Malam menguasai daratan bahkan lautan. Angin malam mulai membelai lembut di balik-balik rambut serta kulit wajahku. Aku menutup mata sembari menetes air mata di pinggiran jembatan tua.
Katanya itu tempat yang paling ditakutkan oleh semua orang. Aku masuk ke dalam jembatan ancol.
Beginilah aku, jika harus merasa sakit tak pernah pulang ke rumah.
Aku menepi lalu meratapi semua itu dengan kesendirianku. Tapi, tidak juga untuk melakukan hal-hal bodoh.
"Bagaimana bisa Dilan melakukan ini padaku?!" gerutuku sembari meremas rambutku.
Tampak seseorang dari belakang memperhatikan tingkahku yang agak aneh itu. Dia—Jebran menyelinap masuk menguntit diriku.
Aku mendengar telapak sepatu mendekati diriku lalu ia menyapa dengan lembut, "Emira, kau kenapa??"
Aku terperanjak akibat suara itu, cepat-cepat aku menghapus air mata yang sudah terlanjur membasahi pipi mulusku.
Aku menoleh ke sumber suara dengan raut datar. 'Jebran,' gumamku dalam hati.
"Jebran," panggilku lirih ke arahnya.
"Kau menangis?" Dia mendekati diriku sembari menahan tawa.
Aku memundurkan langkah dengan rautku yang mulai berubah menjadi tegang. 'Kenapa pria ini bisa menguntitku sampai di sini?'
"Kau ini kenapa? Seperti melihat hantu saja!" Jebran menangkap lenganku agar tidak menjauh dari dirinya.
"Ah!" kelitku.
"Ayo kita duduk di sana! Aku juga butuh seorang teman," ajaknya menarik lenganku dengan paksa.
"Hei!" jeritku terhadapnya.
Aku pun akhirnya mengikuti langkahnya menuju sebuah kursi santai yang tak jauh dari sana. Tubuhnya berbalik lalu mendorongku untuk duduk.
"Kenapa? Kenapa kau ada di sini? Apa kau mengikutiku sampai di sini?!" tanyaku berkali-kali.
Matanya mulai memandang jelas wajahku, ia pun mengambil posisi duduk di sampingku.
Aku hanya menatap dirinya dengan jelas bahwa pria ini benar-benar berbeda terhadapku.
"Aku melihatmu, aku melihat semuanya. Aku melihat wajahmu yang murung lalu aku mengikutimu ke mana pun kau pergi. Kau tahu? Mungkin, aku agak aneh di dalam kantor. Terlalu keras, sombong dan sedikit dingin. Aku saja heran, ketika berhadapan denganmu semuanya tiba-tiba berubah," ujarnya lalu menoleh ke wajahku.
Deg!
Jantungku merasakan hal yang sedikit terguncang. Pria ini menjelaskan sesuatu tapi bisa aku mengerti. 'Apa dia benar-benar menyukaiku?' Ah, tidak, tidak. Aku harus yakin, dia hanya menghiburku saat ini.
"Lalu kenapa kau menolak darinya?!" tanya Jebran menatapku.
"Apa aku harus mencintaimu!" lontarku padanya.
Benar! Aku menatap pria yang ada di hadapanku dengan serius. Aku mendengar kata-katanya yang layaknya lampu hijau. Suatu pertanda dia benar-benar menyukaiku.
"A-apa yang kau katakan?" ucapnya.
Aku menggelengkan kepalaku secara spontan. Bodohnya diriku saat melontarkan kata-kata itu di depannya.
Aku mulai tertunduk malu lalu mendongakkan dagu menatap langit.
Jebran menatapku kagum, hal ini juga berbeda. Wajahnya terpesona dengan hidung mancung dan raut cantikku.
Aku tersipu malu olehnya. Cinta tak bisa dipaksakan oleh sesuatu. Aku bahkan membenci Dilan dalam sekejap.
"Kau cantik!" sebutnya.
Aku menurunkan daguku lalu menatapnya.
"Oh, tidak! Maksudku pemandangan di sampingmu. Ngomong-ngomong, kenapa kau mengatakan seperti itu?" Jebran mengalihkan pembicaraannya.
"Entahlah! Aku hanya mengatakan secara spontan. Aku ingin pulang saja," putusku sembari berdiri. Aku mulai memilih jalan beberapa langkah, namun berhenti ketika.
"Emira," panggil Jebran.
Dia memanggilku satu kali. Aku terpaksa menoleh lalu mengukir senyum, "Yah, ada apa?"
"Izinkan aku mengenalmu lebih dalam!" pintanya.
Serasa angin berembus lembut dengan menyerobot ke dalam celah-celah baju dan rambutku.
Aku hendak membungkus angin ke dalam sebuah kantong agar tidak membuatku merasa mual karena angin itu.
Kata-katanya sungguh membuatku tegang sekaligus terjatuh dalam buaian hasrat.
