Zara diam, menatap mobil berwarna merah milik Zayn yang sudah tertelan tikungan. Ia menunduk dalam. Perubahan dalam sehari yang Zayn lakukan hari ini masih meragukan untuknya. Walau benteng kebenciannya nyaris Zayn rapuhkan. Apa hatinya memang selemah ini?
Menghela napas sebentar, Zara memilih berbalik dan masuk ke dalam rumah. Rumah yang rasanya selalu menyakitkan baginya setelah Kai tiada.
Tangan Zara nyaris memegang kenop pintu jika saja suara Citra tak terdengar sampai telinganya.
"Mama tuh nggak tau, sih. Zara tuh di sekolah semena-mena gitu, Ma. Sok banget, dia berani lawan aku. Udah jelek, goblok, masa tadi dia injek kaki aku, Ma!"
"Sialan anak itu, kamu tenang aja, Dear. Nanti Mama balas injek kakinya sampai remuk."
Mata Zara berkaca. Hal ini tak jarang terjadi padanya. Sering malah. Citra akan selalu memutarbalikkan faktanya. Dan Zara akan selalu kena imbasnya. Bukan ia yang melakukan kesalahan, tapi karena mulut Citra ... ia yang akan kena hukuman.
Untuk sekarang, rasanya Zara belum siap dapat luka lagi. Mungkin, ia akan pulang sehabis maghrib. Ia ingat, Mama dan Papanya punya jadwal bekerja yang sama sesudah maghrib.
Namun, baru saja ia hendak berbalik, Agra lebih dulu menahan bahunya.
"Mau kemana? Lari dari hukuman?" bisik Agra dengan senyum miring.
Sejak kapan dia di sana?
"A-aku mau ke ru-mah Rian," ujarnya menyebut nama sahabat kecil sekaligus tetangganya.
Agra tertawa pelan, sebelum akhirnya menoyor kepala Zara sedikit kencang.
"Lo lupa? Rian udah pindah ke Australia, nggak bisa lagi jadi tameng lo."
Benar, Rian juga pergi meninggalkannya. Seperti Kai.
Dengan paksa, Agra menyeretnya ke dalam. Dan mendorongnya hingga Zara tersungkur di hadapan sang Mama.
"Mau kabur, Ma." Agra berujar demikian.
Ibu tiga anak itu menatap murka putri bungsunya. Zara sendiri hanya menundukkan kepala.
"Mau kabur? Kamu apain kaki anak saya!" Mama menunjuk kaki Citra.
Zara mengikuti arah tunjuknya, dan matanya membola saat itu juga. Kenapa kaki Citra benar-benar terluka? Padahal punyanya saja tak ada bekasnya. Apa kakaknya seniat itu?
"A-aku nggak injek kaki Kak Citra, Ma." Zara membela diri.
Mata Mama memicing, "Nggak injek kamu bilang?" ujarnya disertai injakan kuat di kaki kanan Zara.
Zara berteriak, mati-matian ia menahan tangisnya, namun tetap kembali keluar begitu saja. Ia menatap nanar kakinya yang Mama injak dengan sepatu high heelsnya. Berdarah.
"Mama jahat," ujar Zara pelan, diiringi sebuah tangisan.
Mama tertawa, ia menoyor kepala putri bungsunya, "Siapa bilang saya orang baik?" tanyanya sinis.
Zara menggigit bibir bawahnya tatkala rasa nyeri terasa saat ia berusaha untuk berdiri. Bahunya merosot turun, ia menatap sang Mama seperti biasa. Dengan linangan air mata.
"Udah kan, Ma? Zara mau ke kamar," ujar Zara.
Mama tak menjawab, malah menghampiri Citra dan memapahnya pergi dari sana. Diikuti Agra yang berlalu setelah melempar senyum miring.
Zara menghela napas lega, itu artinya ... hukumannya hanya sampai di sini. Dengan tertatih, ia berusaha berjalan menuju kamarnya yang syukurnya berada di lantai dasar.
"Ya Allah, Non. Ini kenapa kakinya?"
Zara menoleh, dan mendapati Bi Marina yang berlari ke arahnya setelah keluar dari kamar yang berada di sebelah kamarnya. Ya, Zara ditempatkan di kamar pembantu. Tapi tak apa, Zara masih tahu diri untuk tetap bersyukur.
"Nggak apa-apa, Bi. Ini ... ini jatuh tadi," ujar Zara dengan senyuman.
