Maya menangis membawa Mark yang masih kecil ke rumah sakit dengan bantuan sopir pribadinya saja. Suami yang diharapkan mengerti, justru kembali menorehkan luka di hati. Sepanjang jalan di dalam mobil hanya air mata yang bisa menemani luka hati Maya. Setelah sampai rumah sakit, petugas medis segera menangani hal itu.
"Anak Anda akan kami cek darah ke laboratorium. Silakan Ibu mengisi data di administrasi dulu. Terima kasih," kata Dokter dengan tegas lalu pergi menangani pasien lain.
Maya pun menangis melihat kondisi Mark yang masih berusia dua tahun tergeletak lemas di ranjang IGD. Maya sebenarnya tak ingin mengabari orang tuanya. Namun, saat Mama dan Papanya datang mengunjungi di rumah, pembantu di rumah Maya terpaksa mengatakan jika Mark sakit dan Maya sedang membawanya ke rumah sakit.
Papa Alex sangat khawatir dengan cucunya. Mamanya Maya pun khawatir dan segera menuju ke rumah sakit. Saat sampai di rumah sakit, betapa sedihnya orang tua Maya melihat cucunya masih di IGD tanpa ada Justin di samping Maya.
"Maya ... di mana suamimu?" tanya Papa Alex mengagetkan Maya.
Maya segera mengusap air mata yang membasahi pipinya. "Eh, Papa Mama, kok, bisa tahu Maya di sini? Emm ... Justin sedang sibuk, Pa." lirih Maya menutupi kesedihan dan sakit hatinya.
"Jangan bohong ... dia sibuk apa? Jangan-jangan selingkuh lagi, ya?" tebak Papa Alex yang mengagetkan Maya.
"Pa ... jangan bilang begitu. Maya baru sedih dan Mark sakit. Kita segera minta Mark dirawat inap saja," kata Mama menengahi semua itu.
Maya pun mencoba menghentikan kesedihan dan sesak hatinya. Dia pun segera ke dokter menanyakan kembali tentang hasil laboratorium Mark. "Dokter, bagaimana hasil cek laboratorium anak saya? Jika kondisinya kurang stabil lebih baik rawat inap, Dok." ucap Maya didampingi Papa Alex sedangkan Mama menunggu Mark kecil yang masih demam tinggi.
"Bu Maya, anak Anda terkena demam berdarah dan harus segera opname. Perawat akan segera memasang infus dan membawa anak Mark ke ruang rawat inap yang sudah disetujui." jelas Dokter membuat Maya lemas.
Sudah sejak tiga hari yang lalu Mark demam dan Maya meminta Justin menemaninya periksa. Namun, selalu saja Justin bilang sedang sibuk dan demam hanya hal biasa bagi anak kecil.
"Lakukan yang terbaik untuk cucu saya, Dok. Segera pindahkan ke kamar VVIP. Terima kasih." ucap Papa Alex tegas.
Papa Alex pun menepuk-nepuk pundak Maya seakan memberi kekuatan tersendiri bagi anaknya. "Sabar, Maya. Kamu harus kuat demi Mark. Papa dan Mama akan menemanimu di sini," lirih Papa Alex sambil mendampingi Maya kembali ke tempat Mark menunggu dibawa ke bangsal VVIP.
Mereka mengikuti semua prosedur dan segera ke bangsal VVIP bersama Mark yang dibawa dengan bed rumah sakit. Anak berusia dua tahun itu berhenti menangis ketika infus dan obat disuntikan pada tangannya yang mungil. Maya berkali-kali menahan kesedihannya, tetapi tetap saja air mata menetes.
"Sabar, Maya sayang. Kamu harus kuat. Menjadi seorang ibu memang tidak mudah. Tetapi kamu harus melewati semuanya." kata Mama sambil mengusap lengan Maya yang menangis.
***
Di sisi lain ....
"Sudah dulu, ya. Aku harus menyusul Maya," bisik Justin pada sekretarisnya yang seksi.
"Ah, sebel, deh. Kenapa keburu-buru? Ya udah, terserah aja," ucap sekretaris Justin yang merajuk.
