Ada dua takdir di dunia ini. Satu, takdir yang sudah ditetapkan oleh sang kuasa sejak masih di dalam kandungan. Dan yang kedua, takdir yang bisa kita ubah dengan sebuah usaha.
Zara sendiri tak tahu, sebenarnya ... kisah pilunya ini bisa ia usahakan untuk jadi kisah bahagia atau tidak? Semacam lukisan yang berantakan, dan berusaha ia rapikan. Dari berantakan jadi rapi. Dari kisah lara jadi sebuah kisah bahagia. Bisakah?
Walau Zara percaya proses dan hasil itu ada, tetap saja ia bukan tipe penyabar. Ia insan biasa yang bisa mengeluh kapan saja. Apalagi saat luka datang menggila setiap waktunya. Selalu membuat hatinya terasa sesak, perih, dan kecewa menyatu kapan saja.
Setiap luka datang, seperti kedua orang tuanya yang tak mengajaknya jalan-jalan. Atau memintanya untuk pergi saat akan ada syuting di rumahnya, dan memintanya untuk tak ikut makan malam bersama di meja makan. Setelahnya, Zara pasti hanya akan bersimpuh sembari menatap kosong ke poto keluarga tanpa dirinya yang ia gantung di kamarnya. Menangisi semuanya.
Bertanya pada Tuhan-nya, mengapa ia dilahirkan dalam kondisi seperti ini. Dilahirkan dengan kata jelek menurut 90 persen dari pendapat orang-orang.
Andai saja ia tak jelek, andai saja kulitnya putih, andai saja wajahnya bersih tanpa noda seperti kedua Kakaknya. Dan hal itu hanyalah per-andaian semata. Tak akan benar-benar nyata. Mungkin.
"Tuhan, sampai kapan?"
"Kapan aku bahagia?"
"Kapan Mama dan Papa mau mendekapku? Kapan kedua kakakku mau menganggapku sebagai adiknya?"
Selalu itu yang terucap di setiap doanya. Tapi, sampai sekarang belum juga ada jawaban dari sang Kuasa. Setiap harinya, hati dibuat luka oleh mereka. Seolah terbiasa, Zara memilih untuk berdamai dengan hal itu. Mencoba menerima, namun tetap saja tak bisa.
Zara tahu, ia menyadari hal itu. Ia buruk rupa, dan kedua kakaknya mempesona. Mereka seberbeda itu memang. Warna kulitnya berbeda dengan kulit kedua Kakaknya yang putih. Wajahnya jerawatan, wajah kedua kakaknya bersih tanpa noda. Dalam hal pintar juga berbanding jauh dengan dua Kakaknya. Ia tak punya bakat apa-apa. Kedua orang tuanya hanya menurunkan kepandaian mereka pada dua anak kesayangannya. Tidak dengan Zara.
Tapi kata Bi Marina--salah satu pembantu di rumahnya--dirinya itu manis. Saat itu kepercayaan dirinya yang sudah hilang sejak belia seakan kembali. Dan dengan berani, esoknya ia mulai menunjukkan keberadaannya di depan ... lelaki yang sudah lama ia sukai.
"Kak Zayn, ini ada air buat kamu." Zara menyodorkan sebuah botol mineral yang sudah ia buka tutupnya dengan segenap senyum manis terpatri di bibirnya.
Saat itu, ia seolah tebal muka. Tak malu sekalipun banyak yang memusatkan atensi ke arahnya. Pikirannya hanya satu, berharap Zayn melihatnya. Itu saja.
Namun, masih Zara ingat dengan jelas ketika benda di tangannya dihempas begitu saja ke arahnya. Kasar, sampai airnya membasahi sebagian besar seragam putih abu-abunya.
"Gue nggak nerima air dari tuan putri buruk rupa."
Zara tersenyum miris saat itu. Matanya berembun, cairan bening nyaris mengalir di pipinya jika saja tak ia tahan sekuat tenaga. Ia baru menyadari, hal yang baru saja ia lakukan adalah sebuah kesalahan besar.
"A-apa a-ku se-jelek i-tu?" ujar Zara dengan tergagu, saat itu.
Zayn tertawa kencang, diikuti tawa semua orang. Di situ, Zara seolah seperti sirkus. Dan ia tak suka itu, ia tak suka saat dirinya dijadikan sebagai bahan tertawaan.
