Hari senin identik dengan upacara, makanya Zara sebisa mungkin agar tak telat. Beberapa kali pun ia mengecek seragamnya. Siapa tahu ada yang kurang, kan? Ia tak ingin dibariskan di barisan siswa siswi yang tidak memakai perlengkapan upacara. Yang pasti karena nantinya ia akan jadi pusat perhatian.
"Dasi udah, sepatu hitam, ikat pinggang juga udah, top ... tunggu, topiku mana?!" Zara panik, kenapa setelah mengecek beberapa kali, baru sekarang ia sadar jika tak membawa topi? Sekarang, ia baru sadar sebodoh apa dirinya.
Dengan langkah tergesa, Zara segera berlari menuju koperasi sekolah. Menghiraukan berbagai tatapan, tujuan Zara sekarang adalah membeli topi.
"Bu, tunggu!" Zara berteriak tatkala melihat penjaga koperasi sudah melesat jauh dan tak mendengar teriakannya.
Sial, koperasi sudah ditutup. Zara mengusap wajahnya kasar. Ia bingung harus bagaimana lagi. Tak mungkin ia pulang, atau meminta Mamanya untuk mengantarkan topinya. Mana mungkin itu terjadi.
Zara merasa pening seketika tatkala bel masuk berbunyi. Tapi, mau tak mau ia berjalan ke arah lapangan utama. Tempat dilaksanakannya upacara. Tanpa menunggu ditegur atau dipanggil lebih dulu oleh guru, ia berjalan ke arah barisan siswa siswi yang tak memakai seragam lengkap.
"Tunggu."
Langkah Zara terhenti tatkala sebuah tangan mencekal pergelangan tangannya. Gadis itu menoleh, dan mendapati sosok Zayn. Zara terpaku sebentar, sebelum akhirnya tersadar. Ia menarik paksa tangannya dari Zayn.
"Apa?" tanya Zara sinis. Kali ini, ia tak peduli cibiran beberapa siswa siswi yang mencibirnya.
Zayn menarik napas panjang, ia menarik topi di kepalanya dan menjulurkannya ke arah Zara. Yang bersangkutan sendiri menatap lelaki itu penuh kebingungan.
"Apa? Aku nggak minta top--"
"Terima aja," Zayn mengulas senyum tipisnya, "Gue punya dua topi," ujarnya.
Zara menatap topi yang menggantung di udara dengan rasa ragu. Ia memejamkan mata sebentar, sebelum akhirnya menggeleng pelan.
"Nggak perlu." Zara segera berbalik, dan melangkah.
Zara akan tetap berusaha menguatkan diri. Ia sudah bertekad untuk membangun dinding tinggi sebagai pelindungnya. Alasan Zayn tempo lalu tak akan membuatnya percaya begitu saja. Semuanya hanya lisan, tak ada bukti yang menguatkan.
Walau sejujurnya ia nyaris terbuai dengan kata-katanya waktu itu, tapi Zara tak akan jatuh begitu saja untuk kesekian kalinya. Ia berusaha untuk tak jatuh di lubang yang sama. Belum pasti ketulusan Zayn yang ia lihat benar adanya.
Namun, jantungnya berdegup kencang tatkala Zayn memasangkan topi di kepalanya dengan tiba-tiba.
"Kak--"
"Zaynn, kamu nggak bawa topi?!"
Baru saja Zara ingin membuka suara, guru kesiswaan sudah berkacak pinggang di hadapan mereka.
"Bu, Kak Zayn baw--"
"Iya, Bu, saya lupa nggak bawa topi." Dengan santainya Zayn malah menyengir lebar. Seolah hukuman yang menanti tak berarti apa-apa.
Kesiswaan mendengus kesal, sebelum akhirnya ia menyeret Zayn menuju barisan siswa siswi yang melanggar aturan. Bukannya menunjukkan wajah muram, Zayn malah melambaikan tangan sembari menyengir lebar ke arah Zara yang hanya bisa menatapnya dengan pandangan yang tak terbaca.
***
Rasa tak enak menelusup dada, Zara beberapa kali menatap lama sosok Zayn yang berdiri menjulang di sana. Zara memejamkan mata sebentar, ini hanya sebuah rasa bersalah. Harusnya kan, ia yang ada di sana. Bukan Zayn.
"Zara, lo pelet Kak Zayn, ya? Kok tiba-tiba bisa baik gitu sama lo."
Zara terjengit kaget tatkala siswi yang berdiri di sebelah kanannya tiba-tiba berbisik, namun ... kalimatnya masih mampu ia dengar dengan baik.
"Ngaku lo!" Kali ini, sosok siswi yang berdiri di sebelah kirinya ikut-ikutan.