Bukannya sadar diri, sekretarinya justru makin menjadi hanya karena merasa lebih "yahut" dibanding Maya. Justin yang mata keranjang tak bisa berpikir jernih antara anaknya yang sakit atau sekretarisnya yang merajuk.
"Aku nyusul ke rumah sakit dulu. Lanjut nanti malam saja, Sayang," lirih Justin sambil merapikan celana, kemeja, dan jasnya yang tadi berantakan.
"Beneran nanti malam lanjut?" tanya wanita itu dengan manja.
"Iya, janji." Justin mencium mesra wanita itu, lalu pergi menyusul ke rumah sakit.
***
Di rumah sakit ....
Papa Alex yang curiga pun mengajukan pertanyaan pada Maya. Meski Maya selalu menutupi kenyataannya.
"Maya, kenapa Justin tidak mengantarmu? Apakah dia berulah lagi?" tanya Papa Alex.
"Tidak, Pa. Dia sedang sibuk meeting," jawab Maya mengelak.
"Jangan bohong sama Papa. Kamu menangis bukan hanya karena Mark sakit, 'kan?" selidik Papa Alex yang sangat paham kebiasaan Maya.
"Maya hanya khawatir dengan Mark, Pa. Hanya itu," kata Maya yang tak mengungkapkan kelakuan suaminya.
Setelah sejam di bangsal, Justin pun datang. Masuk ke ruangan setelah bertanya ke bagian rekam medis. "Maya, maafkan aku ...." Justin berhenti berucap saat melihat Papa Alex di sana.
"Maaf kenapa? Anakmu sakit malah tak diantar. Mau jadi ayah seperti apa kamu!" gertak Papa Alex yang muak memiliki menantu seperti itu.
"Maaf, Pa. Maaf. Tadi Justin sudah mau antar tapi ...."
"Tapi, tapi, selalu saja pintar mungkir. Dasar lelaki tak berguna," seru Papa Alex yang hendak melayangkan bogem mentah ke Justin.
"Pa! Jangan pukul Justin! Sudah, nggak apa. Justin tadi ada meeting penting. Aku yang minta sopir antar karena khawatir sama Mark. Sudah, Pa," kata Maya membela Justin.
Justin menatap Maya dan mencoba menerka apa yang dipikirkan istrinya itu. Justin terlalu bodoh untuk bisa mengakui kesalahannya. Bahkan dia berbangga saat Maya membelanya.
"Pa, sabar. Kasihan Mark kalau ribut-ribut di sini," kata Mamanya Maya.
"Maaf, Ma, Pa. Justin lalai. Seharusnya Justin antar Maya dan Mark dahulu ke rumah sakit. Maaf." kata Justin pura-pura menyesal.
Alex muak melihat wajah Justin yang pura-pura memelas. Alex pun keluar dari kamar dan menuju ke taman. Dia berpikir sampai kapan putrinya tercinta akan hidup bersama lelaki sampah itu. Padahal banyak lelaki yang jauh lebih baik, berlomba-lomba mendapatkan hati Maya. Bahkan setelah Maya menikah pun ada yang bersedia menunggu jandanya.
Alex heran, mengapa putrinya justru bertahan hidup menderita dengan lelaki yang gemar selingkuh. Bahkan Alex pun jijik melihat menantunya itu. Alex tahu persis jika Justin tak akan bisa berubah.
"Sampai kapan kamu akan menempuh jalan derita ini, Maya ...." gumam Papa Alex duduk di taman sendirian.
Maya hanya bisa menguatkan hatinya menghadapi kenyataan pahit. Dia bertahan demi Mark. Putranya yang lucu sedang sakit, tak mungkin juga Maya cerita apa yang dilihatnya ke Papa Alex dan Papa Aldo. Bisa-bisa Justin dibunuh oleh mereka. Maya hanya memikirkan masa depan Mark. Jika tak ada Justin, kasihan Mark tak ada sosok ayah. Maya pun bertahan dan ikhlas menjalani pesakitan yang dialaminya. Pesakitan yang dia harap akan berakhir seiring berjalannya waktu.
Maya tak sadar jika jalan yang dia ambil justru berdampak besar di masa depan. Dia tak tahu jika seorang lelaki yang tak setia, selamanya tak akan bisa berubah.