Alara baru saja meletakkan peralatan makan yang telah selesai digunakan untuk menyuapi Erina. Arvin menghampiri istrinya dan bertanya, "Bagaimana keadaan Mama?"
"Sekarang sudah lebih tenang, Mas! Mama sedang istirahat setelah selesai makan," jelas Alara.
"Aku akan membawa Mama pergi ke Yaman. Aku tidak ingin Mama dihantui rasa takut setelah keluarnya Kevin dari penjara."
"Itu ide yang bagus, Mas. Aku tidak tega jika harus melihat Mama ketakutan berlebih seperti tadi. Begitu besar yang sudah dilakukan pria itu sehingga membuat Mama seperti ini."
"Maka dari itu, aku ingin Mama menenangkan diri terlebih dahulu di sana bersama tante Dina, adik Papa."
"Lakukanlah yang terbaik untuk Mama, Mas!" Arvin tersenyum dan mengelus pucuk kepala Alara yang tertutup kerudung.
"Terima kasih karena telah memperhatikan Mama dengan sangat baik."
"Tidak seperti itu, Mas! Sejak awal bertemu, entah kenapa aku begitu menyayanginya seperti ibuku sendiri. Dengan semua kebaikan serta kerendahan hatinya membuat semua orang menyayanginya."
"Tapi mereka tidak seperti dirimu."
"Tidak Mas. Mereka sama seperti diriku, hanya saja mungkin aku lebih beruntung dari mereka karena aku bisa menikah denganmu." Ukiran di kedua sudut bibir yang terangkat ke atas menyadarkan Arvin betapa cantiknya sang istri walau tanpa polesan. Berbeda dengan Zemira, meskipun dia juga cantik namun tetap sedikit dempulan selalu membalut wajahnya.
"Baiklah mari aku antar pulang untuk mengambil beberapa baju serta kebutuhanmu selama tinggal di sini!" ajak Arvin.
"Iya." Keduanya berlalu dari dapur.
"Tolong kamu di sini dulu ya! Aku pulang sebentar mengantar Alara mengambil beberapa helai pakaian!" pamit Arvin kepada Ansel.
"Iya, jangan lama-lama aku masih ada urusan." Ucap Ansel memperingati.
"Iya tenang, memang urusan apa sih? Jomblo aja bergaya." Ansel Cuma berdecak sebal kepada sepupunya, dia memilih pergi meninggalkan keduanya menuju taman belakang.
"Dasar, patah hati dipelihara terus," celetuk Arvin membuat Alara penasaran.
Di dalam mobil, Alara mempertanyakan kebenaran dari ucapan Arvin. "Memangnya kak Ansel pernah patah hati, Mas?" tanya Alara serasa tidak percaya jika pria setampan Ansel pernah merasakan sakit hati karena cinta. Dari yang dia tahu, biasanya cowok tampan itu lebih mengarah kepada pria hidung belang. Eh tunggu, kan tidak semua pria tampan hidung belang. Apa lagi kalau dilihat dari wajahnya, Ansel adalah tipe laki-laki sempurna untuk ukuran manusia. Dia pun tergolong pria dengan segala kelebihan baik fisik maupun kecerdasan dan beberapa keahlian yang telah dimilikinya.
"Kenapa? Apa kamu begitu penasaran dengan kehidupan dia?" Alara menghela nafas cepat.
"Bukan Mas. Hanya saja aku tidak terlalu percaya jika kak Ansel sampai patah hati. Secara dia itu adalah pria sempurna, setahuku." Arvin mengernyitkan keningnya, lalu kembali lagi fokus menyetir.
"Apa kamu menyukainya?" kembali lagi Arvin malah balik bertanya. Alara terkekeh.
"Hahaha mas Arvin jangan melawak deh. Aku kan sudah punya kamu, Mas. Dan aku tidak mungkin mudah berpaling hati karena hati ini sudah terpaut untuk satu orang yaitu kamu!" menyadari jika dirinya sudah terlalu banyak bicara, Alara pun menutup mulutnya menggunakan kedua tangannya.
"Maaf, Mas!" ujarnya menunduk penuh penyesalan.
"Kenapa minta maaf?"
"Eh, apa Mas?"
"Kenapa harus minta maaf?"
"Ehm, aku sudah terlalu banyak bicara hal yang tidak penting!" Arvin mengangkat satu sudut bibirnya. Sepertinya rencana sudah berhasil 50 persen untuk membuat gadis itu jatuh cinta padanya. Arvin pun menghentikan mobilnya di tepi jalan.
