktu untuk sepatah kata dari cerita ini.