Chereads / Sebuah Lara untuk Zara / Chapter 17 - Bahu Bersandar

Chapter 17 - Bahu Bersandar

Hidup Zara jadi tak tenang, tentu saja. Bahkan saking kesalnya, ponsel miliknya ia matikan sejak dua hari yang lalu. Ia harus pakai masker beserta kacamata jika keluar rumah. Demi apa pun, itu cukup meribetkan baginya.

Zara suka kebebasan, sangat. Namun, Citra membuat hidupnya berubah pesat.

Hari ketiga dirinya di skors, di sinilah Zara, duduk di tepi danau yang memang sepi. Danau yang jadi saksi bahwa ia pernah sebegitunya frustasi sampai nyaris bunuh diri. Zara kembali di sini, di tempat yang sama dengan rasa yang sama.

Tak ada tempat bersandar. Setelah tadi dari makam Kai, Zara lebih memilih untuk ke danau sebentar. Ia ingin berteriak sepuasnya mengeluarkan segala unek-uneknya. Tak ada rasa takut sedikitpun walau danau terasa sunyi sepi.

"Gimana sih rasanya benar-benar bahagia bukan hanya sekedar tertawa?" Zara bertanya entah pada siapa.

Gadis itu beberapa kali melemparkan batu-batu kecil ke danau. Ia masih mengingat ucapan Kai di masa lalu, lelaki itu bilang, jika dirinya ada masalah, ia hanya perlu melampiaskan emosinya dengan melemparkan batu ke danau. Dan terbukti, pada akhirnya Zara akan merasa lebih tenang dari sebelumnya.

"Kak Kai ... kenapa pergi?"

Pada akhirnya, Zara akan kembali berangan-angan. Andai, seandainya, atau dengan diawali kata kalau, pada akhirnya hanya ada rasa penyesalan yang begitu mendalam.

Untuk kesekian kali, Zara kembali melemparkan batu kecil lagi.

"Aku sendiri di sini ... tanpa setitik rasa bahagia." Zara akhirnya menangis, terisak sendirian. Ia terlalu lelah.

"Ada gue, Ra." Suara itu terdengar, disertai rangkulan di bahunya.

Zara menoleh, gadis itu menatap kaget Zayn dengan linangan air mata. Seolah tersadar, Zara buru-buru mengusap air matanya. Gadis itu berdehem sebentar, dengan halus ia melepaskan diri dari rangkulan Zayn.

"Kak Zayn ... kenapa ada di sini?" Dengan suara serak, Zara bertanya pada sosok kakak kelasnya.

Zayn menoleh, ia mengulas senyum tipis. Lantas dengan santai kembali menarik Zara ke dalam rangkulannya. Ia kembali menatap ke depan, di mana danau berada.

"Lo nggak sendiri, ada ribuan bahkan bisa aja ratusan orang di bumi yang juga ngalamin kesakitan yang sama." Zayn berujar demikian tanpa menoleh ke samping.

Zara terpaku sebentar, namun akhirnya kembali membalas yang Zayn ucapkan, "Percuma kalau semuanya ... membenci aku. Seramai apa pun bumi, malah jadi kesakitan sendiri untuk aku," jawabnya.

Zayn tak membantah, yang Zara ucapkan tentu saja adalah sebuah kebenaran. Bagi seseorang, bumi akan jadi menyeramkan kalau hanya ada kebencian untuknya.

Tapi ... Zara harus tahu, kalau semua orang di bumi tentu tak sama.

"Masih ada gue, Ra. Gue akan jadi tempat lo bersandar." Zayn menarik kepala Zara ke bahunya, mengusap pelan puncak kepala itu.

Zara terbuai, dirinya tidak menolak perlakuan Zayn kali ini. Ia memang butuh sandaran, dan Zayn dengan tangan terbuka menawarkan itu. Siapa yang akan menolak?

"Luapin semuanya ke gue. Nangis sepuasnya, Zara, gue ada di sini. Bareng sama lo untuk lo." Zayn kembali berkata demikian.

Zara mengangguk pelan, ia menangis sekencang-kencangnya. Meraung-raung sepuasnya. Dan Zayn hanya diam mendengarkan sembari menatap Zara lekat.

"Kenapa aku nggak seberuntung semua orang, Zayn? Seberuntung kamu yang punya orang tua yang nggak benci kamu. Keluarga yang hangat, teman banyak, fisik yang bagus. Kenapa Tuhan nggak adil? kenapa dia bikin perbedaan yang pada akhirnya nyakitin salah satu umatnya?" Zara menatap Zayn dengan linangan air mata yang begitu mengalir deras.