"Heh, lo tuh!" Zayn menunjuk Zara dari atas hingga ke bawah, "Ngaca makanya," lanjutnya.
"Punya kaca nggak di rumah? Bentukan lo nggak enak dipandang gini, masa masih tanya sejelek apa?" Zayn tersenyum miring setelahnya.
Sekali lagi, tawa Zayn melebur di udara, "Apa mau gue sebutin kejelekan lo apa?" tanyanya.
Zara memejamkan mata, ia menatap Zayn kecewa. Dengan bulir air mata yang sudah mengalir. Pertahanannya untuk tak menangis runtuh seketika.
"Aku suka Kak Zayn."
Entah apa yang ada di pikiran Zara saat itu. Dengan bodohnya ia berbicara begitu. Yang hasilnya ... hanya akan mempermalukan diri sendiri untuk kedua kalinya.
Terbukti saat Zayn melangkah maju, dan menekan kuat kedua pipinya.
"Gue bilang, tolong ngaca. Wajah pas-pas an dan kebodohan lo tuh nggak cocok kalau disandingin sama gue. Kaya langit dan bumi."
Rasa perih mendera, Zara nyaris tak bisa berkata-kata, "Ta-tapi Kak Zayn a-aku ...,"
Ucapan Zara terhenti tatkala Zayn mendekatkan bibirnya ke arah telinganya, berbisik.
"Gue lebih suka kakak lo. Dia cantik."
Bak ada duri di hatinya, rasanya begitu perih. Saat itu juga, Zara langsung berlari meninggalkan lapangan dengan air mata yang tak kunjung berhenti.
Fisik dan fisik. Selalu saja itu. Zara muak, ia muak dengan semua luka yang tak kunjung tiada. Ia muak jadi orang jelek, bodoh, dan apa pun itu.
Kala itu, setelah dipermalukan, Zara memilih untuk membolos. Nekat, tapi ia tak peduli. Ia sudah tak punya muka lagi. Tapi sejak awal, ia sadari jika semua salahnya. Jika ia tak memulai, maka akhirnya tak akan jadi seperti ini.
Terisak sendirian di tepi danau favoritnya adalah hal yang sering ia lakukan. Danau terbilang sepi, dan Zara bisa menjerit sepuasnya. Melempar batu sesuka hatinya.
"Tuhan, aku capek!" dengan diiringi isakan kencang, Zara berteriak demikian.
Kedua tangannya sama-sama mengepal, ucapan Zayn masih terngiang di otaknya yang membuat kepalanya pusing seketika. Dan Zara tak tahu harus apalagi selain menangis kencang.
Matanya menatap kosong ke depan, kedua tangannya masih mengepal. Sebelum akhirnya ia mengusap air matanya sendiri dan bergumam, "Aku benci Kak Zayn, selamanya."
Di hari itu, Zara memilih untuk membenci cinta pertamanya. Di hari itu, Zara bertekad untuk menjadi sosok yang kuat. Sosok yang sebanyak apa pun dihina, tak akan lagi mendengar dan memikirkannya.
Sosok yang tak akan lagi mengharapkan dekapan orang tuanya dan kehangatan kedua kakaknya. Zara akan menjalani hidup dengan menikmatinya.
Jika fisiknya merusak pemandangan yang mereka lihat, Zara tak akan lagi peduli dan menundukkan kepala. Dan Zayn, akan berhasil mengubah Zara menjadi sosok yang dingin, tak peduli lingkungan sekitar hanya dalam waktu ... sekejap.
Namun, itu hanya angan-angan Zara semata. Sulit rasanya jika tak mendengarkan orang lain. Ia punya telinga.
Saat itu, mata Zara menatap lekat air danau di depannya. Seketika, kata-kata kedua orang tuanya dan kakak-kakaknya terngiang di kepala.
"Kamu tuh jelek, mimpi apa saya punya anak kaya kamu! kalau sampai media tahu, saya malu!"
"Satu yang Papa inginkan dari kamu, nggak dilahirkan sebagai anak saya."
"Lo mati aja sekalian, enek gue liat muka burik sama kecaperan lo!" Ucapan Kakak perempuannya terngiang.
"Jelek, gue malu punya adik kaya lo!"
Terakhir, suara kakak lelakinya yang bisa dibilang pendiam, mampu membuat Zara memutuskan untuk terus melangkah ke tengah danau. Satu-satunya yang ia pikirkan adalah ... sebuah kematian.