"Hem," sahutku mengangguk mantap. Senyumanku menebar lebar ke arah pria tampan itu. Aku pun mendekati pria itu lalu mengulurkan tangan.
"Kenapa?" tanya Jebran.
"Kita bisa mengawalinya sebagai teman," ucapku.
Jebran meraih tanganku lalu meninggalkan senyum ke arahku. Baru kali ini aku terkejut melihat senyuman hangat darinya.
Selama ini hanya senyuman tipis lagi sinis. Inikah keikhlasan yang selama ini ia simpan dalam hati?
"Kenapa kau tidak tersenyum pada kami selama ini?!" gerutuku.
"Tidak untuk di kantor. Tapi, di luar aku adalah teman yang lebih untukmu. Alasanku tidak pernah senyum di kantor untuk kebaikan diriku dan karyawanku agar mereka segan kepadaku!" ungkapnya.
Aku tersenyum dan melepaskan tanganku dari genggamannya. Aku pun berjalan memimpin jalan, diikuti oleh pria ini.
Aku tertawa dalam hati seakan-akan melihat tingkah lucu lagi konyolnya. Ternyata selama ini, Jebran hanya berpura-pura dingin terhadap orang lain.
Demi reputasi, ia lakukan sepenuh hati dengan tanggung jawabnya.
***
Mata Mehmed memperhatikan ruangan sekitar rumahnya. Kini, dengan beberapa koper berisi miliknya akan bersiap berangkat di pagi hari.
"Apa ada yang mau dibawa lagi, Tuan?" tanya salah seorang pria terhadapnya.
"Tidak usah. Aku ke sana hanya untuk menjemput putriku," ungkap Mehmed.
"Ayo kita berangkat!" ajak Mehmed kepada dua body guardnya.
Mehmed melangkah maju menuju pintu depan untuk meninggalkan rumah besar itu. Rambut licin, sepatu mengkilap, jas hitam yang rapi dengan cincin batu melingkar indah di jari-jemarinya.
Pastinya asap rokok selalu melekat di sela jari. Ia pun menjatuhkan puntung rokok ke jalanan rumahnya, lalu diinjak olehnya dengan kasar.
Seseorang membuka pintu dengan membungkukkan punggung setengah.
"Hem," dengusnya sembari memasukkan tubuh ke dalam mobil.
Mobil mewah itu meninggalkan lokasi rumah besar menuju bandara. Kini, perjalanan yang sebenarnya ia lewati menggunakan pesawat terbang.
Penerbangan sudah melambai pergi. Mehmed akan menyusul putri kesayangannya. Sedangkan aku? Sudah memutuskan untuk tidak melihat sosok ayah lagi.
Ayah tiba di lokasi dengan selamat.
Tidak menunggu aba-aba, ia pun pergi ke tempat tujuan.
***
"Di mana dia?!" tanya Mehmed ke depan Dilan yang berdiri di tengah ruangannya.
"Berikan aku waktu! Aku tidak bisa melakukannya untukmu, jika kau terus memaksa," lontar Dilan.
"Tidak semudah itu mendapatkan Emira, anakmu. Tapi, aku bisa membawanya dengan perlahan," usul Dilan.
"Tapi, apa paman tidak takut denganku yang berstatus sebagai Polisi?" timpal Dilan mencoba mengancam balik.
"Hahaha, apa kau akan berusaha menghindar dari adikmu yang lemah itu? Bahkan, aku juga punya alasan untuk tidak takut kepadamu," sebut Mehmed dengan senyum sinisnya.
Dilan menyerang dirinya sendiri.
Hendak berlari, namun terperangkap dalam jala yang sudah melekat dirinya. Lalu, apa alasan lain dari Mehmed yang tidak takut kepada Dilan?
Seketika Dilan mengingat kejadian yang pernah menimpa dirinya.
Dilan menusuk seorang pria yang sudah menyerang dirinya di saat tubuhnya masih menggunakan baju seragam putih abu-abu. Di dalam ruangan yang gelap.
Pria itu tak berdaya dengan dilumuri oleh banyak darah. Dilan menatap perlawanan itu dengan sangat kacau saat pisaunya sudah beralih ke tangannya.
Sedangkan Mehmed dan rekannya terlambat datang ke lokasi yang menewaskan salah satu rekannya, yakni adik sepupunya sendiri.
Dilan mematung layaknya tak berdosa.
Dirinya mulai bergemetar akibat kejadian yang tidak terduga itu.
Mehmed menatap Dilan dengan satu kata, "Biarkan aku menyimpan rahasia ini sampai kau dewasa."
Dilan membungkukkan punggungnya sembari meremas kepalanya dengan segala penyesalan. Apa yang sudah membuat dirinya begitu berani melangkah maju ke tindakan itu?
Sedangkan ia malah berpura-pura tak berdosa dengan menjadi seorang Polisi.
Lalu, bagaimana dengan tatapan Dilan dan Mehmed yang sekarang ini?