Zara memejamkan mata sembari menghembuskan napas pelan. Ia memilih tetap menatap lurus ke depan tanpa meladeninya. Buat apa? mereka bahkan tak tahu sedikitpun tentangnya. Zara tak pernah mengira mereka akan berpikir sedangkal itu. Pelet katanya? niatan mencoba saja tak pernah ada dalam hatinya.
"Sombong lo, sialan!"
"Masih dibelain Kak Zayn kaya gitu aja belagunya udah minta ampun, apalagi kalau jadi pacarnya? lupa dunia kali."
"Tolong diem, ya, jangan bicara keras-keras!"
Zara tak nyaman, semakin didiamkan, dua teman sekelasnya malah makin keterlaluan. Apa mereka tak sadar jika kepala sekolah yang sedang memberi amanat di depan, kini sudah diam sembari menatap ke arah mereka?
"Kalian bertiga, maju!"
Zara memejamkan mata, sudah ia duga ia kena imbasnya. Namun, daripada melayangkan protesan, Zara lebih memilih melangkah bersama dua teman sekelasnya tadi.
"Kalian baris di sana, barisan yang melanggar aturan!" Pak kepala sekolah menunjuk ke arah barisan Zayn.
Zara menghela napas, sembari menunduk dalam, ia memposisikan diri. Sampai-sampai tak menyadari jika tubuhnya berdiri di samping Zayn.
"Gue rela-relain kasih lo topi, eh ... lo malah kesini? Apa jangan-jangan karena ...," Zayn menggantungkan ucapannya, membuat Zara mendongak dan menatap ke arahnya.
"Gue tahu, lo pasti mau nemenin gue kan?"
Hembusan nafas Zayn yang beraroma mint sedikit membuat Zara deg-deg an. Mereka berdiri sedekat itu. Demi kesehatan jantungnya, Zara memalingkan muka.
"Aku juga nggak mau berdiri di sini asal kamu tahu. Aku nggak sebucin itu." Zara bersuara pelan.
Jika saja tidak dalam kondisi upacara, mungkin Zayn akan sedikit tertawa mendengarnya.
"Gue nggak bilang lo sebucin itu, Zara," ledek Zayn.
Zara memilih diam, tak membalas. Jika diteruskan, maka pasti ia akan kena teguran untuk yang kedua kalinya. Hanya ada keheningan yang melanda di antara mereka seperti yang seharusnya. Sampai akhirnya, upacara selesai dan para siswa siswi atau guru dipersilahkan untuk meninggalkan lapangan. Kecuali para siswa siswi yang melanggar aturan sekolah.
"Kalian pantang ke kelas sebelum menyelesaikan hukuman saya!" sang guru kesiswaan mengeluarkan ultimatumnya.
Zara menghela napas berat, ini yang tak ia sukai. Ia pasti akan ketinggalan beberapa jam mata pelajaran. Malasnya saat ia bertanya tugas apa yang diberikan selama ia tak ada di kelas pada teman sekelasnya. Karena mereka ... dengan sengaja akan berbohong padanya.
"Tiga baris bagian kiri bersihkan semua toilet, dan sisanya mencabut rumput ilalang di taman belakang sekolah!"
Zara memejamkan mata sebentar. Oke, semangat cosplay jadi babu.
***
Dan di sinilah Zara sekarang, berjongkok di antara beberapa siswa siswi yang juga melakukan hal yang sama dengannya. Ia beberapa kali mengusap peluh keringatnya di dahi. Sampai tak menyadari jika tangannya bekas tanah. Otomatis dahinya tampak kotor sekarang ini.
"Ck, bisa remuk tangan gue cabutin rumput gede-gede kaya gini. Mana banyak lagi, sialan!"
Zara menolehkan kepala ke sumber suara, ia geleng-geleng kepala setelahnya. Bukannya apa, lelaki yang barusan mengeluh nyatanya hanya berdiri dengan tubuh yang disandarkan di dinding. Tangannya pun masih sangat bersih.
"Ini, bersihin muka lo." Belum juga Zara kembali menundukkan kepala, sebuah sapu tangan warna merah maroon terjulur di hadapannya.
Sebelum menerima, Zara melirik sebentar si pemilik sapu tangan. Gadis itu lalu menggeleng pelan setelahnya. Sudah cukup ia meminjam barang dari Zayn. Sudab cukup sampai topi saja. Jangan ada yang lainnya.
Zayn sendiri malah cengar-cengir tak jelas, "I know, lo mau gue lap-in."
Jantung Zara kembali berdegup kencang tatkala Zayn mengusap dahinya dengan sapu tangan miliknya. Perlakuan ini ... benar-benar mengingatkannya pada kelembutan Kai dua tahun lalu. Dan Zara beberapa kali menyangkal ketulusan Zayn yang ia rasakan.