"A--ah .. Anu, Bu. Saya mau pinjem penghapus sama Samudera."
Samudera yang merasa namanya di panggil pun menoleh pada Sahroni. "Ngapain lo bawa-bawa gue," tanya Samudera.
"Kamu pasti mau ngajak Agus ngobrol, ya?," tanya guru tersebut memarahi Sahroni.
"Nggak, Bu," jawab Dania sebari mengibaskan kedua tangannya. "Si Ibu suka suudzon aja," sambungnya.
"Ya sudah. Kamu fokus ke pelajaran saya."
Akhirnya Sahroni menarik napas lega. Karena terbebas dari hukuman yang akan membuat dirinya tersiska.
Fayes nampak mulai tidak fokus. Ia terus saja menoleh ke arah jendela karena sedari tadi Dania belum terlihat kembali dari perpustakaan.
"Lo lagi ngeliatin apa, sih?," tanya Samudera yang risih karena kepala Fayez terus saja menoleh.
"Gak!," jawab Fayez singkat dan kembali fokus menatap ke depan.
Namun sudut mata lelaki itu sangat tajam. Ia langsung menoleh ketika melihat bayangan seseorang yang berjalan melewati jendela.
"Oh ... Lo nungguin Dania," ucap Samudera sebari menahan tawa.
"Berisik lo!," cibir Fayez.
BRAK!
Meski berada di dalam kelas, namun Fayez masih mendengar suara buku-buku yang jatuh di depan kelasnya.
"Dania," gumamnya dan segera berlari.
"Fayez, kamu mau ke mana?!."
Teriakan sang guru yang sedang mengajar pun ia hiraukan. Yang ada di pikirannya saat ini adalah Dania dan keselamatannya.
"Aduh, sori. Gue gak sengaja."
Fayez tak mendekat. Ia hanya mengawasi Dania dari belakang, dekat pintu kelasnya.
"Nggak apa-apa. Gue yang salah," kata Dania sebari merapikan kembali buku-bukunya.
"Sori ya, Dan." Shelina membantu Dania untuk merapikan buku-buku yang berserakan milik Dania.
"Nggak apa-apa. Lo tenang aja."
Fayez melipat kedua tangannya di dada. Masih terus memperhatikan dua orang gadis yang sedang merapikan buku-buku di atas lantai.
"Fayez! Ngapain kamu di sini? Ayo masuk!."
"Aduhh ... Sakit, Bu. Jangan di jewer!."
Suara teriakan Fayez membuat Dania dan Shelina menoleh ke belakang.
"Itu kan Fayez, kenapa dia di jewer sama guru, ya?," batin Dania.
"Dan, si Fayez kenapa, ya?."
"Gue juga nggak tau, Shel."
Kedua gadis yang sama-sama menyukai Fayez itu masih fokus memperhatikan lelaki idaman mereka yang sedang di jewer dan di tarik untuk masuk ke kelas oleh seorang guru.
"Hm .. Shel, gue balik kelas dulu, ya," ujar Dania.
"Ok. Hati-hati, ya."
Dania mengangguk dan pergi meninggalkan Shelina yang masih termangu.
"Apa Fayez sengaja keluar karena mau liat Dania?."
***
"Aduh, Bu .. Telinga saya sakit." Fayez meringis sebari memegang tangan sang guru yang masih terus menjewer telinga kirinya.
"Kamu, ya, udah pergi keluar dari kelas tanpa permisi, pas di luar malah berdiri gak jelas. Lagi ngapain kamu, hah?!."
"Anu, Bu. Tadi saya mau ke toilet, tapi di tembok depan kelas kayak ada magnetnya. Jadi saya nempel di sana."
Jawaban Fayez sukses membuat seisi kelas tertawa terbahak-bahak.
"Ngapain kelian ketawa?!," bentak guru tersebut.
"Bu Mariska jangan marah-marah gitu, dong. Nanti cantiknya luntur, lho."
"Bener kata si Agus, Bu. Ibu itu harus awet muda, supaya gak cepet pensiun," imbuh Sahroni.
"Agus, Sahroni dan Fayez. Sekarang kalian berdiri di tengah lapangan dan hormat ke bendera! Sampai jam istirahat!."
Ketiga laki-laki itu sangat terkejut dengan bola mata melotot. "Apa, Bu? Kita berdiri di lapangan?," tanya Agus terpekik.
"Iya. Atau masih kurang?."
Agus langsung menggeleng cepat. "Gak, Bu. Ini aja udah berat banget," gumamnya.
"Sekarang kalian keluar!."