Zayn sendiri terpaku. Ia menatap Zara iba, sebelum akhirnya menarik gadis itu ke pelukannya. Mengusap punggung rapuh itu agar sedikit tenang. Lelaki itu beberapa kali mengecup puncak kepala Zara. Entah kenapa wangi rambut Zara kali ini seolah jadi favoritnya.

"Sst, tenang okey?" Zayn melepaskan pelukannya, ia memegang kedua bahu Zara. Gadis itu menatapnya.

"Mulai sekarang, jangan ragu untuk ungkapin kesedihan lo, unek-unek lo ke gue," Zayn menjeda ucapannya sebentar, "Apapun itu, gue janji bakal jaga rahasia lo."

"Mulai sekarang, Zayn ... siap jadi sandaran kamu Zara," ucapnya lagi.

Mata Zara kembali berkaca-kaca, ia begitu terharu dengan ucapan Zayn. Ia akui dirinya benar-benar bodoh karena kali ini telah menaruh kepercayaan besar pada Zayn.

Tapi kembali lagi, Zara butuh sandaran. Dan Zayn yang memberikannya.

***

Hubungan Zayn dan Zara jadi makin akrab dari sebelumnya. Akhir-akhir ini pun Zayn cukup sering mengajaknya keluar walau kadang hanya sebentar. Tapi tetap saja, bagi Zara, Zayn benar-benar menghiburnya. Ia tak lagi takut untuk keluar dengan menunjukkan wajahnya terang-terangan, karena ia merasa aman saat dengan Zayn. Sebab lelaki itu akan pasang badan tatkala para fans Citra mengerubunginya.

Zara tentu sangat berterima kasih pada kebaikan Zayn.

Hari ini adalah hari terakhir Zara di skors. Jadi besok, ia bisa kembali bersekolah dan menjalani hukumannya. Namun, sudah pukul 12 malam, Zara belum juga tidur.

Agra dan Citra malah memberinya dua buku untuk ia kerjakan. Sudah tau dirinya ini anak bodoh. Dan dua kakaknya malah meminta dirinya mengerjakan, dan jika besok nilai merela rendah, maka Zara akan dilaporkan ke kedua orang tuanya.

Zara mengacak rambutnya frustasi setelah melihat beberapa angka di buku Agra. Astaga, pelajaran kelas 10 saja kepalanya nyaris meledak. Bagaimana dengan pelajaran kelas 12? Atau kelas 11, milik Citra?

"Kak, aku nggak bisa." Zara akhirnya menyerah juga, ia berkata seperti itu pada kedua kakaknya yang malah santai menonton film di televisi.

Keduanya menoleh, sama-sama menatap Zara dengan tajamnya. Tak bisa dipungkiri, Zara merasa takut saat ditatap seperti itu. Gadis itu meremas kuat rok selutut yang ia pakai.

"Gue bilang apa tadi? Kalau nggak dikerjain atau besok nilai kita rendah, lo tahu sendiri akibatnya," ucap Citra angkuh.

Agra terkekeh pelan, "Lo kan udah sering ngerasain tali tambang atau gespernya Papa, apa nggak bosen?" tanyanya.

Zara memejamkan mata. Ia bosan tentunya. Bukan bosan lagi. Gadis itu seolah sudah hapal rasa sakitnya dicambuk atau dipukul dengan gesper milik Papa. Semuanya sudah ia hapal, melebihi pelajaran kimia di depannya.

Tapi, Zara tentu akhirnya kalah.

"I-ya, Kak, aku kerjain." Pura-puru berkutat dengan pekerjaannya adalah yang Zara lakukan sekarang.

Padahal sejak tadi ia hanya mencoret-coret buku. Tak menghitung sama sekali. Kepalanya serasa ingin pecah. Gadis itu ingin menangis. Ia menatap sekali lagi ke arah Agra dan Citra berada tadi.

"Kita tidur, awas lo kalau macem-macem." Agra memperingati Zara sebelum ia dan Citra pergi ke lantai atas.

Tinggal Zara sendiri di sini. Ada rasa takut sekaligus mengantuk. Sampai akhirnya sudah berjalan setengah jam, hanya dua soal yang Zara bisa. Satu soal milik Citra, dan sisanya milik Agra.

Karena takut sendirian di ruang keluarga yang luas dan terasa sunyi ini. Zara memilih untuk segera bangkit ke kamarnya.

Ting.

Gadis itu menghentikan pergerakannya, dan buru-buru melihat pesan yang baru saja masuk.

Kak Zayn: Lo nggak apa-apa, kan?

Zara tak bisa menahan senyumnya untuk kali ini.