Tanpa dapat jawaban yang sebenarnya pun, Bi Marina sendiri sudah tahu penyebabnya. Wanita paruh baya itu segera memapah Zara menuju kamarnya. Sebelum akhirnya ia buru-buru berlalu untuk pergi mengambil kotak P3K. Sepeninggalan Bi Marina, Zara mengedarkan pandangannya.
Matanya memanas tatkala melihat bingkai poto berisi dirinya dan Kai. Poto itu ... diambil sekitar empat tahun yang lalu. Satu tahun sebelum Kai kecelakaan saat perjalanan pulang dari rumah temannya.
Zara mengusap air matanya kembali, sudah tak terhitung berapa kali ia menangis dalam sehati. Sedetik kemudian, ia menggelengkan kepala pelan. Kai murni kecelakaan, bukan karena dirinya. Tidak.
***
Tengah malam, Zara berjalan mengendap-endap ke dapurnya. Perutnya sudah sejak tadi meronta-ronta minta diisi. Namun, Mama tak membolehkannya untuk makan apapun malam ini. Biarlah ia dikatakan mencuri, Zara benar-benar lapar sekali.
Senyumnya mengembang tatkala di remangnya kegelapan, ia melihat masih banyak lauk pauk yang tersisa tatkala membuka tudung saji.
"Aku tahu mama pasti peduli. Dia sisain aku maianannya," ujar Zara dengan senyum mengembang.
Gadis itu segera meraih piring dan mengisinya dengan nasi beserta ayam goreng kesukaannya. Namun, baru saja sesuap, piring di depannya sudah ditarik paksa begitu saja.
"Mau mencuri?!"
Zara terlonjak, tubuhnya bergetar tatkala tahu siapa yang kini berdiri di sebelahnya. Papanya. Percayalah, hukuman Papa lebih meneyeramkan.
"Pa-pa, Zara la ... par," ujar Zara dengan kepala menunduk dalam.
Papa mendengus, ia menarik Zara menuju ruang keluarga yang memang lampunya belum dimatikan. Lelaki itu mendorong Zara kasar hingga terduduk di lantai. Bahkan tak iba saat melihat luka Zara yang dilapisi kain kasa kembali terbuka. Ia Meletakkan piring tadi tepat di depan putri bungsunya.
"Kamu boleh makan, asalkan jangan pakai tangan."
Zara menatap bingung sang Papa, bagaimana ia bisa makan tanpa tangan?
"Em, mau disuapi Papa, ya?" tanya Zara polos.
Sosok jangkung yang berdiri di depannya tertawa kencang. Ia menunjuk dirinya sendiri, "Saya suapin kamu? Mana bisa? Jijik yang ada."
Rasa nyeri kembali menjalar dalam dada Zara. Gadis itu menunduk, menatap nasi di depannya. Apa untuk makan pun, ia harus seperti ini dulu? Diperlakukan macam hewan.
Papa Zara sendiri sudah mendudukkan diri di sofa sembari bersedekap dada.
"Cepat makan, saya awasi kamu dari sini. Kalau kamu pakai tangan, saya nggak segan-segan injak tangan kamu seperti yang kamu lakukan ke Citra!"
Namun, karena rasa lapar, Zara menuruti, walau dalam hati ia ingin pergi. Daripada perutnya melilit, ia lebih memilih untuk memajukan kepalanya ke piring. Makan seperti hewan.
"Gitu aja nangis, cengeng!"
Zara menghiraukan ucapan sang Papa. Ia masih sibuk makan dengan tangisan. Namun, lama kelamaan ia pegal juga karena terus membungkuk. Pada akhirnya, Zara tanpa sadar meraih nasi terakhir dengan tangan kanannya. Dan Papa murka.
Lelaki itu langsung menendang kasar piring Zara. Sebelum akhirnya menginjak paksa tangan Zara. Keras, kuat, dan lama. Itu mampu membuat air mata Zara kembali mengalir deras. Papa dan Mama sama kejamnya jika dengan dirinya.
"Sakit Papa, tolong!" Zara meronta, bersusah payah menarik tangannya yang diinjak.
Namun, bukannya melepaskan, Papa malah menjambak kuat rambutnya. Sebisa mungkin, Zara tetap membuka mata saat rasa pusing mendera.
Tapi tak bisa, kegelapan segera menyerangnya. Untuk beristirahat sejenak dari kejamnya dunia.
"Papa jahat."
Itu yang Zara ucapkan sebelum benar-benar hilang kesadaran.