Alara celingukan bingung, kenapa Arvin menepi dan mematikan roda empatnya? "Mas, kenapa kita berhenti ditempat sepi seperti ini?"
"Keluarlah!" meskipun bingung, tapi Alara menuruti permintaan Arvin.
"Mas!" bibirnya segera di tutup oleh jari telunjuk Arvin.
"Diamlah!" Arvin menggandeng mesra tangan Alara menuju sebuah danau yang memang terletak tak jauh dari jalan raya yang mereka lewati.
"Duduklah!" Arvin menepuk bangku disebelahnya agar Alara menurunkan bobotnya disamping sang suami.
"Kenapa mas Arvin mengajakku kesini?"
"Apa tidak boleh aku mengajak istriku berkencan?" Mata Alara seakan ingin lepas ketika telinganya mendengar pernyataan Arvin.
"Kencan?"
"Tentu saja, tidak ada yang salah dengan itu kan? Bahkan kita suami istri, kamu bisa menganggap ini sebagai kencan." Pipi Alara bersemu merah, rona kebahagiaan nampak jelas di wajah cantik gadis itu. Arvin menyeringai di balik wajah tampannya.
Sebuah sentuhan hangat bisa Alara rasakan di pundaknya. Jangan tanyakan bagaimana detak jantungnya yang seakan berhenti berdetak. Dia begitu tegang diperlakukan seperti itu, setelah sebuah pelukan dari belakang. Lalu sekarang? Bukankah ini salah satu perlakuan romantis dari suaminya? Sungguh hati berbunga-bunga, mungkin memang benar cinta itu indah.
"Mas!" lagi dan lagi, Arvin menutup bibir Alara dengan satu jari telunjuknya.
"Bolehkah aku tahu? Sejak kapan kamu mulai menyukaiku?" Tanya Arvin serius.
"Ke…kenapa Mas tanya itu?"
"Apa aku tidak boleh mengetahuinya?"
"Bo…boleh."
"Lalu?"
"A…apa harus aku jawab?"
"Iya." Alara meneguk ludahnya pelan, mungkinkah dia jujur untuk mengatakan jika dirinya telah jatuh cinta sejak pertemuan pertama mereka? Tapi, ya! Sebaiknya jujur juga tidak ada salahnya. Toh sekarang Arvin sudah menjadi imamnya, bukankah jujur itu memang lebih baik dari pada tidak?
"Sejak… pertama kali kita bertemu." Alara begitu malu karena sudah mengungkapkan isi hati terlebih dahulu. Seharusnya sebagai perempuan dia bisa menjaga perasaannya, apalagi jika harus mengungkapkan terlebih dahulu sebelum lelaki. Bukankah dia sendiri sudah menjatuhkan harga dirinya? Tentu tidak, Arvin yang sah dan juga bertanggung jawab akan kehidupan Alara kini berhak mengetahui perasaan wanita yang sudah Ia nikahi.
Alara mengangkat perlahan kepalanya, ternyata sedari tadi Arvin menatapnya tanpa berkedip. Mata mereka bersirobok, hingga pergerakan perlahan dari Arvin membuat Alara semakin menegang. Suasana yang sunyi mampu menambah hawa keromantisan yang Arvin ciptakan sendiri. Wajah keduanya semakin mendekat, tangan kanan Arvin memegang tengkuk kepala Alara. Perlahan bibir Arvin menyentuh lembut bibir Alara.
Gadis itu terkejut dengan apa yang sedang dirasakan, benda kenyal nan basah tengah bermain di bibirnya. Alara begitu kaku, sudah bisa ditebak jika ciuman ini adalah ciuman pertama bagi Alara. Sangat ketara karena bibir Alara terkatup rapat saat bibir Arvin sudah menempel indah di sana. Namun Arvin tetap memainkan lidahnya, memberikan sebuah dorongan agar Alara mau membuka bibirnya dan mengimbangi ciuman dari Arvin. Pria itu akan menuntun Alara cara berciuman yang benar.
