Chereads / Sebuah Lara untuk Zara / Chapter 16 - Gibran & Zayn 2

Chapter 16 - Gibran & Zayn 2

Zara mengulas senyum tipis setelah menarik napas, "Aku nggak apa-apa, aku baik-baik aja," katanya.

Gibran dan Zayn saling tatap. Mereka tau itu hanyalah sebuah kebohongan. Faktanya, mata sembab Zara jadi bukti bahwa gadis itu tidak baik-baik saja, ada apa-apa.

"Ayo, ikut saya."

Tak mau berdiri di depan pintu, Gibran memilih untuk menarik Zara dengan lembut. Membawa gadis itu entah kemana. Sementara Zayn di belakangnya menggeram. Dengan tangan terkepal, lelaki itu mengimbangi langkah dua orang di depannya dengan raut kesal.

"Gibran sialan, nyuri start duluan!" Zayn mengepalkan kedua tangannya.

Lelaki itu memposisikan diri di sisi Zara yang kosong. Ikut menggenggam tangan Zara yang lain. Ia tak akan kalah ambil langkah dengan Gibran.

"Gue tau lo nampar Bu Cantika ada alasannya." Zayn tiba-tiba berkata demikian sembari melemparkan senyum miring pada Gibran.

Gibran mendengus, "Saya percaya kamu, Zara." Ia tentu saja tak mau kalah.

Zara sendiri melangkah sembari menatap keduanya bergantian. Ia menunduk, menatap genggaman tangan kirinya dengan Gibran, dan tangan kanannya yang digenggam Zayn.

"Kalian ken--"

"Gue bakal bantu lo nemuin bukti kalau lo nggak salah." Zayn menyela ucapan Zara.

"Saya akan bantu kamu sebisa saya, Zara."

Lagi, Gibran pun tak mau kalah.

Zara ternganga, sebenarnya ... ada apa dengan dua orang yang mengapitnya? Aneh sekali. Keduanya seolah sedang berlomba-lomba, tak mau kalah antara satu dengan yang lainnya.

"Gue janji bakal ada di sisi lo," ujar Zayn lagi. Kali ini disertai dengan tatapan sinis yang dilayangkan secara terang-terangan pada Gibran.

"Saya akan menemani kamu sampai tua." Gibran pun melakukan hal yang sama..

Zayn mendengus, mengepalkan kedua tangannya, "Gue bakalan lindung--"

Ucapan Zayn terpotong tatkala langkah kaki Zara terhenti. Gadis itu menatap bingung dua lelaki di kedua sisinya. Ia menghela napas pelan. Sedang pusing begini, dan keduanya malah bertingkah begitu.

Kepala Zara jadi makin pening. Apalagi mendengar bisik-bisik siswa siswi di sekitarnya. Tentu saja, kedua tangannya di genggam oleh dua lelaki tampan tentu menumbulkan banyak presepsi. Ia jadi tambah tak nyaman.

"Kenapa berhenti?" tanya Gibran dan Zayn serentak tanpa sengaja.

Setelahnya, keduanya sempat saling menatap tajam. Sebelum akhirnya Zara mendengus kasar.

"Kalian yang kenapa? Aneh banget kali ini." Zara mengutarakan pendapatnya.

Zayn menghela napas panjang, "Maaf, bikin lo nggak nyaman, Zara. Kita ... kita cuma ...,"

"Khawatir sama kamu," Gibran menyela, "Saya yang khawatir sama kamu," lanjutnya yang tentu membuat Zayn mendengus sebal.

Zara mengulas senyum tipis pada keduanya, "Terima kasih, Gibran, Zayn. Tapi ... aku harus pulang, aku butuh waktu sendiri."

Lantas gadis itu segera melepaskan tangan Zayn dan Gibran dari tangannya.

Mata Zayn membola, "Lo dihukum apa?" tanyanya khawatir. Begitu pula dengan Gibran yang melemparkan tatapan yang sama.

"Aku diskors," jawab Zara singkat.

Gibran menghela napas, ia segera menarik Zara untuk pergi dari sana, "Saya anterin, ayo," ajaknya.

Zayn menggeram. Lagi-lagi ia kalah start. Lelaki itu segera menyusul tentunya. Menggapai tangan Zara lebih dulu sebelum akhirnya bersuara dengan nada memaksa.

"Zara pulang sama gue!" ujarnya pada Gibran.

Gibran balas menatap tajam Zayn, ia menarik lembut Zara ke arahnya, "Zara pulang sama saya!" balasnya.

"Sama gue!"

"Sama saya!"

"Zara sama gue!" Zayn tak menyerag juga.