Dengan sangat terpaksa ketiga harus keluar dari kelas untuk menjalankan hukuman dari bu Mariskan. Si guru Bahasa Indonesia yang kejam dan tega kepada muridnya.
"Gara-gara lo nih, Gus. Gue jadi kena hukum."
"Enak aja lo nuduh gue. Lo sendiri yang ikuta ngeledekin bu Mariska," jawab Agus.
"Yez, kok lo diem aja? Lo gak marah karena di hukum si guru killer itu?," tanya Sahroni karena melihat wajah Fayez yang datar dan biasa saja.
"Gak. Gue emang salah kok," jawab Fayez.
"Si Fayez mah di hukum juga gak takut nilainya jeblok. Lha kita? Gak ikut pelajar sekali, bengong entar pas ujian," kata Agus.
"Lo bener, Gus. Gue nyesel ikut-ikutan lo ngeledekin bu Mariska."
"Udah-udah. Kuping gue sakit denger lo berdua ngeluh. Kita jalanin aja hukumannya."
Fayez dan kedua temannya mengambil posisi baris bersap. Mereka mengangkat tangan menengadah untuk menghormati bendera yang berkibar di ujung tiang sana.
"Gus, panas."
"Sama, gue juga."
Di saat Agus dan Sahroni berisik karena kepanasan, Fayez justeru terus berdiri kokoh tanpa berkata apa pun. Hanya keringat yang mengucur membasahi seluruh wajahnya.
"Dania, kamu bantu Ibu balikin buku-buku ini ke perpustakaan, ya."
"Siap, Bu." Dania berdiri untuk mengambil buku cetak dari meja teman-temannya.
"Perlu gue bantu?," tanya Andy.
"Gak usah." Dania tersenyum dan keluar dari kelas untuk menyimpan buku ke ruang perpustakaan.
Di saat sedang asyik berjalan sebari bersenandung, tak sengaja ia menengok ke bawah. Keningnya mengkerut ketika melihat tiga orang lelaki yang sedang berdiri di tengah lapangan sebari menghormati bendera.
"Fayez dan temen-temennya? Kok mereka bisa di hukum, sih?," gumam Dania. Ia masih berdiri, memperhatikan lelaki pujaan hatinya dari atas. Meskipun tak terlihat dengan jelas.
"Dia cakep banget kalo lagi keringetan kayak gitu," batin Dania dengan sudut bibir terangkat.
Namun wajahnya menegang. Ketika Fayez tiba-tiba melihat ke arahnya.
"Mampus! Kenapa Fayez bisa liat ke sini?," batinnya sebari merutuki dirinya sendiri. Dania kembali menoleh, untuk memastikan. Tapi lelaki angkuh itu masih terus memperhatikan dirinya.
"Mending gue lari."
Fayez menarik senyumnya. Ia melihat Dania yang ternyata sedang memperhatikan dirinya.
"Akhirnya, gue bisa liat dia juga," batin Fayez.
"Fayez, lo kenapa senyum-senyum?," tegur Sahroni.
"Tau lo. Bukannya sedih, ini malah senyum," tambah Agus.
"Gak. Kalian jangan berisik!."
Agus dan Sahroni mendecak. Keringat dari tubuh mereka mengucur semakin deras. Bahkan seragam yang mereka kenakan pun telah basah oleh keringat masing-masing.
"Gus, berapa menit lagi, sih?."
Agus melirik jam tangannya. "Tiga puluh menit lagi," jawabnya.
"Gila! Gue udah gak kuat banget. Baju gue udah bau keringet," ujar Sahroni yang tengah mengipasi tubuh dengan telapak tangannya.
"Makanya, kalian jangan banyak ngobrol. Nikmatin aja," ucap Fayez.
Agus dan Sahroni kembali diam. Menikmati sisa-sisa hukuman yang sedang mereka jalani.
Hingga akhirnya bel istirahat pun berbunyi. Kedua teman Fayez itu pun langsung duduk dan merebahkan tubuh di atas lapangan yang panas.
"Sah, tolong cubit gue, apa gue masih hidup?," gumam Agus yang sudah tak bertenaga.
"Aw! Sakit bego!."
"Katanya minta di cubit?."
Fayez menggelengkan kepalanya dan melenggang pergi menuju kantin.
"Yez, tunggu!." Kedua laki-laki itu berlari mengikuti langkah kaki Fayez.
Di tengah koridor, ia melihat Dania yang sedang berjalan seorang diri menuju ke arah toilet. Fayez mempercepat langkahnya dan berdiri di hadapan Dania.
"Lo ngapain?," tanya Dania dengan wajah tegang karena terkejut.
"Jangan lupa sama perintah gue!."