Lama-lama Alara terpengaruh juga, dia mulai membuka bibirnya dan kesempatan itu tidak di sia-siakan oleh Arvin untuk memasuki kerongga mulut wanitanya. Dia eksplore lidahnya untuk membelit lidah gadis itu. Cukup lama hingga keduanya kehabisan nafas, Arvin melepaskan pagutannya saat Alara sudah terengah-engah. Dia tersenyum puas. Meskipun Alara tidak mendapat ciuman pertama Arvin, tapi pria itu mendapat ciuman pertama Alara. "Sungguh gadis yang polos tapi menghanyutkan." Bisik pria itu dalam hati.
"Terima kasih karena sudah mencintaiku." Ujar Arvin masih mengembangkan senyumnya.
"Sudah sepatutnya begitu Mas, karena Mas suamiku. Aku harus mencintaiku sepenuh hati dan jiwaku." Arvin kembali mengecup Alara, kali ini dia mengecupnya di kening.
"Baiklah, sudah semakin malam. Sebaiknya kita pulang agar tidak terlalu larut saat sampai di rumah Mama." Alara mengangguk. Bak sepasang kekasih sebenarnya, mereka bergandengan tangan mesra.
"Semoga selamanya bisa seperti ini ya Rabb," doa Alara dalam hati.
Selama perjalanan menuju rumah, kedua pasangan itu lebih banyak tersenyum. Semuanya memang hanya sandiwara bagi Arvin walaupun tidak bagi Alara, gadis itu begitu merasa dicintai. Sungguh malam yang begitu indah yang mungkin tidak akan pernah dia lupakan sampai kapan pun. Arvin yang tadinya hanya berpura-pura, tapi entah kenapa ketika dia mencium istrinya seperti ada sebuah magnet hingga dia enggan untuk melepaskan dua benda kenyal yang terlanjur menempel.
Berkali-kali pria itu melihat kearah istrinya yang tengah tersenyum bahagia, begitu manis dan sangat cantik. Rasanya dia ingin sekali mengulang kejadian barusan, mungkin setelah sampai di rumah dia bisa menyalurkannya kembali. Dia merasa bibir Alara memiliki kenikmatan tersendiri sehingga membuatnya ingin mencicipi lagi dan lagi.
Arvin membuka pintu mobil untuk Alara, sungguh malam ini gadis itu berada di atas awan. Kebahagiaan tak terkira Ia terima malam ini dengan penuh cinta. Penuh cinta? Hahaha Alara memang terlalu polos untuk mengetahui trik yang akan membuatnya terjatuh sedalam-dalamnya, bahkan lebih dalam dari tebing yang curam.
"Kamu bawa saja yang penting-penting, mungkin sekitar seminggu lagi Mama akan berangkat ke Yaman. Dan aku yang mengantarnya. Apa kamu ingin ikut kami pergi?" Tanya Arvin setelah mengantar Alara di depan kamar gadis itu.
"Tidak usah, Mas. Aku takut merepotkan dirimu," pungkas Alara.
"Tidak merepotkan kok, tapi kalau kamu memang tidak nyaman jika bepergian jauh tidak masalah. Kamu bisa tunggu aku di rumah." Baru saja dirinya melayang, sekarang dia mendapatkan kekecewaan dari lelaki yang sama. Dalam semalam dia mendapatkan dua hal berbeda. Alara kecewa, kenapa Arvin seolah memang tidak ingin mengajaknya? Apa dia hanya basa basi ketika memberinya tawaran? Sebagai wanita dia juga ingin mendapat sedikit rayuan dari suaminya. Dia ingin Arvin paling tidak memaksa lah agar dia ikut. Tentu saja dari lubuk hati yang paling dalam, ingin sekali Alara berkunjung kenegara yang disebut di dalam AL Qur'an sebagai salah satu negeri syam. Namun itu sepertinya tidak mungkin, Alara pun hanya bisa memendamnya saja.
"Ya sudah, Mas. Aku akan bersiap dulu!" Alara melenggang memasuki kamar tanpa menutup pintu. Arvin masih setia memandang istrinya, begitu cekatannya wanita itu setiap mengerjakan apa pun. Semua akan cepat selesai dan beres jika tangan ajaibnya sudah turun.
"Ada apa denganku? Kenapa mala mini aku merasa dia begitu berbeda dari biasanya? Apa dendam yang kujaga sudah luntur termakan oleh waktu? Ah, tidak. Ini tidak boleh terjadi semua harus sesuai rencanaku. Bukankah tadi dia bilang kalau mencintaiku? Baguslah semua sesuai feelingku. Zemira tunggu aku. Sebentar lagi kita akan hidup bersama dan hidup bahagia."