Begitupun dengan Gibran, ia mengeratkan tautan tangannya dengan Zara, "Zara sama saya!"

Jengah sekaligus tak tahan. Zara buru-buru melepaskan genggaman keduanya.

"Tolong, aku mau pulang." Lantas Zara segera melangkah.

Namun, lagi-lagi keduanya mencekal tangannya. Kembali berebut seperti tadi. Demi apa pun, ia tak suka diperebutkan macam ini. Apalagi di kondisi seperti ini.

"Gibran, Zayn ak--"

"Wah, baru kali ini dua pangeran tampan rebutin si buruk rupa."

Suara Citra tiba-tiba terdengar. Membuat atensi ketiganya menoleh. Dan mendapati Citra beserta Agra di sampingnya. Meskipun begitu, Zayn dan Gibran tak melepaskan genggamannya dari Zara.

Citra mengulas senyum miring ke arah Zara. Lantas gadis itu mendekat dan memegang lengan Zayn.

"Zayn, perut gue sakit, tolong anterin gue pulang ya?" tanya Citra dengan tampang memelas.

Zayn melepaskan genggamannya di tangan Zara. Ia menatap Agra, "Abang lo?" tanyanya pada Citra.

Namun gadis cantik itu menggeleng, "Bang Agra ada urusan," katanya.

Zayn menghela napas berat, ia menatap Zara sebentar. Sebelum akhirnya pergi dari sana sembari menggenggam tangan Citra.

Dan entah kenapa ... tangan Zara yang tadi Zayn genggam seperti merasa kehilangan.

***

Pada akhirnya, Zara pulang diantar oleh Gibran dengan sepeda motornya. Dan kebetulan gerimis datang membasahi bumi. Sepanjang jalan, hanya ada keheningan.

Zara mengangkat tangannya, menikmati rintik hujan yang turun. Gadis itu tersenyum tipis, bumi seolah tahu ia sedang sedih hari ini. Gadis itu menatap bingung lelaki di depannya tatkala motor berhenti melaju. Gibran menepikan motornya ke pinggir jalan.

"Kenapa berhenti, Kak?" Zara bertanya.

Gibran melepas helm-nya, lantas menoleh ke belakang. Ia menatap Zara khawatir, "Ujannya makin gede, kita neduh dulu ya? Saya nggak bawa jas hujan, nanti kamu sakit."

Zara mengangguk, ia turun dari motornya, diikuti Gibran. Keduanya meneduh di bawah halte yang kebetulan sepi. Zara sendiri malah menadahkan tangannya menerima hujan seperti tadi. Ia menarik napas panjang, bau petricor merasuk hidungnya.

"Kamu suka hujan?" Gibran bertanya sembari ikut serta melakukan hal yang sama seperti Zara.

Zara mengangguk pelan, ia menatap Gibran dengan senyuman, "Kalau Kak Gibran, suka hujan nggak?" ujarnya balik bertanya.

Gibran menggeleng pelan, ia beralih menatap rintik hujan di depannya, "Saya lebih suka kamu," gumamnya.

Dahi Zara mengernyit, ia tak bisa mendengar gumaman Gibran yang amat lirih beserta suara hujan yang begitu keras.

"Apa, Kak?" tanya Zara minta pengulangan.

Gibran tersadar, lelaki itu tergagap sebentar sebelum akhirnya menggeleng kuat.

"Nggak, nggak apa-apa."

Gibran hanya tak mau, Zara akan menjauhinya kalau tau perasaannya.

***

Zara tiba di rumahnya pukul dua sore, bajunya basah karena hujan. Meskipun begitu, gadis itu memilih untuk lewat belakang rumahnya. Ia tak mau kena hukuman karena nanti lantai rumahnya jadi kotor. Percayalah, meskipun ada pembantu, kedua orang tuanya pasti mempermasalahkan itu.

"Kok baru pulang?"

Zara menoleh tatkala keluar dari kamar mandi di samping kamarnya. Gadis itu memang baru saja membersihkan diri sembari mengganti baju. Ia mendapati sosok Agra yang baru saja menyapanya.

"Tadi hujan, aku sama Kak Gibran neduh dulu," ucap Zara jujur.

Agra memalingkan muka, "Jangan kesenengan gitu direbutin dua orang, bukannya bagus malah kesannya murahan."

Zara menarik napas dan mengangguk pelan. Sembari menunduk dalam, gadus itu lantas berbalik dan segera masuk ke kamarnya tanpa bicara apa-apa.

Meninggalkan Agra yang terpaku karena kali ini ... ia tak mendengar suara Zara seperti biasanya.

"Kenapa gue ngerasa aneh gini, sih?"