Mataku tak sanggup menatap raut wajah Daichi dengan penuh isi makanan dari dalam mulutku. Namun, ia sempat menyoroti diriku dengan hitungan beberapa detik, lalu merunduk karena sedikit malu. Entah malu atau tidaknya, aku rasa memang agak canggung ketika melihat lelaki yang menyukai kita menjadi seorang teman.
Apalagi aku pernah mengalaminya di Indonesia, dan itu pun terjadi pada sahabatku sendiri. Resahnya bukan main! Akan tetapi, aku sudah biasa dengannya dan dia pun sudah biasa denganku. Jadi, kami baik-baik saja.
Aku memikirkan keadaan mereka yang ada di Indonesia. Mereka pasti menunggu kepulanganku dalam dua tahun ke depan.
Aku mulai beradu menatap raut Daichi yang sempat tidak merasa nyaman denganku, tanganku dengan gesit melambaikan wajahnya perlahan.
"Hei, ayo cepat habiskan makananmu!" sosorku.
Daichi yang tak kuasa menegang dengan menatapku, akhirnya meluapkan tawa kecil ke arahku. "Hahaha, maafkan aku, Emira," sebutnya.
"Jangan sungkan!" timpalku.
